Jakarta, CNN Indonesia -- Lu-Hai Liang beserta rombongan tiba di sebuah biara dengan truk terbuka. Truk ini berfungsi sebagai bus di kota Amarapura, Mandalay, kota kedua di Myanmar yang seringkali menjadi tempat kegiatan wisata tak biasa.
Lu benar-benar tidak tahu tentang biara-biara di Myanmar, sampai jurnalis lepas tersebut mengetahui dari sesama pelancong yang berbincang ketika sarapan.
Para turis tersebut menggambarkannya sebagai tempat untuk menonton para biarawan menyantap sarapan di pagi hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kedengarannya seperti 'kebun binatang turis', tapi saya putuskan pergi bersama, dan terkejutnya saya begitu sampai,” kata Lu yang wartawan dari Tiongkok tersebut, dilansir dari laman CNN.
Vihara Mahagandayon terasa sejuk dan tenang. Bangunan kayunya indah, tersusun seperti rumah-rumah berhalaman yang jauh dari jalan utama.
Saat rombongan bergerak menuju biara, wisatawan dan pengunjung lain jadi lebih terlihat. “Para biarawan berjalan dengan jubah merah mereka, seolah-olah tak menyadari kehadiran kami,” katanya. “Dan pertunjukan pun dimulai.”
Turis paparaziPara biarawan berbaris di sepanjang jalan. Mereka mencengkeram benda yang terlihat seperti guci, meskipun itu sebenarnya wadah makanan mereka. Para wisatawan membidik dengan kamera, termasuk Liu.
Klik, klik.
Para turis diberitahu agar tidak menganggu jalanannya prosesi para biarawan. Namun, para penonton ini kian beringas, menyikut dan mendorong untuk dapatkan gambar terbaik. Ketika biarawan mulai berjalan, hiruk-pikuk kilat lampu kamera terdengar.
Liu melihat sedikit raut keengganan di antara beberapa pengunjung. “Beberapa orang melepaskan kamera mereka, kepala mereka sedikit diturunkan, seolah ingin menjaga martabat dengan membedakan diri dari para paparazi wisata.”
Seorang turis Jerman mengatakan kepada pemandu wisata tentang bagaimana 'tontonan' tersebut tampak mengganggu dan tidak sensitif. Namun, pemandu wisata itu hanya mengatakan, biarawan telah terbiasa dengan keributan, seperti halnya anjing yang dilatih untuk perilaku tertentu, kata Liu.
“Komentar tersebut tidak merendahkan, melainkan jelas,” ucap Liu dalam tulisannya seperti dilansir laman CNN. Sementara, pengunjung lain di blog mengatakan, “ Hal ini sebenarnya memalukan, seolah-olah kita sedang menonton hewan yang diberi makan.”
Usai para biksu menghabiskan santapan, para turis ikut menghilang. Biara pun berubah jadi tempat perlindungan tenang kembali.
“Sungguh acara yang aneh. Apakah ini ritual lokal yang tumbuh menjadi daya tarik besar-besaran?” kata Liu. Atau biara membuka diri untuk janji Dolar yang akan mereka terima melalui tontonan yang dibuat-buat itu?
Liu memutuskan untuk kembali keesokan harinya.
Kembali ke biaraTiba di sore hari, Liu bisa melihat biara dalam ketenangan berbeda. Tidak ada turis, suasana terasa tenang. Terletak dekat Jembatan U Bein, yang dilaporkan sebagai jembatan jati terpanjang di dunia, biara ini kadang dikenal sebagai Maha Ganayon Kyaung.
Berdiri pada 1914, kompleks ini adalah rumah bagi lebih dari 1500 biksu. Saat Liu duduk di panggung kayu sambil menulis di bukunya, seorang biksu mendekat, bertanya apa yang sedang dia dilakukan?
Namanya Ashin Pannadhaya (26). Sudah enam tahun dia tinggal di biara ini. Saya bertanya, apa yang dipikirkan biksu-biksu tentang wisatawan?
“Saya mengharapkan jawaban dengan kelembutan seorang Buddha, tapi dia menjawabnya dengan terus terang,” kata Liu.
“Saya merasa terganggu ketika saya melihat masalah tak terduga karena turis-turis,” kata Pannadhaya, menggunakan bahasa Inggris yang dia pelajari.
“Beberapa turis sangat baik, yang lainnya berkelakuan buruk. Mereka mengambil foto secara gila dan ekstrem.”
Makan siang adalah waktu yang sangat pribadi, tambahnya. “Mereka mengambil foto yang membuat kami sangat terganggu."
Para biarawan bangun pukul empat pagi setiap hari, sarapan pada pukul lima pagi, dan memulai pelajaran di pukul enam pagi. Makan siang adalah pukul 10.15. Kemudian, mereka dilarang makan siang sampai datang waktu sarapan di hari berikutnya.
Lonjakan pariwisata MyanmarMyanmar menikmati lonjakan pariwisata dalam beberapa waktu terakhir. Perkiraan, ada 300 ribu sampai 500 ribu biksu di antara 53 juta penduduk Myanmar. Budaya Buddha di Myanmar adalah salah satu daya tarik terbesar bagi pengunjung.
Kuil dan biara adalah lokasi kunjungan populer bagi para wisatawan mengambil foto. Munculnya wisatawan memengaruhi kehidupan sehari-hari para biksu, kada Pannadhaya. Terutama, kelompok-kelompok yang datang untuk menyaksikan mereka makan.
Pannadhaya mengatakan, popularitas biara tak terduga ini bukan diprakarsai oleh biara. Pariwisata belum tentu membantu biara, tidak seperti yang dipikirkan beberapa orang. Saat ini, Pannadhaya menjelaskan, biara bergantung pada sumbangan. Sebagian besar berasal dari umat setempat.
Wisatawan biasanya tidak menyumbang ke kuil setelah mereka berkunjung.
Wihara Mahagandayon terbuka untuk umum. Untuk menghindari padatnya pengunjung, waktu terbaik untuk datang adalah di sore hari, di mana percakapan spontan paling mungkin terjadi. Pusat informasi bisa membantu Anda memberi sumbangan ke biara.
(win/mer)