Modernitas tak membuat Chengdu kehilangan keindahan masa lalunya. Suasana China kuno misal dapat dijumpai di salah satu jalan di bagian barat pusat kota itu –Qintai Lu. Jalan ini merupakan destinasi populer bagi pelancong.
Restoran
hotpot, warung teh, dan gedung opera berderet di Qintai Lu, diterangi lentera yang bak memancarkan sihir kuno bagi pengunjungnya. Tempat ini paling pas dikunjungi senja dan malam hari, saat kemilau lentera menyatu dengan bangunan-bangunan tradisionalnya di sepanjang jalan.
 Qintai Lu yang dipenuhi deretan bangunan bergaya kuno biasa menjadi tempat pertemuan anak muda atau pebisnis di Chengdu. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Suasana pedesaan nan segar dengan angin gunungnya juga dapat dirasakan di Chengdu. Cukup berkendara sebentar ke pinggiran dari pusat kota, terdapat kawasan bernama Sansheng Huaxiang (
Three Gods Flower Village). Di tempat ini, perbatasan antara wilayah perkotaan dan pedesaan di Chengdu terlihat jelas. Gedung-gedung apartemen menyembul di balik hijau dan rimbunnya pohon-pohon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sansheng yang dirancang menjadi zona melepas penat bagi kaum pekerja dan pebisnis Chengdu menjadi tempat favorit untuk dikunjungi pada akhir pekan Sabtu-Minggu. Kawasan ini juga masih terus dikembangkan dan dibangun menjadi tempat rekreasi lengkap bagi keluarga.
Di Sansheng juga terdapat pusat karya seni, Ding Rang Ge Art Center, yang menjadi tempat berkumpul komunitas pencinta seni di Chengdu. Ada pula pusat kerajinan yang menjual berbagai produk buatan tangan khas China, mulai perabot, peralatan makan, sampai beraneka suvenir.
 Seorang seniman melukis kaligrafi di Ding Rang Ge Art Center, Chengdu. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi) |
Konsep taman hiburan keluarga, suasana sejuk pedesaan dikelilingi barisan gunung, dan seni memikat yang dikumpulkan dalam satu atap di Sansheng seperti hendak menegaskan eksistensi Chengdu sebagai Negeri Surga yang dahulu disanjung penjelajah Italia, Marco Polo, sebagai kota nan makmur, subur, dan amat ‘hidup’ di muka bumi.
Namun keindahan Sansheng sesungguhnya menyimpan kisah pahit bagi warga lokal. Cerita itu disampaikan oleh Sacha Matuszak, jurnalis multimedia, pada salah satu artikel berjudul ‘Flower Town’ di blog pribadinya,
theanthill.org.
Sacha yang pernah tinggal di Sansheng mengisahkan dengan rinci bagaimana pedesaan asli di sana dimodernisasi menjadi lokasi wisata hijau satu paket seperti yang ada saat ini. Untuk itu rumah-rumah dirobohkan dan warga diberi uang sebagai kompensasi –yang menurut warga kepada Sacha, jumlahnya tak mencukupi dan tak sepadan.
Chengdu, dibanding kota-kota besar China lainnya, memang terlihat sendu. Negeri Surga nan sejuk ini tak selalu beratapkan langit biru jernih karena letak geografisnya yang berada di kaki gunung kerap memerangkap awan dan kabut di dalamnya.
Dilintasi Sungai Min dan Tuo yang merupakan cabang dari Sungai Yangtze –sungai terpanjang di Asia, membuat Chengdu memiliki suplai air berlimpah untuk irigasi lebih dari 700 kilometer persegi lahan di kota itu. Selain itu, kota ini juga mempunyai sumber daya alam dan tambang yang melimpah.
Semua anugerah itu membuat kondisi Chengdu luar biasa subur, sehingga tak heran kota ini dijuluki
The Land of Abundance yang berarti tanah dengan kekayaan berlimpah.
Nuansa surgawi Chengdu juga terlukis dalam puisi-puisi karya Li Bai dan Du Fu, dua penyair ternama China di masa Dinasti Tang, sekitar tahun 700-an. Du Fu yang tinggal empat tahun di Chengdu bahkan menulis lebih dari 200 puisi tentang Chengdu.
Bumi berputar dan zaman akan selalu berubah. Semoga laju modernisasi tak menelan Surga Dunia di Chengdu.
(agk)