Jakarta, CNN Indonesia -- Di sebuah studio kecil di pusat Kota Beirut, belasan perempuan pengungsi dari Suriah berlari dengan bertelanjang kaki. Mereka melakukan adegan drama tentang pengalaman sebagai imigran perang.
“Kami pergi ke negara baru. Orang-orang menatap kami,” ujar salah seorang aktris dalam adegan tersebut. Pemeran lain berlakon dengan tatapan menghina kepada para para pengungsi yang berhasil mencapai Lebanon setelah melarikan diri dari perang saudara di seberang perbatasan.
“Akhirnya kami menemukan sebuah rumah. Kami membuka pintu dan ada sampah di mana-mana. Ruangan ini penuh kecoak,” kata para pemain teater serempak, menginjak serangga imajiner.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman-pengalaman yang dimainkan para perempuan di sebuah teater di Beirut pada pekan lalu itu adalah kisah awal dari perang empat tahun silam. Banyak pengungsi masih memiliki memori kelam dan berharap pengasingan mereka akan bersifat sementara.
Namun, kehidupan kian memburuk, tiada akhir untuk konflik yang terus terjadi di depan mata. Itu adalah tema besar pertunjukan Terrestrial Journey, sebuah proyek teater yang diselenggarakan oleh aktris keturunan Inggris-Irak Dina Mousawi.
“Setelah bertahun-tahun, tidak ada pilihan bagi kami selain bermigrasi. Itu pemikiran kita sekarang,” kata Wessam Sukkari (38), pengungsi keturunan Palestina dari kamp Yarmouk, Damaskus, saat latihan.
Suami Sukkari pergi ke Jerman beberapa bulan lalu sementara dia dan kedua anak perempuannya tetap tinggal di Lebanon. Sukkari dan kedua putrinya berharap bisa menyusul suaminya di masa depan, tapi tidak melalui rute penyelundupan ilegal yang berbahaya.
Badan dunia PBB mengatakan, 70 persen dari sekitar satu juta pengungsi di Suriah di Lebanon hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Sekitar 200 ribu pengungsi anak-anak tidak mengenyam pendidikan formal.
Fedwa Awayti, yang kisah pribadinya juga ditampilkan dalam teater, berkata, paksaan melakukan migrasi membuat keluarganya tersebar. “Putri saya bertunangan di Lebanon, menikah di Turki, dan melahirkan di Swedia,” katanya sambil duduk di lantai tujuh studio latihan yang menghadap ke laut.
Seorang anaknya berada di Swedia, yang lain tewas terbunuh oleh penembak jitu di Yarmouk, setelah memutuskan tinggal di kamp untuk mendistribusikan pangan, ujarnya.
Namun, latihan teater selama enam minggu dipenuhi lebih banyak tawa daripada tangisan. Pengalaman bermain teater menyediakan sebuah wadah kreativitas langka. “Kami memulai pagi dengan yoga agar mereka rileks dan melupakan kekhawatiran mereka. Ini berfungsi sebagai terapi,” kata Awayti.
“Kami hidup di bawah tekanan, tetapi dalam empat jam kami mendapatkan kekuatan dengan menceritakan kisah kami.”
(win/les)