Normalkah Merasa Sedih Usai Bercinta?

Windratie | CNN Indonesia
Kamis, 22 Okt 2015 01:30 WIB
Selama ini penelitian tentang seks difokuskan pada gairah atau orgasme, jarang yang yang membahas ekspresi emosional satelah berhubungan seks.
Ilustrasi pasangan. (Thinkstock/IuriiSokolov)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam sebuah jajak pendapat terbaru, hampir setengah dari perempuan muda mengatakan bahwa di beberapa titik dalam hidup, mereka mengalami perasaan melankolis setelah berhubungan seks.

Para peneliti mengatakan, sebagian besar penelitian tentang fungsi seksual perempuan difokuskan pada gairah, orgasme, atau nyeri saat berhubungan seksual. Hanya sedikit studi yang berfokus pada ekspresi emosional setelah berhubungan seks.

Dysphoria poscoital atau perasaan sedih setelah berhubungan seksual mungkin bukan merupakan masalah medis. Namun, pemimpin penelitian, Robert D. Schweitzer dari Universitas Teknologi Queesnland di Kelvin Grove, Australia, mengatakan, dysphoria poscoital adalah salah satu permasalah yang mengganggu yang bisa dialami seseorang, seperti dilaporkan oleh Reuters.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Schweitzer dan rekannya menggunakan tanggapan survei online dari sekitar 230 wanita muda. Mereka menjawab tentang fungsi seksual, pengalaman dalam hubungan dekat, tekanan psikologis, dan pengalaman emosional seks tertentu.

Selain itu, para peneliti bertanya kepada para perempuan, apakah mereka pernah merasakan melankolia usai bercinta, sepanjang pengalaman seksual mereka. 

Hasilnya, lebih dari 46 persen setidaknya pernah mengalami dysphoria poscoital sekali dalam hidup mereka. Hanya dua persen melaporkan sering atau setiap saat mengalami gejala ini.

Angka-angka dari studi baru ini lebih tinggi dari beberapa studi sebelumnya. Itu artinya, dysphoria postcoital masih kurang dikenali dan kurang dipelajari, kara para penulis dalam jurnal Sexual Medicine yang dipublikasikan bulan ini.

Ada bukti kuat melaporkan komponen genetik sebagai penyebabnya. Masa menyusui juga dikaitkan dengan gejala dysphoria, kata Schweitzer.

Usia dan lamanya hubungan dengan pasangan, tidak berhubungan dengan gejala dysphoria postcoital dalam penelitian ini. Namun, Schweitzer mengatakan, sejarah di masa kanak-kanak atau pelecehan seksualmeningkatkan risiko gejala kesedihan setelah berhubungan seksual tersebut.

Beberapa kondisi dysphoria postcoital bisa disebabkan karena stres. Tidak hanya perempuan, laki-laki juga cenderung mengalami gejala-gejala dysphoria postcoital, kata Schweitzer.

Oleh karena itu, dia mengatakan, mereka yang mengalami dysphoria postcoital tidak perlu merasa sendirian atau tidak normal. 

Schweitzer mengatakan, bersikap jujur dengan pasangan adalah pendekatan terbaik untuk menyembuhkan dysphoria postcoital. Karena masih sedikit studi tentang gejala ini, tidak ada terapi yang terbukti bisa menyembuhkan gejala ini.

Selanjutnya, Schweitzer menekankan, dysphoria postcoital masih dikategorikan dalam spektrum 'sehat' pada seksualitas manusia, dan tidak termasuk dalam kondisi medis ataupun gangguan mental.

(win/les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER