PROFIL DOKTER

Tjahjono Gondhowiardjo dan Cerita Dokter Bergaji Rp 27 Ribu

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Selasa, 13 Jan 2015 10:03 WIB
Tjahjono D. Gondhowiardjo, seorang spesialis dokter mata atau lebih dikenal dengan ahli ophtalmologi, tak pernah tahu alasan mengapa ia ingin menjadi dokter.
Tjahjono D. Gondhowiardjo (Dok. Alertasia Foundation)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tjahjono D. Gondhowiardjo, seorang spesialis dokter mata atau lebih dikenal dengan ahli ophtalmologi, tak pernah tahu alasan mengapa ia ingin menjadi dokter. Yang ia tahu, keinginannya menjadi dokter sudah dimiliki sejak ia kecil. Ia melihat kakek, serta om dan tantenya banyak yang berprofesi sebagai dokter.

"Kakek saya dokter. Om dan tante banyak yang jadi dokter. Jadi terpanggil barangkali mau jadi dokter. Kenapanya saya enggak tahu," kata Tjahjono menceritakan kisah hidupnya pada CNN Indonesia, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Lulus kuliah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjahjono memutuskan untuk pergi ke Maluku. Pada masa itu, sarjana lulusan fakultas kedokteran wajib untuk bekerja di daerah atas Instruksi Presiden (Inpres).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya saat itu Tjahjono mendaftarkan dirinya untuk bekerja di Irian Jaya (atau saat ini disebut Papua). Namun, karena kuota untuk ke Irian Jaya penuh ia pun harus mencari destinasi lain sebagai tempat ia bekerja nantinya. Pilihannya pun jatuh pada Ambon, Maluku.

"Tadinya saya mau milih Irian yang paling jauh. Ternyata teman saya banyak yang ambil Irian. Saya dan istri saya enggak kebagian. Ya, nomor dua paling jauhnya aja, Maluku. Ya sudah ke sana," ujarnya.

Ya, sebelum pergi menunaikan tugas Inpres ke daerah, Tjahjono memutuskan menikah dengan Soehartati setelah lulus dari Fakultas Kedokteran UI pada tahun 1987. Ternyata hal ini pulalah yang menjadi salah satu alasan Tjahjono memilih lokasi Inpres yang jauh dari ibukota.

"Sebagai dokter kami ingin belajar melayani masyarakat yang memerlukan. Cari daerah terpencil yang memang membutuhkan dan tidak ada sarana dan fasilitas yang memadai," papar pria kelahiran Semarang, 7 Maret 1955 itu.

"Waktu itu juga baru menikah perlu satu kebersamaan bersama. Kalau dekat dari keluarga kan ada intervensi. Kalau kami bersama-sama berdua kan bisa solid dari awal," imbuhnya.

Tjahjono menganggap perjalanan kariernya di Ambon merupakan fase hidup yang luar biasa untuknya. Begitu banyak kesempatan yang ia dapatkan dengan mudah.

"Dulu saya jadi asisten bedah di RS Pertamina. Direktur rumah sakit itu dokter bedah. Dia banyak kesibukan. Saya asistennya, akhirnya dia memberi kesempatan saya. Semua tindakan bedah saya kerjain," tukasnya. Ia pun mengambil banyak pelajaran sekaligus bisa menajamkan kemampuan bedahnya saat itu.

"Itu fase lompatan pembelajaran yang bukan main dalam kehidupan. Saya melihat, dari orang yang tadinya menderita bisa dibantu secara maksimal, pasti lebih banyak sukanya," pungkasnya ketika ditanya suka dan dukanya melaksanakan Inpres di Ambon.

Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Kolegium Ophtalmologi Indonesia (KOI) itu, mengungkapkan pengalamannya di Ambon lebih banyak suka ketimbang dukanya.

"Pengalaman yang kami dapatkan enggak bisa dihitung dengan uang harganya. Menolong orang dengan berbagai tingkat kesulitan yang sangat sulit dan berhasil itu kan sesuatu yang luar biasa buat kami," ujarnya.

Tjahjono pun menganggap walaupun dari segi materi ia tidak mendapatkan apa-apa, namun di sana ia merasa jasanya sebagai dokter sangat dihargai. "Yang di sini (Jakarta) harus dikerjakan oleh dokter spesialis spesifik konsultan. Di sana kita bisa kerjakan dan begitu kita berhasil kita akan merasa luar biasa, orangnya sangat berterima kasih, keluarga sangat berterima kasih. Rasanya sangat berbeda walaupun kami enggak dapat uang sama sekali," tuturnya.

Ia pun berkisah, sebagai dokter gajinya saat itu sangat sedikit. "Pada waktu itu kami enggak dapat uang, gaji dikirim pakai pos wesel. Enggak pernah dapat apa-apa tapi kepuasan didapat," aku Tjahjono.

Saat itu, gajinya hanya berkisar Rp 27 ribu per bulan. Tapi ia tak khawatir. Menurutnya, manusia sudah punya rezeki masing-masing dan Tuhan pasti akan memberikannya. "Dulu enggak bisa beli apa-apa, orang satu telur aja harganya 100 perak. Lillahi ta'ala aja. Rezeki enggak usah dikejar. Rezeki datang sendiri," ungkap Tjahjono.

(Baca juga: dr Mardjo Soebandiono, dari Tenda Darurat ke Istana Negara)

Titik balik menjadi dokter mata

Menjadi asisten dokter bedah dan bisa melakukan berbagai tindakan bedah tidak membuat Tjahjono berpuas diri kala itu. Hal itu pulalah yang mengantarkannya menjadi dokter mata seperti saat sekarang ini.

"Sampai pada suatu saat ada pasien yang kecelakaan berat. Dia kena bom. Di kampung tuh kadang-kadang bikin bom rakitan buat bom ikan. Tangan mesti diamputasi, kakinya mesti diamputasi, robek di mana-mana, akhirnya sampai di mata. Di mata saya bingung. Diapain nih?" katanya bercerita.

Ketidaktahuannya itulah yang memicu Tjahjono mengambil pendidikan spesialis mata. "Itu termasuk trigger kenapa saya masuk mata karena waktu itu saya merasa kok enggak tahu apa-apa tentang mata dan bagaimana saya harus mengatasinya," ujarnya.

Setelah 4,5 tahun meniti karier dan menimba pengalaman di Ambon, akhirnya Tjahjono memutuskan untuk kembali ke Jakarta untuk meneruskan sekolahnya menjadi dokter spesialis mata di Universitas Indonesia selama 4 tahun. Ia pun sempat melanjutkan gelar doktornya di Amsterdam.

Ketika ditanya apalagi yang ingin ia capai saat ini, Tjahjono pun berkata tidak ingin mencapai apa-apa lagi. Kini ia bukanlah tipikal orang yang mengejar sesuatu. Di umurnya yang sudah menginjak angka 60 tahun pada 2015 ini, membuatnya ingin menjalani hidup begitu saja, seperti air mengalir.

"Dulu saya mau jadi apa saya kejar. Saya mau jadi dokter saya kejar saya mau jadi dokter mata saya kejar, saya mau jadi doktor saya kejar. Habis itu enggak. Saya melihat bahwa hidup bukan seperti itu," ucapnya.

Menurutnya, inilah saatnya ia mendedikasikan profesinya dan apa yang sudah ia dapatkan selama ini pada orang banyak. "Saya harus membangun profesi saya. Saya membangun jadi Kepala Departemen Mata. Saya jadi Ketua Perdami. Saya pindah jadi Ketua Kolegium. Saya menjadi konsul di Asia Pasifik untuk pengembangan keilmuan kita. Itu adalah suatu bentuk yang memeperlihatkan sumbangsih saya untuk profesi saya," kata Tjahjono.

Di mata orang banyak, apa yang sudah menjadi sumbangsih Tjahjono merupakan sebuah pencapaian dirinya sebagai dokter spesialis mata atau ahli ophtalmologi, ia tak menganggap itu sebagai suatu pencapaian. "Walaupun semua itu kalau dilihat dalam arti pencapaian mungkin itu pencapaian. Tapi saya tidak melihat itu sebagai pencapaian. Itu sebagai amanah buat saya. Saya mesti ngejalanin itu karena memang saya diberi kemudahan untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan tadi. Untuk itu, saya harus membayar kembali dengan membina profesi saya," pungkasnya.

(Baca juga: Kisah dr Made Wirawan, Dokter Dunia Maya di Balik @blogdokter)

(mer/mer)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER