Nostalgia Gelanggang Remaja Era Orba

Vega Probo | CNN Indonesia
Jumat, 09 Sep 2016 21:26 WIB
Kondisi kolam renang Gelanggang Remaja dulu sangat kontras dengan kolam renang di SD swasta internasional yang pernah saya sambangi.
Ilustrasi berenang (lyingmonkey/Pixabay)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengalaman beberapa waktu lalu mengantar anak-anak kakak dan kawan ke sekolah—SD swasta internasional—sempat membuat saya tercengang dan terkagum-kagum. Betapa tidak, fasilitasnya begitu lengkap.

Selain ruang kelas bertingkat-tingkat, dalam kompleks sekolah mereka juga ada sejumlah arena olahraga, dari lapangan basket dan futsal, sampai kolam renang. Wow, alangkah kontrasnya dengan kondisi SD saya dulu. (Baiklah, saya akui, itu era Orba, 1980-an).

SD di mana saya menuntut ilmu berlokasi di Kramatjati, Jakarta Timur, dan berjarak selemparan batu dari rumah. Tak ada tingkat, hanya satu lantai terdiri dari enam kelas. Fasilitasnya? Hanya satu lapangan basket, juga sepetak tanah untuk lompat jauh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kegiatan berenang dilakukan di kolam renang Gelanggang Remaja Jakarta Timur (GRJT) di kawasan Otto Iskandar Dinata (Otista) yang berjarak sekitar lima kilometer dari Kramatjati. Untuk mencapai GRJT, guru olahraga kami, Ibu Diah, menyewa truk tentara.

Maklum, ketika itu, jumlah angkutan kota (angkot) tidak banyak. Sementara kami—para siswa satu kelas yang berjumlah 48 orang— harus berangkat bareng. Jadi mau tidak mau naik truk tentara. Bisa jadi ongkos sewanya relatif lebih murah ketimbang bus.

Begitu sampai GRJT alias Youth Center, kondisi kolam renang sudah pasti ramai. Ratusan orang nyemplung berbarengan. Mengingat kami adalah anak-anak yang baru belajar berenang, maka tertelan air kolam yang hijau mirip lumut itu sulit dihindari.

Kondisi kolam renang GRJT dulu tentu saja sangat kontras dengan kolam renang di SD swasta internasional yang pernah saya sambangi itu. Kolam renang mereka privat, airnya bening kebiruan. Jumlah orang yang nyemplung hanya segelintir, sesuai jadwalnya.

Meski dulu kondisi kolam renang GRJT buruk, toh saya dan kawan-kawan tetap bisa belajar berenang. Setelah ‘menguasai’ kolam renang ukuran Olympic, saya dan beberapa teman berani beralih ke kolam sebelah sedalam empat meter yang airnya hijau pekat.

Begitu pekatnya sampai-sampai mirip kolam cincau. Berlumut tebal, entah sudah berapa tahun tidak dikuras. Tak jarang, kami tertabrak perenang lain. Air ‘cincau’ pun tertelan lagi. Syukur, perut kami baik-baik saja. Kulit kami juga tidak gatal-gatal.

Selesai berenang, urusan masih panjang. Pancuran di kamar mandi tak lebih dari 10 buah. Bisa dibayangkan berapa lama kami harus mengantre untuk mandi atau sekadar berbilas. Pada akhirnya kami memang jarang mandi, hanya berbilas saja supaya cepat.

Teman-teman yang sudah lebih dulu mandi atau berbilas, kemudian jajan jagung rebus atau syomai di pelataran parkir GRJT. Saking lama menunggu kawan-kawan lain yang belum atau sedang mandi, seorang kawan mengirit makan jagung rebus sembari memipil satu per satu.

Kini, tiga dekade berlalu, saya dan kawan-kawan tidak bisa melupakan momen di GRJT, terutama ‘tradisi’ makan jagung rebus ekstra lelet itu. Tak jarang, saat bertukar obrolan—termasuk via grup WhatsApp—pengalaman seru berenang di GRJT jadi subjek utamanya.

“Itu adalah karya terbesar Bang Ali Sadikin,” kata kawan saya, Deddy Maryadi, dengan nada bangga. “Dulu, [Pemprov] DKI Jakarta enggak punya uang kayak sekarang, tapi bisa bangun fasilitas umum banyak.” Kawan-kawan lain pun bersahutan, bernostalgia.

Dari mereka, saya tahu kondisi GRJT kini lebih baik. Yang mencengangkan, menurut kawan saya, Tri Murti Handayani, pegawai Sudin Olahraga Jakarta Timur, si penjual syomai masih orang yang sama: Pak Sugiono. Bedanya, kini ia naik motor, bukan lagi sepeda.  

Ternyata banyak juga kawan-kawan yang sampai sekarang masih setia menyambangi GRJT. Kawan saya, Fitri Hartati, selalu mengantar anak-anaknya berlatih karate dua kali seminggu. Ia melaporkan kepada kami, “Itu syomai, pas Minggu siang saja sudah habis, laris.”

Menurut Fitri, yang akrab disapa Ity, sekarang kondisi GRJT sudah lumayan bagus. “Ada masjid besar dan ada selasar luas untuk para orang tua yang menunggui anak-anaknya berlatih di situ.” Diakui Tri, kegiatan anak-anak dan remaja masih digelar di GRJT.

“GRJT sekarang dikelola Dinas Olahraga Pemprov DKI Jakarta,” kata Tri yang mengenal baik ‘petinggi’ GRJT. “Kegiatannya, dari olahraga basket, voli, taekwondo, renang dan bulutangkis. Kalau mau bikin pesta pernikahan juga bisa, ada auditoriumnya.”

Selain olahraga, dulu semasa SMA, saya sempat ikut kursus vokal di GRJT bersama kawan saya, Dewi Kusumastuti. Kursus itu didukung Pranadjaja, penyanyi seriosa sekaligus pendiri Bina Vokalia. Menurut Tri, sampai kini kegiatan kesenian masih berlangsung di GRJT.

GRJT memang tidak semewah pusat kebugaran di mal atau hotel. Tapi waktu membuktikan, GRJT tetap mampu menjalankan perannya sebagai pusat kegiatan kaum muda, yang tidak jarang melahirkan prestasi. GRJT juga menorehkan kenangan yang tidak terlupakan.

(vga/les)
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER