'Kartini Bukan Hanya Pahlawan Emansipasi'

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Kamis, 21 Apr 2016 20:29 WIB
RA Kartini dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita. Padahal, yang jarang diketahui masyarakat, Kartini juga pejuang budaya dan kreativitas.
Raden Ajeng Kartini lebih dikenal sebagai pahlawan emansipasi, padahal perjuangannya lebih dari itu. (Dok. Wikimedia Commons)
Jakarta, CNN Indonesia -- Raden Ajeng Kartini, dikenal sebagai tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dielu-elukan sebagai pelopor kebangkitan perempuan. Pahlawan emansipasi.

Padahal, apa yang diajarkan Kartini bukan sekedar emansipasi. Perjuangannya lebih dari itu.

Hal itu juga dikonfirmasi oleh penulis asal Jepara, Hadi Priyanto yang juga menjadi sosok kepercayaan keluarga Kartini. Hadi mengatakan bahwa keluarga Kartini menyatakan ada pemahaman yang keliru kalau Kartini hanya dimaknai sebagai pahlawan emansipasi wanita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penulis buku 'Trinil Mandor Kloengsoe' juga 'Dua Ningat yang Lekat Rakyat' itu menyebut perjuangan Kartini juga merambah sektor kreativitas, mulai dari pengembangan batik hingga memajukan seni ukir Jepara.

Hadi menyebut kemampuan surat-menyurat Kartini, dimulai dari kemampuannya menulis sejak SD. Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS)sampai usia 12 tahun, tempat dia mempelajari Bahasa Belanda.

Namun di usia 12 tahun, dia dipingit. Harus tinggal di rumah. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri.

Hadi menuturkan sejak dulu, Kartini memang sudah fasih menulis. "Waktu dia SD ada lomba menulis bahasa belanda, menurut pengawasnya karya Kartini yang terbaik, kemampuanya baik karena suka membaca," ujar Hadi.

Adapun kegiatan surat-menyurat Kartini berlangsung saat ia menginjak usia 18 tahun.

Salah satu sahabat pena yang banyak mendukung pemikiran revolusioner Kartini adalah Rosa Abendanon. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Tidak hanya itu, selain rajin menulis dan membaca, Kartini dikenal sebagai sosok yang setia pada budaya lokal.

"Ia tidak suka pada pesta-pesta, pemikirannya selalu mengarah pada 'saya ingin pengetahuan yang dapat memajukan bangsa saya'," ujar Hadi kepada CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Hari Kartini di Indonesia umumnya dirayakan dengan parade busana daerah, seperti yang dilakukan murid-murid TK Sekolah Alternatif untuk Anak Jalanan (SAAJA) di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis 21 April 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Kecintaan Kartini pada budaya lokal dimulai dari nyanyian pengantar tidur "Gending Ginonjing" yang sering dinyanyikan sang Ibu, Ngasirah. Lagu tersebut menceritakan kisah seorang ibu yang sedang menimang-nimang anaknya dan berharap kalau besar berguna bagi masyarakat dan bangsanya.

"Kartini merasa jiwanya mengawang saat mendengar lagu itu, dan melekat pada benaknya," cerita Hadi.

Selain itu, Kartini juga ternyata menyukai seni ukir. Kala itu, menurut Hadi, pengrajin Jepara memiliki hasil yang bagus namun hidupnya masih kekurangan. Hal itu yang kemudian menjadi tantangan untuk Kartini, menurutnya seni ukir harus dapat menjadi industri kerajinan yang menyejahterakan pengrajin.

"Kartini berpikir secara struktural: kenapa masyarakat miskin, punya karya bagus tapi tidak laku jual. Hasil karya yang bagus tidak laku, karena mereka menunggu dirumah sampai pembeli datang, dan yang kasih harga bukan pengrajinnya, harganya yang menentukan pembeli, rugi karena nilai jual rendah," ujar Hadi.

Tak berhenti sampai di situ, saat usia 17 tahun, Kartini mengikuti Pameran Nasional Karya Perempuan tahun 1898 di Den Haag, Belanda, ia mengirimkan 21 karya Jepara termasuk, seni ukir, pigura, lukisan, sisir dan juga batik yang ia kirim beserta tata cara membuatnya.

Tata cara dan prosedur pengerjaan batik itulah yang kemudian menjadi penting untuk sejarah batik Hindia-Belanda. Kartini pun dikenal sebagai pelopor batik Lunglungan Bunga, batik motif Jepara.

Keberhasilan Kartini dalam pameran tersebut, mendorong dan sekaligus menginspirasi dia untuk membantu perajin yang ada di Jepara menambah penghasilan.
Banyak yang tidak mengetahui bahwa RA Kartini juga merupakan sosok yang ikut memajukan industri ukiran Jepara sejak tahun 1898. (Thinkstock/antoni halim)
Di antara banyak desa yang meningkatkan perajin ukirnya, Kartini memilih perajin yang berada di daerah Belakang Gunung. Ia sering mengunjungi daerah ini sehingga ia cepat dikenal oleh para perajin sebagai putri Bupati Jepara.

Menurut Kartini, Belakang Gunung memiliki perajin yang karya- karyanya sangat indah. Namun mereka tetap miskin dan tinggal di rumah-rumah reyot yang terbuat dari bambu dan beratapkan daun nipah.

Dukungan ayah dan saudaranya, Kartini memanggil beberapa perajin dari dukuh Belakang Gunung di bawah bimbingan Singowiryo. Semula mereka hanya berjumlah 12 orang. Namun ketika jumlah pesanan semakin banyak, perajin di bengkel Kartini mencapai 50 orang.

Pengrajin itu ditempatkan di belakang rumah kadipaten serta diminta untuk membuat barang kecil-kecil seperti peti rokok, tempat jahitan, meja kecil, dan beberapa jenis produk lainnya. Setelah jadi, barang-barang ini dijual Kartini ke Batavia dan Semarang dengan harga yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan harga penjualan di Jepara. Setelah dipotong dengan biaya pengiriman dan bahan baku, uang penjualan ini diberikan kepada para perajin.

Kartini memang tidak mudah puas dengan apa yang sudah dicapai. la berusaha terus untuk meningkatkan kualitas dan keberagaman motif ukir Jepara. Bahkan ia meminta para perajin untuk mengukir wayang pada kotak yang akan ditawarkan kepada pembeli.

"Ini sebuah terobosan yang luar biasa sebab para seniman ukir waktu itu tabu untuk mengukir wayang atau mahluk hidup," tulis Hadi pada bukunya 'Mozaik Seni Ukir Jepara’.

Setelah dirasa usahanya cukup besar, Kartini melakukan hubungan dagang dengan Oost en West yang baru saja membuka cabang di Batavia. Lembaga yang dipimpin oleh Ny. N Van Zuylen ini berdiri tahun 1899 dan kerap menggelar Pameran Karya Wanita di Den Haag. Tujuannya untuk mengembangkan dan memasarkan hasil kerajinan bumiputera.

Berkat kerja keras Kartini di bidang seni kreativitas, tahun 1923 Belanda memberikan penghargaan untuk karya Kartini, dengan membangun sekolah pertukangan, untuk mendidik anak muda menjadi pengrajin meubel. (les)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER