Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Pariwisata Arief Yahya memang sedang gencar mempromosikan Go Digital Be The Best. Alasannya, tentu saja bukan karena beliau Mantan Dirut PT Telkom. Go Digital bukan juga untuk mengikuti tren masa kini. Selama lebih dari 30 tahun, Arief Yahya sudah bergelut dengan dunia IT dan digital. Go Digital memang diproyeksikan untuk menembus proyeksi spektakuler 20 juta wisman di tahun 2019.
"Kalau ada platform yang lebih baik dari digital, silakan bawa ke saya. Mari kita bedah dan mari kita uji. Sejauh ini, saya masih berkeyakinan bahwa hanya dengan cara yang tidak biasa, kita bisa mendapatkan hasil yang luar biasa! Dan cara yang luar biasa itu adalah digital," kata Arief Yahya mengawali rapat pimpinan di lantai 16, sesaat sebelum membacakan CEO Message #11.
Ini adalah CEO Message yang diberi judul Go Digital oleh Menpar Arief Yahya. The more digital, the more personal.The more digital, the more professional.The more digital, the more global.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada yang istimewa di Rakornas Kemenpar ketiga. Pasalnya, Rakornas mengangkat tema Go Digital. Tema ini dipilih bukan untuk mengikuti tren tetapi dipilih karena memang menjadi urgensi bagi semua pihak. Tentunya untuk merambah ranah digital dalam mewujudkan visi 20 juta wisman di tahun 2019. Oleh sebab itu, Kemenpar harus melakukan transformasi digital, tanpa itu tidak mungkin bisa mewujudkan visi menantang.
"Saya tidak main-main dengan tema Go Digital. Ini bukan sekedar omongan dan slogan semata, tapi akan saya wujudkan secara kongkrit. Secara serius saya akan merombak pola pikir dan cara kerja Kemenpar menjadi semakin digital. Caranya dengan mendorong sebanyak mungkin digital initiatives di kementerian ini.,'' Menpar.
Dalam kesempatan yang lalu, Kemenpar sudah meresmikan War Room. War Room merupakan pusat kendali peperangan berupa perangkat berbasis digital yang memungkinkan Kemenpar mengambil keputusan-keputusan secara cepat dengan berbasis pada data real time.
''Data real time ini tak mungkin kita peroleh jika platform kita tidak digital. Saya juga sudah meminta Pak Samsriyono untuk mempersiapkan sebuah platform online marketplace pariwisata Indonesia yaitu ITX (Indonesia Travel Exchange). Platform ini akan berfungsi super efisien sebagai hub yang mempertemukan supply dan demand industri pariwisata Indonesia.
Terkait Go Digital, saya punya tagline yang sepertinya orisinal yaitu: "The more digital, the more personal. The more digital, the more professional. The more digital, the more global," kata Arief Yahya.
Menpar juga meyakini bahwa semakin digital makan Kemenpar akan bisa menggunakan beragam apps dan digital tools. Fungsinya untuk menyentuh satu-persatu konsumen secara personal. ''Kita bisa tahu demografi, psikografi, dan perilaku konsumen kita satu-satu. Semakin digital maka cara kerja kita dalam menggaet wisatawan akan semakin profesional, misalnya dengan memanfaatkan convergence media yang mengintegrasikan paid, owned, dan social media,'' katanya.
Selain itu, dengan menggunakan big data Kemenpar juga akan mampu mendapatkan insights perilaku konsumen yang jauh lebih presisi.Selanjutnya, semakin digital diharapkan semakin bisa menjangkau konsumen global dari manapun dia berada di muka bumi ini. ''Begitu kita menggunakan platform digital, maka kita bisa diakses oleh wisatawan dari manapun di seluruh dunia.
Digital LifestyleGo Digital sebaiknya mulai diterapkan karena konsumen sudah berubah jauh perilakuknya menjadi semakin digital. Apalagi jika Gen Y (milenial) dan Gen Z semakin besar jumlah dan pengaruhnya.
"Kini kita mengenal istilah "always-connected travellers", di mana pun dan kapan pun mereka saling terkoneksi dengan adanya mobile apps/devices. Ingat, jika kita tak berubah mengikuti perubahan konsumen, kita pasti akan mati.,'' papar Arief Yahya.
Hal itu juga diperkuat dengan gaya hidup wisatawan dalam mencari informasi destinasi, membandingkan antar produk, memesan paket wisata, dan berbagi informasi. Semuanya telah mereka lakukan secara digital. Singkatnya mereka search and share menggunakan media digital. Ada 3 ciri digital lifestyle, yakni mobile, personal, dan interactive. Dalam mencari informasi, membeli, dan mengonsumsi produk wisata, wisatawan telah menggunakan mobile device, melakukan engagement secara personal, dan interaksinya bersifat two-way bahkan many-to-many dengan cara berbagi dengan peers dan komunitasnya.
Sudah seharusnya Anda ketahui bahwa pencarian produk (search) dan berbagi informasi (share) di industri pariwisata kini sudah sekitar 70% menggunakan media digital. Penting juga untuk Anda ketahui bahwa efektifitas media digital (digital media effectiveness) bisa mencapai empat kali lipat dari media konvensional.
''Karena itu kita harus mulai meninjau ulang proporsi media digital kita dibanding media konvensional. Berdasarkan statistik biaya promosi yang dikeluarkan di seluruh dunia rata-rata adalah sekitar 70% uang kita di media konvensional dan 30% di media digital atau 70:30, maka proporsi ini harus kita ubah menjadi 60:40 atau bahkan 50:50. Dengan mengalikan proporsi tersebut ke masing-masing angka media effectiveness-nya, maka kita bisa melihat berapa kali kenaikan efektifitasnya," terang Arief Yahya.
Perhitungannya cukup sederhana. Kalau proporsinya 70:30 maka perhitungannya adalah 70 x 1 ditambah 30 x 4, yaitu 190. Nah, kalau kita ubah proporsinya menjadi 60:40, maka perhitungannya menjadi 60 x 1 ditambah 40 x 4, yaitu 240. Jadi untuk masing-masing proporsi itu kita akan mendapatkan kenaikan media effectiveness dari 190 menjadi 240. Kalau proporsinya diubah menjadi 50:50 maka tentu kenaikan efektivitasnya akan lebih besar lagi. Intinya, dengan menaruh uang sebagian besar di media digital, maka akan mendapatkan efektifitas yang jauh lebih tinggi, ,'' sambung Menpar Arief Yahya.
Look-Book-PayFaktanya, digital media juga lebih ampuh dibanding conventional media. Hal itu dikarenakan pada dasarnya digital media adalah convergence media. Convergence media ini terbagi menjadi tiga, yaitu paid, owned, dan earned media.
''Karena orang mendefinisikan earned media sulit, saya mengganti namanya biar mudah menjadi social media. Tiga jenis media ini menyasar target wisatawan yang berbeda-beda. Paid media seperti ad banner atau paid search untuk menyasar prospects atau khalayak umum yang belum menjadi pelanggan kita. Owned media seperti website atau blog menyasar customers. Sementara social media seperti Facebook atau Instagram untuk menyasar para advocators,'' kata Menpar Arief Yahya.
Konvergensi antara paid, owned, dan social media ini bisa terwujud hanya jika menggunakan digital media. ''Dengan conventional media kita tak mungkin bisa melakukannya. Sementara, digital media ini saya beri istilah baru yaitu, Look-Book-Pay. Istilah ini mengacu pada pola consumer journey yang dimulai sejak wisatawan mencari dan melihat-lihat informasi (Look), kemudian memesan paket wisata yang ia minati (Book), dan kemudian membayarnya secara online (Pay),'' sambung Arief Yahya.
Look artinya media untuk mencari informasi seperti Google, Baidu, atau TripAdvisor. Book adalah media untuk memesan produk wisata seperti:
booking.com, C-Trip/AliTrip, atau Traveloka. Sementara Pay adalah media atau apps untuk melakukan pembayaran seperti, PayPal. AliPay, atau Amazon.
Kalau dari Look kita menggunakan conventional media seperti TV atau koran, maka kita tak bisa mengintegrasikannya secara digital dengan booking company (Book) atau online payment company (Pay). Kalau integrasinya tidak bisa, maka konsep convergence media tidak bisa kita jalankan,'' kata Arief Yahya.
Di kalangan Gen Y hingga Gen Z, proses Look-Book-Pay tersebut sudah mulai dilakukan secara fully-digital. Dengan demikian jika platform tak mampu mengakomodasinya, maka jelas akan ketinggalan kereta.
Dalam digital marketing, conversion rate merupakan hal terpenting untuk tercapainya sukses penjualan. ''Tak ada gunanya memiliki awareness yang tinggi di Google atau Facebook jika awareness itu tidak dikonversi menjadi penjualan. Apa itu conversion rate? Kalau kita hit di Google, maka dalam konsep AIDA (Awareness, Interest, Desire, Action) maka posisi kita masih sebatas Awareness, Interest, bahkan mentok hingga Desire saja,'' ujarnya.
Di samping itu, untuk bisa menghasilkan penjualan, wisatawan harus berlanjut hingga ke Action. Dalam dunia pariwisata, Action adalah Book dan Pay. Jadi agar sampai tahap transaksi, penjualan customer journey-nya harus sampai pada Book dan Pay.
''Saya sering katakan bahwa Look merupakan hasil dari branding, sementara Book-Pay adalah hasil dari advertising dan selling. Sementara conversion rate akan tinggi jika wisatawan tidak hanya Look tetapi juga Book dan Pay. Jadi jumlah wisatawan yang Book dibanding Look (Book/Look) itulah conversion rate. Selain itu, jumlah wisatawan yang Pay dibanding yang Book (Pay/Book) dan pada akhirnya jumlah wisatawan yang Pay dibanding yang Look (Pay/Look) itulah conversion rate, ujar Arief Yahya.
Saatnya bandingkan antara Google dan TripAdvisor. Jika Anda mendengar presentasinya Google, maka mereka akan bilang hits dan click-nya tinggi. Namun, ketika ditanya berapa conversion rate-nya hingga berujung ke penjualan, Google akan sulit menjawab karena conversion rate-nya kecil. Sementara jika TripAdvisor, akan menjawab jika conversion rate-nya tinggi walaupun hits dan click-nya kecil,'' sambung Menpar Arief Yahya.
Hal itu bisa terjadi karena pengunjung TripAdvisor sudah terseleksi secara spesifik. Mereka merupakan para travellers yang memang secara khusus berburu tiket pesawat, hotel, maupun paket wisata.
''Intinya saya ingin mengatakan bahwa kita harus cermat dan mengerti nature dari media yang kita pilih. Dalam urusan branding akan lebih efektif jika kita menggunakan Google, tetapi untuk selling TripAdvisor jauh lebih efektif," ujar Arief Yahya.
"Sekarang saatnya kita lihat bagaimana alokasi dana promosi yang untuk TripAdvisor. Pada tahap awal materi promosi untuk branding 80%, advertising 20%, dan selling 0%. Alokasi ini kita lakukan karena kita belum mengerti benar tentang positioning TripAdvisor sebagai search engine yang dikhususkan untuk traveler, sehingga kecenderungan viewer adalah langsung untuk melakukan transaksi. Setelah kita mengerti, maka komposisi materi promosi harus diubah menjadi, branding 20%, advertising 30%, dan selling 50%,'' tambah Arief Yahya.
Jika komposisinya sudah seperti ini, diharapkan return on marketing investment (ROTI) akan naik secara tajam. Hal ini dikarenakan dana promosi yang dinvestasikan semakin banyak yang bisa dikonversikan menjadi dolar, bukan awareness semata.
"CEO message yang singkat ini saya harapkan bisa menjadi pengantar bagi rekan-rekan Kemenpar dalam memasuki jagat digital marketing. Namanya pengantar, tentu saja ilmu yang disampaikan masih seujung kuku. Kemudian untuk mendalaminya agar lebih jauh rekan-rekan harus open mind, terus belajar, dan tidak boleh resisten pada dunia baru ini,'' katanya.
Ingat, go digital or you’ll die!!! So, let’s change and embrace the digital world. Salam Pesona Indonesia," tutup Menpar Arief Yahya
(odh/odh)