Jakarta, CNN Indonesia -- Keistimewaan tenun Sasak adalah desain motifnya tidak digambar/ dijiplak, melainkan tersimpan dalam imajinasi, tempat paling aman ketika menenun jadi kegiatan terlarang.
Motif tenun yang paling dikenal sebagai khas Sasak adalah motif
subahnala yang berbentuk belah ketupat dengan banyak kembangan. Ada cerita di balik lahirnya motif ini.
Dulu, penjajah melarang masyarakat Lombok menenun. Alhasil, motif-motif tenun dari leluhur hanya ada di dalam kepala dan diajarkan turun temurun secara sembunyi-sembunyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kain yang dikenakan masyarakat sehari-hari saat itu adalah kain katun sederhana tanpa motif, bernama
kembang koma, itu pun ditenun secara diam-diam
,” ujar Hj Robiah, pemilik toko kain tenun dan batik sasambo Darma Setia di Desa Sukarara, Lombok Tengah.
Tersebutlah seseorang yang diam-diam menenun songket dengan motif berbentuk belah ketupat, yang saat itu belum ada namanya. Begitu tenunan selesai, orang tersebut meninggal, namun sempat menyebut “
subhanallah (bahasa Arab yang berarti maha suci Allah)” karena berhasil menyelesaikan misi besarnya. Sejak itulah motif belah ketupat disebut motif
subahnala, dari kata subhanallah.
Setelah merdeka barulah masyarakat Lombok leluasa menenun. Songket hanya boleh digunakan para bangsawan. Tiap keluarga besar punya satu motif khas. Selain
subahnala, dikenal pula motif lain, seperti
bangkat (petak sawah),
merak keket sebagai simbol gadis,
subahnala lepang (kodok), dan bintang empat.
Lama pengerjaan selembar tenunan tergantung rumitnya motif dan kualitas benang. Semakin rumit motif dan semakin halus benang yang digunakan, semakin lama waktu pengerjaan. Satu taplak meja, misalnya, rampung dalam 1-2 pekan, sedangkan satu sarung bisa sampai satu bulan.
Itu sebabnya harga jual Rp1-2 juta untuk selembar sarung songket motif
subahnala menjadi harga yang layak, juga songket dengan benang emas bisa mencapai Rp2,5 juta per helai.
Merupakan tradisi masyarakat Sasak bahwa perempuan harus bisa menenun sebelum menikah. Rata-rata sejak berusia 10 tahun anak perempuan diajar menenun. Seperti pemandangan di Dusun Sade, bocah perempuan masih mengenakan rok seragam SD menenun di toko cenderamata yang ditunggui ibunya.
Menjelang hari pernikahan, orangtua akan memberikan alat tenun lengkap kepada anak gadis mereka untuk menenun kain pengantinnya sendiri.
Menurut aturan Sasak, masyarakat asli Pulau Lombok, penenun songket wajib perempuan dan penenun ikat wajib laki-laki. Namun sekarang sulit mempertahankan tradisi tersebut.
Tuntutan ekonomi dan zaman tak memungkinkan laki-laki Sasak menenun ikat karena harus bekerja, bahkan sampai merantau ke luar negeri. Alhasil sekarang perempuan juga mengerjakan tenun ikat. Walau begitu, setiap anak laki-laki Sasak tetap diajarkan cara membuat tenun ikat.
(sil/sil)