Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang penulis asal Jepara, Hadi Priyanto dikenal menjadi sosok kepercayaan keluarga Kartini. Kelihaiannya dalam menulis tentang Kartini dan berkat pengetahuannya, membawanya dekat dengan keluarga Kartini, bahkan bersahabat.
Hadi bercerita, kedekatannya ini membuat dirinya kerap kali ditunjuk sebagai juru bicara keluarga, untuk orang luar yang ingin mengetahui sosok Kartini. Contohnya, saat penggarapan film 'Kartini' besutan Hanung Bramantyo.
Menjadi keturunan seorang pahlawan nasional, tentu akan menjadi perhatian masyarakat. Namun tidak untuk keluarga dari Kartini, berdasarkan cerita Hadi, menjadi keturunan pahlawan nasional tak membuat keluarganya ingin 'tampil'. Mereka memilih tertutup, tak ingin mengungkapkan jati diri, dan tak ingin diketahui bahwa mereka adalah keluarga Kartini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keluarga Kartini meyakini bahwa Kartini dipilih oleh jaman, oleh Tuhan untuk menjadi sesuatu, untuk bangsanya. Kesederhanaan mereka membuat tak ingin mengungkapkan jati diri, tapi sangat bangga bahwa Kartini milik bangsa," ungkap Hadi yang kini menjabat sebagai Kepala Bagian Humas Pemda Jepara, ketika dihubungi
CNNIndonesia.com, belum lama ini.
Menurutnya, keluarga melihat Kartini bagaikan seekor burung yang ketika sayapnya patah ia akan bangkit untuk terbang lagi.
"Konkretnya ketika ia tidak boleh sekolah kayak sayapnya patah, bangkit lagi dan sadar 'oh saya tidak boleh seperti ini mesti semangat’," ungkap Hadi.
Keberuntungan Kartini karena dia memiliki teman dan saudara yang mendukung. Contohnya saat dia dipingit, banyak temannya yang datang mengunjungi.
Tidak hanya itu, kakaknya, Sosrokartono, terus mendorong Kartini untuk menggapai cita dan mimpi, tanpa peduli kungkungan gender dan tradisi.
Penerus Darah Kartini
Sayang, perjuangan Kartini terbilang singkat. Dia meninggal di usia 25 tahun setelah melahirkan anaknya, Soesalit Djojoadhiningrat.
Tapi, keturunannya tak hilang. Kartini memiliki satu orang cucu dari Soesalit yaitu, R. M Boedhy Setia Soesalit yang menikah dengan Sri Biatini. Boedhy dan Biatini dikaruniai 5 orang anak, yang merupakan cicit langsung Kartini.
Menurut, Hadi, anak pertama mereka dikaruniai 3 anak, lalu anak kedua dikaruniai satu anak, anak ketiga memiliki satu anak, anak ke empat memiliki dua anak dan anak terakhirnya tidak memiliki anak karena sakit.
"Mereka mewarisi nilai-nilai Kartini dalam bentuk lain, menghargai Kartini lebih dari segalanya. Mereka hidup sederhana, tidak mau muncul sebagai keturunan Kartini," ujar Hadi.
Selain itu, Hadi menambahkan, keluarga tidak merayakan Hari Kartini dengan festival meriah, seperti mengenakan busana daerah atau hal lain. Keluarga memilih melakukan doa bersama tanpa adanya perayaan khusus.
"Keluarga sangat sederhana, hanya berkumpul melakukan doa khusus setiap tanggal 21 bukan selametan, karena kesederhanaannya tidak mau mengklaim diri sebagai anak keturunan kartini, tetangganya bahkan tidak tahu kalau mereka keluarga Kartini, " papar Hadi.
Sebagian besar keluarga Kartini khususnya keturunan langsung menurut informasi Hadi kini tinggal di Jawa Barat, tidak ada lagi yang tinggal di tanah kelahiran Kartini. Warisan yang diberikan Kartini pun berupa keteguhan hati sehingga tidak mudah patah arang.
 Murid-murid TK Sekolah Alternatif untuk Anak Jalanan (SAAJA) melakukan pawai dengan menggunakan pakaian adat kelliling di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis, 21 April 2016. Banyak yang menyayangkan perayaan Hari Kartini kini tampak hanya dimaknai sekadar kebaya dan sanggul semata. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ajaran Kartini Masih RelevanSelain keluarga, penerus Kartini adalah generasi muda yang tetap memegang teguh ajarannya. Salah satu ajaran Kartini yang lekat dengan masyarakat Indonesia adalah tentang emansipasi wanita. Ajaran tersebut dianggap masih relevan bagi generasi kini. Mereka yang meneruskan ajaran itu, bagaikan penyambung 'sayap patah' Kartini.
"Ajaran Kartini masih relevan sampai sekarang. Ajaran Kartini yang
gue suka itu kalau perempuan harus berpendidikan, semangat dan nggak mau ditindas terus, meski kebebasannya dibatasi kaum lelaki. Itu juga kadang masih terjadi sampai sekarang. Satu hal yang pasti, perempuan harus berpendidikan, jadi saat menikah dan punya anak, mereka bisa mendidik anak dengan baik. Bisa membela haknya, bisa menjalankan perannya, tidak lupa tanggung jawabnya," tutur Ketty Tressianah.
Di sisi lain, Lamia Sari Putri berpendapat ajaran Kartini mengajarkan agar wanita menjadi independen dan bebas dari belenggu kaum pria. "Dulu, wanita tergantung pada pria sebagai tulang punggung keluarga, akibatnya perempuan banyak dipermainkan. Kartini mengajarkan agar perempuan harus juga pintar dan cerdas, punya harkat dan martabat yang sejajar dengan lelaki. Karena perempuan yang cerdas akan mencerdaskan bangsa," jelas Lamia.
Bukan hanya para wanita yang menanggap ajaran Kartini masih relevan, tapi juga para pria.
"Walau bagaimanapun beliau adalah salah satu yang membawa sebuah semangat untuk bangkit di diri perempuan. Bangkit dari kebodohan, dan yakin bahwa pendidikan itu untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin," kata Ginokkon Aseando.
Meskipun begitu, pria yang akrab disapa Nando itu menggarisbawahi bahwa wanita masa kini kerap kali 'kebablasan' mengekspresikan ajaran Kartini. "Kalau dibilang jaman sekarang orang sudah kebablasan dalam 'kekartiniannya' dan selalu menggotong 'nilai' kesetaraan gender dari Kartini sebagai alasan," ujar pria yang berprofesi sebagai fotografer lepas ini.
Senada dengan Nando, Arief Fadhilah pun menganggap ajaran Kartini masih relevan hingga kini. "Tidak hanya masalah relevansi, tapi ajaran Kartini masih perlu diperjuangkan karena banyak wanita yang masih di bawah kungkungan aturan, seperti tradisi dan kewajiban," terang Arief.
Adapun Dani Rahmat lebih menekankan perayaan Hari Kartini pada sisi penghargaan kaum wanita. "Kalau berbicara kesetaraan, definisinya masih ambigu. Akan lebih tepat jika jadi bentuk penghargaan bagi kaum perempuan," tuturnya kepada
CNNIndonesia.com.Pendapat Dani didukung oleh Vickar Adam, yang menyebut bias gender akan terus terjadi disaat perempuan masih terus mempermasalahkan kesetaraan. "Dari tingkat sekolah dasar saja, guru sudah mengajarkan perbedaan jenis tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kedepannya akan terus tertanam," papar Vickar.
(les)