Jakarta, CNN Indonesia -- Di jalanan kota Tokyo yang teduh, orang-orang paruh baya datang untuk menyaksikan karya seni erotis. Melihat lukisan seorang lelaki dengan alat kelamin sangat besar bergulat di rumah pelacuran. Ada juga perempuan menggeliat saat seekor gurita melakukan oral seks padanya.
Gambar yang lainnya menunjukkan, seekor kucing yang bersiap-siap menggaruk testis seorang lelaki sedang bergolak dalam kenikmatan seksual. Laki-laki berpasangan dengan perempuan penghibur, hewan, bahkan patung, sesungguhnya Shunga bukan untuk orang-orang berhati lemah.
Shunga adalah istilah tradisional Jepang untuk lukisan dan potret erotis. Shunga, yang berarti gambar musim semi, kadang menampilkan liuk seksual yang spektakular di atas kasur yang dianggap tabu. Akibatnya, sebagian besar Shunga tersingkir dari tontonan publik selama beberapa dekade, bahkan sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sebuah museum kecil menentang ketabuan itu. Disebut sebagai pameran Shunga terlengkap di Jepang, yang sebagian besar dari 133 barang diambil dari Museum Inggris, yang melangsungkan sendiri pameran Shunga pada 2013, seperti dikutip dari laman Independent.
Meskipun sudah mendapat persetujuan dari dunia seni di Inggris, galeri di Jepang masih menyimpan masalah manakala akan menjadi tuan rumah pada pameran Shunga mendatang. Sebagian besar menolak keras.
Lukisan tangan Shunga secara eksklusif dinikmati oleh kalangan atas di Jepang pada masa 1600-an, sebelum akhirnya teknologi mampu memproduksi secara massal ke khalayak luas. Saat ini telah muncul teknik balok kayu, yang merupakan teknik produksi massal. Dari teknik ini bisa dihasilkan ribuan cetakan.
Seni bawah tanah ini mengejek nilai Konfusianisme resmi dan adat istiadat sosial. Salah satunya menggambarkan seorang janda yang pergi ke sebuah kuil Buddha, lalu diperkosa seorang imam, misalnya.
Kendati begitu, tujuan utama mereka adalah sensual, bukan politik, kata Timothy Clark, kepala bagian seni Jepang di Museum Inggris. Lukisan itu menunjukkan seks sebagai sesuatu yang menyenangkan dan lucu.
Itu sebabnya mereka tidak bisa bertahan dari bentrokan dengan seni di orang-orang Victoria yang berlabuh di Jepang pada akhir abad ke-19. “Ada banyak kejutan di kedua sisi,” katanya.
“Shunga sudah dianggap tabu sejak era Meiji (1868 – 1912),” kata Akiko Yano, sejarawan seni di School of Oriental and African Studies, Universitas London. Menurutnya, museum berpikir bahwa memiliki lukisan-lukisan itu sebagai koleksi mereka adalah memalukan.
“(Lukisan Shunga) tidak diperlakukan sebagai subjek akademis. Orang-orang Jepang senang berpikir hal-hal sebagai sesuatu yang resmi dan Shunga bukan.”
Museum Eisei Bunkyo, menganggap mereka memiliki sebuah bentuk seni yang memengaruhi seniman Picasso dan Rodin. Sudah waktunya bagi orang-orang Jepang untuk menghargai Shunga yang nyata, kata Morihiro Hosokawa, mantan perdana menteri Jepang, dalam kata pengantarnya saat pembukaan pameran.
(win/utw)