Wisata Indonesia Masih Dianggap Negatif di Ranah Global

Silvia Galikano | CNN Indonesia
Selasa, 16 Feb 2016 12:17 WIB
Sebut saja di Inggris, dimana citra negatif Indonesia mencapai 90 persen. Pemicunya kasus Bali Nine dan isu lingkungan hidup.
Raja Ampat, permata wisata Indonesia Timur. (Getty Images/Velvetfish)
Jakarta, CNN Indonesia -- Membeli kata kunci (keyword) negatif dan positif jadi keniscayaan untuk memperbaiki citra negatif Indonesia di pasar pariwisata dunia.

Tujuan konkritnya, agar jika mengetikkan “Indonesia” di mesin pencari, yang muncul di layar terdepan adalah tulisan positif, sedangkan tulisan negatif terdorong ke belakang. Cerita negatif tentang Indonesia membuat pemasaran pariwisata Indonesia tak efektif, terlebih pemasaran digital.

Asisten Deputi Bidang Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Noviendi Makalam menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan informal bersama wartawan di Kantor Kemenpar, Senin (15/2). Pertemuan yang digagas Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara I Gde Pitana ini rencananya akan dilakukan rutin tiap akhir bulan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kalau kita mengetikkan ‘Indonesia’ di Google, tujuh teratas yang muncul adalah cerita negatif tentang Indonesia. Begitu juga di Baidu di Tiongkok,” kata Noviendi. “Padahal turisme urusannya citra.”

Dia mengutip studi yang dilakukan Ogilvy, perusahaan periklanan dan pemasaran yang jadi rekanan Kemenpar, persepsi negatif tentang Indonesia masih lebih dominan ketimbang persepsi positif hampir di semua pasar dunia.

Noviendi menunjukkan diagram yang menggambarkan citra negatif Indonesia di Inggris mencapai 90 persen. Penyebabnya kasus Bali Nine, yakni sembilan warga negara Australia yang membawa 8,3 kg heroin, dua di antaranya dihukum mati di Bali pada 29 April 2015.

Di Belanda, Indonesia dicitrakan negatif akibat kasus G30S. Sedangkan di Prancis, Indonesia cela akibat isu lingkungan hidup.

Citra Indonesia di China juga merah karena derasnya isu bahwa Indonesia anti-China dan melakukan diskriminasi terhadap warga keturunan China.

“Sebenarnya ini bukan masalah pariwisata, melainkan reputasi negara secara keseluruhan. Karena itu, yang bisa kami lakukan adalah mengimbangi tulisan negatif itu dengan kabar-kabar yang positif,” ujar Noviendi.

Secara bertahap, ujarnya, dibuat berita positif tentang Indonesia untuk menggugah wisatawan asing datang ke Indonesia. Metode hard selling yang semata-mata menjual destinasi pun divariasikan dengan memberi cerita positif tentang Indonesia.

Itu pula sebabnya anggaran promosi digital tahun ini lumayan besar, yakni Rp624 miliar untuk media online, Rp470 miliar untuk media elektronik, Rp300 miliar untuk media cetak, dan Rp300 miliar untuk media luar ruang.

“Selama ini kita hanya melakukan marketing bukan PR-ing. Tahun ini mulai PR-ing melalui brand Wonderful Indonesia,” ujar Noviendi.

Asisten Deputi Bidang Asia Pasifik Vinsensius Jemadu menjelaskan besarnya ketakutan di masyarakat China tentang masih adanya isu anti-China di Indonesia, adalah karena informasi yang beredar tidak up-to-date.

“Yang beredar itu cerita lama semua. Sekarang kami kerjasama dengan Baidu, Xinhua, dan WeChat untuk meng-update konten internet di sana,” ujar Vinsensius. “Kami juga masuk ke televisi untuk komunitas muslim moderat.”

Alhasil, pertumbuhan wisatawan China ke Indonesia terus naik. Ditambah lagi dengan akan dibukanya penerbangan langsung dari kota-kota lapisan kedua China, yang biasanya lewat Hongkong, ke kota-kota di Indonesia. Kota-kota itu antara lain Chengdu, Kunming, Xi’an, Zhengyang, Ningbo, Changsha, Hangzhou, dan Nanjing.

Wisatawan China yang masih terkonsentrasi di Bali juga nantinya akan diajak ke tempat-tempat lain melalui paket promosi “Explore Further” serta “Bali and Beyond”.

Hingga 2019, ada 25 destinasi yang branding-nya sudah siap untuk promosi ini, dikemas dalam brand “natural wonder”, “cultural wonder”, “sensory wonder”, “modern wonder”, dan “adventurous wonder”. (les/les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER