Penyandang Autisme Juga Bisa Berprestasi

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Kamis, 07 Apr 2016 19:24 WIB
Anak autistik masih punya stigma negatif di masyarakat. Padahal, dengan pola pengasuhan terpadu, penyandang autisme juga bisa berprestasi.
Ilustrasi anak autis. (Matt Cardy/Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mengasuh anak yang memiliki autisme tidaklah mudah. Itu yang dirasakan oleh Lusiana Handoko, setelah mengetahui putra keduanya, Gevin, mengidap autisme.

Kendati demikian, ia berhasil membesarkan Gevin, hingga sukses duduk di kelas XI Sekolah Menengah Atas. Tapi, hal tersebut tidak dijalani Lusiana dengan mudah. 

"Sebagai orang tua, pasti yang paling tahu kondisi anaknya sendiri. Kalau saya, saya melakukan analisis seperti SWOT kepada anak saya. Apa kekuatannya, apa kelemahannya. Baru mencari terapi yang paling tepat untuk anak," kata Lusi, sapaan Lusiana, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com dalam acara Autism Awareness Month di Grand Indonesia, Rabu (6/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lusi mengetahui Gevin memiliki autisme ketika sang anak berusia lebih dari satu tahun. Insting keibuan Lusi terusik ketika menyadari Gevin tak kunjung memberikan tanggapan serta respon ketika diajak berkomunikasi baik verbal ataupun non-verbal. 

Ketika menjelang usia dua tahun, kecurigaannya pun terbukti ketika Gevin dibawa ke dokter untuk berkonsultasi. Serangkaian tes pengamatan yang diberikan dokter menunjukkkan Gevin mengalami keterlambatan perkembangan yang disebut autisme.

Setelah mencari berbagai informasi dan uji-coba berbagai terapi, Lusi memutuskan terapi biomedis adalah yang paling cocok dengan anaknya.

Ia pun tak berkeinginan mencoba terapi lainnya, lantaran merasa tidak ada terapi lainnya yang lebih masuk akal untuk kondisi Gevin.

"Orang tua memang harus melihat kemampuan anaknya sampai mana, jangan overexpectation, tapi juga jangan underestimate. Kalau anaknya tidak sanggup ya jangan dipaksa. Yang saya pelajari, kembangkan anak sampai optimum, bukan maksimum," kata Lusi.

Selain sistem dukungan dari keluarga, Lusi menambahkan sistem pendukung untuk Gevin dari sekolah. Tentu mencari sekolah yang mau menerima anak autis tidaklah mudah. Namun setidaknya dengan sekolah di tempat yang mendukung, Gevin dapat mengejar ketertinggalannya karena autisme yang ia miliki.

Lusi juga rutin mendokumentasikan baik tingkah laku sampai hasil terapi demi melihat perkembangan Gevin, dan dikonsultasikan dengan dokter. Tindakan ini ternyata ampuh juga menyadarkan Gevin akan kondisinya dan menimbulkan keinginan dari dalam diri sendiri untuk berubah.

Menurut pengalaman Lusi, ia pernah menemukan anak autis dengan sikap yang cukup sulit diatur namun ternyata memiliki bakat berpuisi atau menggambar yang sangat baik. Ini membuktikan bahwa di balik kelemahan anak autis, tersimpan bakat terpendam yang perlu dikembangkan.

"Anak autis itu kalau sudah suka dengan suatu bidang, ia akan sangat fokus luar biasa, tidak pernah bosan, bahkan akan sangat mengingat di dalam otaknya dan memiliki performa lebih baik dibandingkan yang bukan autis. Seperti ada pegawai stasiun di New York, ia autis, namun saking cintanya dengan kereta ia jadi hafal semua jalur kereta dan sangat berguna ketika ada yang tersasar," katanya.

Selain itu, Lusi juga menyebutkan bahwa kini semakin banyak bidang pekerjaan yang menerima penyandang autisme. Jenis pekerjaan tersebut, tentulah yang tidak memaksa mereka untuk terlalu sering berinteraksi sosial dengan orang lain, seperti editor dan penerjemah tulisan.

Lusi tidak menampik kekurangan orangtua yang sering terpaku dengan kekurangan anak. “Saran saya cari info sebanyak-banyaknya, lebih baik susah mendidik anak autis sekarang dibanding nanti ketika mereka dewasa mereka tidak dapat mandiri," sebut Lusi.



(les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER