Jakarta, CNN Indonesia -- Saat ini, profesi sebagai juru masak atau yang lebih dikenal dengan
chef sedang menjadi sorotan banyak orang. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Terbukti dengan banyaknya kontes masak di TV yang menghadirkan
chef-chef profesional dan menjanjikan gelar
chef bagi para pemenangnya.
Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi sepuluh tahun lalu, ketika profesi sebagai
chef masih belum setenar sekarang. Dulu,
chef belum dijadikan sebagai profesi yang menjanjikan, alhasil peminatnya pun tidak sebanyak sekarang. Bahkan kala itu, lelaki yang pandai memasak dan mengambil pendidikan sebagai juru masak atau koki sering dianggap remeh. Mereka sering dicap sebagai lelaki yang kewanita-wanitaan.
Namun, hal ini tidak menggetarkan seorang
chef ternama di Indonesia, Edwin Lau, untuk meniti kariernya sebagai juru masak. Setelah lulus dari bangku SMA, Edwin pun melanjutkan studinya di bidang perhotelan di salah satu akademi pariwisata di kawasan Tangerang. Hal ini pun didasari oleh saran dari keluarganya agar Edwin mengambil pendidikan di bidang perhotelan. Edwin pun bercerita pada
CNN Indonesia, kala itu, dunia kuliner belum setenar sekarang, bahkan sekolah perhotelan pun bisa dihitung pakai jari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Akhirnya saya putuskan, saya masuk di sana. Sama kayak jatuh cinta sama wanita, itulah yang saya rasakan. Saya jatuh cinta sama dunia hospitality. Ada panggilan dalam hati untuk menjadi seorang
chef," kata Edwin.
Ya, itulah yang Edwin rasakan. Menjadi
chef baginya adalah sebuah panggilan hati. Tak peduli orang mau berkata apa. "Sejak saat itu, saya sudah tahu saat itu saya akan menjadi seorang chef tapi tidak tahu arahnya ke mana," ungkap Edwin.
Memilih meneruskan pendidikan sebagai juru masak, memang bukan hal yang mudah buat Edwin. Menekuni dunia yang identik dengan masak-memasak dan identik dengan perempuan juga kadang membuatnya malu. Apalagi, saat kuliah dulu, ia dan teman-temannya harus memakai seragam yang berbeda dari anak kuliah kebanyakan.
"Sebenarnya dulu pun waktu saya kuliah, kita satu-satunya di tempat kuliah yang pakai rompi. Yang lain kan, keren-keren pakai baju bebas. Kita pakai rompi, pakai dasi. Kadang malu," tuturnya.
Namun, rasa malu itu pun langsung sirna ketika Edwin lulus kuliah dan memasuki dunia profesional. Menurutnya, menjadi juru masak profesional, bukanlah sebuah pekerjaan 'banci' atau pekerjaan yang kewanita-wanitaan. Justru lelaki sejatilah yang mampu bertahan memasak di dapur sebagai juru masak.
"Di
kitchen, bagi saya, Anda bisa tes apakah kita banci apa enggak. Karena yang bertahan di
kitchen itu adalah mental yang paling kuat," pungkasnya. Bukan tanpa dasar Edwin berkata seperti ini. Pasalnya, ia mengaku bahwa di dapur tempat para juru masak bekerja, ada banyak sekali tekanan.
"Saya dipukul, diludahin, ditendang, sampai apron saya kotor, tapi kita harus terdiam. Kita pernah bekerja sampai kita gemeteran karena
chef kita ada di sebelah kita. Saking kuat intimidasinya. Orderan pun keluar terus, enggak berhenti," kata Edwin menceritakan pengalamannya di dapur.
"Saya pernah sampai pakaian saya basah luar dan dalam, panas, berat, pengin nangis, cuma mau
nangis juga orderan keluar terus, belum ada komplain sana-sini. Makanya hampir enggak ada wanita yang bertahan dalam dapur. Laki-laki di
hot kitchen itu biasanya mental baja semua," tegasnya.
Pengalaman inilah yang ternyata bisa mencetak Edwin sebagai salah satu
chef andal di Indonesia. Mentalnya yang sudah ditempa sedemikian kerasnya, kini sudah terbentuk dan bisa membawanya menjadi
chef yang lebih baik lagi. "Saya merasa pengalaman saya di dunia profesional sudah melatih mental supaya kuat, supaya nanti kalau kerja di mana pun mental kita sudah benar. Disiplin, kebersihan terjaga," kata lelaki kelahiran 16 November 1982 itu.
Awal menjadi healthy chefSaat ini, Edwin Lau telah mendulang sukses sebagai
chef. Bahkan ia dijuluki sebagai
heathy chef karena kerap mengusung makanan sehat.
Tapi, siapa sangka, di balik gaya hidup sehatnya ternyata Edwin kecil bukanlah orang yang mengusung hidup sehat. Ia baru memutuskan untuk menjalankan pola hidup sehat ketika tahun 2006.
"Saya dari kecil adalah orang paling tidak sehat. Saya bertobat dan kembali ke jalan yang benar itu tahun 2006, saya ikut kontes model salah satu majalah pria di Indonesia. Singkat kata saya berbalik 180 derajat," tutur Edwin.
Sejak saat itu, Edwin pun mulai menjalani konsep hidup sehat. Ia mengaku dalam satu hari ia tidak mengonsumsi garam, gula, dan nasi putih.
"Semua makanan dikukus. Saya juga tidak makan bumbu-bumbu masakan apapun dan itu bertahan sampai saya menikah. Waktu saya sudah menikah longgar sedikit. Kasihan nanti istri saya stres. Apalagi saya sudah punya anak sekarang," kata lelaki asal Makassar itu.
Meskipun telah menikah, tetap saja masalah makanan, Edwin harus turut serta, apalagi kalau pergi makan di luar. Ia mengaku bahwa kendali memesan makanan ada di tangannya. "Kalau makan di luar selalu saya pegang menu, selalu saya yang order. Enggak pernah istri saya yang order. Karena dengan hanya melihat menu, kita tahu dapurnya bagaimana, kalau chef ya," ujarnya.
Bahkan, hanya dengan melihat menu,
chef,
waiters, dan manager restoran, Edwin mengaku bisa mengetahui ada tidaknya tikus di dapur restoran itu. "Karena dulu saya pernah kerja di hotel bintang lima di Jakarta, ada tikus di sushi counter saya. Ada emak sama anak. Dan waktu itu
sushi counter saya penuh dan dia bernyanyi-nyayi di bawah. Singkat kata kita bunuh semua. Jadi menurut saya harus jitulah kalau ke restoran," cerita lelaki yang juga sering menjadi model itu.
Pola hidup sehat yang dijalani Edwin, lebih banyak ia dapatkan secara autodidak, selain dari kuliah perhotelan dan dunia kuliner profesional tentunya. Ia mengaku banyak mendatangi seminar dan bergaul dengan dokter untuk mendapatkan pengetahuan mengenai pola hidup sehat.
"Saya ikut seminar, bergaul dengan para dokter, mencoba sendiri, mengoverdosiskan diri saya dengan vitamin mineral karena ingin tahu apakah benar yang tertulis di sana. Dan kebanyakan benar," tuturnya.
Edwin juga sempat belajar tentang obat-obat tradisional Tiongkok. Dari situlah ia memutuskan untuk membuat buku dan sistem diet sendiri, namun tetap mengikuti sistem konvensional kedokteran saat ini. "Saya mengikuti konsep kedokteran karena apa yang sudah terbukti secara sains, melalui penelitian bertahun-tahun, menurut saya itu yang benar. Jadi, diet-diet baru atau apalah, bagi saya itu kalau mau coba-coba silahkan, tapi saya akan mengikuti jalan yang benar," ungkap Edwin.
Edwin pun mengaku, untuk menjadi
healthy chef bukanlah perkara mudah. Tidak hanya keterampilan memasak, ada beberapa keterampilan lain yang harus dikuasai oleh seorang
healthy chef."Menjadi
healthy chef itu susah. Kita juga harus
preserve dan
conserve badan kita pikiran kita kejiwaan kita, skill kita semuanya, supaya bisa menginspirasi orang lain. Koki biasa cukup butuh
skill.
Skill Anda bagus, gaji Anda besar.
And then what, dia kegemukan, jatuh sakit, dan meninggal muda," katanya.
Edwin bercerita, seorang
chef ternama yang sekaligus teman Edwin pernah meninggal karena serangan jantung selagi makan nasi goreng. "Waktu saya ketemu dia udah
ngos-ngosan, saya tanya kenapa, dia bilang enggak apa-apa. Beberapa hari kemudian dia meninggal. Sejak saat itu saya memutuskan untuk,
well, sudah saatnya Indonesia butuh pertolongan,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini Indonesia membutuhkan
chef yang punya hati. Mereka adalah orang-orang yang memasak tidak untuk memuaskan rasa kenyang semata, tapi juga mementingkan kandungan nutrisi dan gizi.
"Jadi enggak cuma memasak untuk kenyang, kalau enggak generasi kita nanti gemuk-gemuk semua, tidak produktif. Kita akan kalah nanti kalau perdagangan bebas mulai. Nanti orang-orang dengan kondisi terbaik akan masuk ke Indonesia, kalah kita semuanya. Dia bisa kerja 18 jam kita kerja 12 jam udah tepar," papar Edwin.
(mer/mer)