Chengdu, CNN Indonesia -- Ini kisah tentang modernisasi besar di Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan di barat daya China. Kota sejuk yang menjadi salah satu gerbang menuju Tibet itu memiliki segudang julukan, mulai
The Land of Abundance (Tanah Berlimpah),
City of Hibiscus (Kota Kembang Sepatu),
City of Gastronomy (Kota Tata Boga),
City of Brocade (Kota Kain Brokat), hingga
Country of Heaven (Negeri Surga).
Semua predikat itu tak berlebihan karena Chengdu bagai memiliki seribu wajah. Kota tua yang berdiri lebih dari 2.000 tahun lalu itu menawarkan modernitas sekaligus kekunoan. Untuk menyeberang dari masa kini ke masa lampau, tinggal beranjak dari pusat kota ke pinggiran. Sekejap, suasana langsung berubah bak berkendara dengan mesin waktu.
Meski berada di lembah dengan pegunungan di sekelilingnya, pusat kota Chengdu berdiri megah. Gedung-gedung pencakar langit berjajar angkuh-gagah, menjulang tinggi seakan-akan berlomba menembus awan yang hampir selalu memayungi kota itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak heran, sebab Chengdu merupakan satu satu kota bisnis terpenting di China. Tahun ini sebanyak 265 dari Fortune Global 500 –perusahaan dengan pendapatan terbesar di dunia versi majalah Fortune– beroperasi atau memiliki kantor di Chengdu.
Untuk membuka akses lebih luas bagi pengusaha dan turis, Chengdu kini membangun bandara internasional baru selain Chengdu Shuangliu International Airport yang melayani 80 rute penerbangan internasional dan domestik, termasuk ke kota-kota besar dunia seperti London, Amsterdam, Frankfurt, San Fransisco, dan Melbourne.
Jika bandara baru di Chengdu telah rampung dibangun, maka kota yang memiliki sejarah peradaban panjang itu akan menjadi kota ketiga di China yang memiliki dua bandara internasional selain Beijing dan Shanghai.
Kota ini juga menjadi wilayah percontohan reformasi integrasi komprehensif pedesaan-perkotaan di China, dan berperan krusial dalam merealisasikan visi ambisius China:
Silk Road Economic Belt –yang bersama kebijakan Jalur Sutra Maritim China (
Maritime Silk Road) akan menghubungkan tiga benua, membentang mulai dari Pasifik Barat hingga Laut Baltik di timur laut Eropa.
Dengan kebijakan nasional Jalur Sutra Baru itu, China hendak mempererat kerjasama, meningkatkan perdagangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah dan negara-negara yang dilalui rute tersebut.
Untuk mewujudkan mimpi ini, China kerap meyakinkan betapa kebijakan ekonominya sesuai dengan banyak negara yang berada di jalur sutra mereka. China bahkan menawarkan transfer teknologi dan pembangunan infrastruktur di sejumlah negara, termasuk Indonesia. (Baca:
Menyelisik Ambisi China Incar Proyek Kereta Cepat China)
 Jantung kota Chengdu dipenuhi gedung pencakar langit. (Dok. Kedutaan Besar China) |
Chengdu ditetapkan pemerintah China sebagai pusat sains dan teknologi, perdagangan dan finansial, serta transportasi dan telekomunikasi. Untuk mendukung semua itu,
Chengdu Hi-tech Industrial Development Zone dibangun di jantung kota, berdiri di atas lahan seluas 130 kilometer persegi.
Lebih dari 300 perusahaan teknologi informasi, elektronik, dan perbankan memiliki kantor di
Chengdu Hi-tech Industrial Development Zone, mulai dari Ericsson, Huawei, Nokia Siemens Network, Alcatel, ZTE, Lenovo, Samsung, Foxconn, Intel, IBM, Oracle, Dell, sampai Societe Generale –perusahaan finansial yang bermarkas di Paris.
Di zona pengembangan industri itu, Foxconn memproduksi 40 juta iPad tiap tahunnya –setengah dari produksi global iPad. Secara keseluruhan, total ekspor dan impor di kawasan berikat
Chengdu Hi-tech Industrial Development Zone menghasilkan US$23,9 miliar bagi China –menempati peringkat ketiga di negara itu, dan urutan pertama di barat China.
Menikmati HidupTerlepas dari urusan bisnis dan pesatnya industrialisasi di Chengdu, penduduk setempat –yang berjumlah sekitar 14 juta jiwa– amat menikmati hidup. Salah satu warga yang tinggal di Chengdu, Zou Wenli, menggambarkan penghuni kotanya sebagai orang-orang yang cenderung santai layaknya panda, hewan yang menjadi maskot kebanggaan Chengdu –kota yang juga memiliki pusat riset pembiakan panda raksasa.
“Chengdu adalah kota yang rileks. Orang-orang berjalan tenang, bangun tidur terlambat, dan makan amat banyak. Betul-betul seperti panda,” kata Zou saat wartawan CNN Indonesia, Anggi Kusumadewi, bertandang ke kotanya, Senin (24/8).
Menurut Zou, karakteristik semacam itu muncul karena warga lokal cukup puas dengan kehidupan dan pekerjaan mereka. Itu sebabnya warga Chengdu misal memanjakan diri dengan menghabiskan uang untuk membeli mobil –amat berbeda dengan penduduk Beijing yang lebih memilih menggunakan alat transportasi massal. (Baca:
Melongok Beijing, Surga Bagi Pejalan Kaki)
“Jalanan kota Chengdu dilintasi dua juta mobil pribadi,” ujar Zou tergelak sembari memandangi kemacetan kotanya saat jam makan siang.
Keriaan Zou itu pas benar dengan ritme kotanya. Chengdu –kota dengan populasi terpadat nomor lima di China– ditasbihkan China Daily sebagai salah satu kota yang paling berbahagia dan nyaman ditinggali seantero China.
"Moto warga Chengdu ialah hidup untuk saat ini," kata Zou, tersenyum.
Sebanyak 30 ribu warga asing atau ekspatriat dari 125 negara disebut telah menetap di Chengdu karena terpikat oleh lanskap alamnya yang indah, budayanya yang menakjubkan, dan masakan pedasnya yang luar biasa lezat –Chengdu dinobatkan UNESCO menjadi Kota Gastronomi pada 2010.
 Lezatnya masakan khas Sichuan di restoran hotpot Huang Cheng Lao Ma. Di sini pengunjung memasak sendiri makanannya. Panci berisi kuah berbumbu sedap, dengan kompor api di bawahnya, telah disiapkan di tiap meja sehingga pengunjung tinggal menceburkan sayur dan lauk-lauk ke dalamnya. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Daya pikat Chengdu diperkuat oleh kebijakan 72 jam bebas visa yang membolehkan turis asing dari lima benua di dunia yang transit di kota itu untuk tinggal selama tiga hari di sana, dengan syarat mereka memegang visa yang valid dan telah mengantongi tiket penerbangan lanjutan dari Chengdu.
Regulasi 72 jam bebas visa yang diterapkan sejak September 2013 itu cukup efektif. Pada 2014, sebanyak 3 juta orang dari seluruh dunia transit di Chengdu untuk menghabiskan waktu di kota itu, membuat Bandara Internasional Shuangliu Chengdu menjadi satu dari 40 bandara tersibuk di dunia.
Simak kisah Chengdu berikutnya.
Modernitas tak membuat Chengdu kehilangan keindahan masa lalunya. Suasana China kuno misal dapat dijumpai di salah satu jalan di bagian barat pusat kota itu –Qintai Lu. Jalan ini merupakan destinasi populer bagi pelancong.
Restoran
hotpot, warung teh, dan gedung opera berderet di Qintai Lu, diterangi lentera yang bak memancarkan sihir kuno bagi pengunjungnya. Tempat ini paling pas dikunjungi senja dan malam hari, saat kemilau lentera menyatu dengan bangunan-bangunan tradisionalnya di sepanjang jalan.
 Qintai Lu yang dipenuhi deretan bangunan bergaya kuno biasa menjadi tempat pertemuan anak muda atau pebisnis di Chengdu. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Suasana pedesaan nan segar dengan angin gunungnya juga dapat dirasakan di Chengdu. Cukup berkendara sebentar ke pinggiran dari pusat kota, terdapat kawasan bernama Sansheng Huaxiang (
Three Gods Flower Village). Di tempat ini, perbatasan antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Chengdu terlihat jelas. Gedung-gedung apartemen menyembul di balik hijau dan rimbunnya pohon-pohon.
Sansheng yang dirancang menjadi zona melepas penat bagi kaum pekerja dan pebisnis Chengdu menjadi tempat favorit untuk dikunjungi pada akhir pekan Sabtu-Minggu. Kawasan ini juga masih terus dikembangkan dan dibangun menjadi tempat rekreasi lengkap bagi keluarga.
Di Sansheng juga terdapat pusat karya seni, Ding Rang Ge Art Center, yang menjadi tempat berkumpul komunitas pencinta seni di Chengdu. Ada pula pusat kerajinan yang menjual berbagai produk buatan tangan khas China, mulai perabot, peralatan makan, sampai beraneka suvenir.
 Seorang seniman melukis kaligrafi di Ding Rang Ge Art Center, Chengdu. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Konsep taman hiburan keluarga, suasana sejuk pedesaan dikelilingi barisan gunung, dan seni memikat yang dikumpulkan dalam satu atap di Sansheng seperti hendak menegaskan eksistensi Chengdu sebagai Negeri Surga yang dahulu disanjung penjelajah Italia, Marco Polo, sebagai kota nan makmur, subur, dan amat ‘hidup’ di muka bumi.
Namun keindahan Sansheng sesungguhnya menyimpan kisah pahit bagi warga lokal. Cerita itu disampaikan oleh Sacha Matuszak, jurnalis multimedia, pada salah satu artikel berjudul ‘Flower Town’ di blog pribadinya,
theanthill.org.
Sacha yang pernah tinggal di Sansheng mengisahkan dengan rinci bagaimana pedesaan asli di sana dimodernisasi menjadi lokasi wisata hijau satu paket seperti yang ada saat ini. Untuk itu rumah-rumah dirobohkan dan warga diberi uang sebagai kompensasi –yang menurut warga kepada Sacha, jumlahnya tak mencukupi dan tak sepadan.
Chengdu, dibanding kota-kota besar China lainnya, memang terlihat sendu. Negeri Surga nan sejuk ini tak selalu beratapkan langit biru jernih karena letak geografisnya yang berada di kaki gunung kerap memerangkap awan dan kabut di dalamnya.
Dilintasi Sungai Min dan Tuo yang merupakan cabang dari Sungai Yangtze –sungai terpanjang di Asia, membuat Chengdu memiliki suplai air berlimpah untuk irigasi lebih dari 700 kilometer persegi lahan di kota itu. Selain itu, kota ini juga mempunyai sumber daya alam dan tambang yang melimpah.
Semua anugerah itu membuat kondisi Chengdu luar biasa subur, sehingga tak heran kota ini dijuluki
The Land of Abundance yang berarti tanah dengan kekayaan berlimpah.
Nuansa surgawi Chengdu juga terlukis dalam puisi-puisi karya Li Bai dan Du Fu, dua penyair ternama China di masa Dinasti Tang, sekitar tahun 700-an. Du Fu yang tinggal empat tahun di Chengdu bahkan menulis lebih dari 200 puisi tentang Chengdu.
Bumi berputar dan zaman akan selalu berubah. Semoga laju modernisasi tak menelan Surga Dunia di Chengdu.