Jakarta, CNN Indonesia -- Oktober 2009 menjadi salah satu momen bersejarah dalam kebudayaan Indonesia. Bulan itu, batik diakui oleh UNESCO, Badan Dunia untuk Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan, sebagai mahakarya kebudayaan bukan benda dan lisan umat manusia. Indonesia bangga bukan kepalang.
Kini, tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan batik sebagai harta warisan umat manusia. Batik pun sudah bukan lagi menjadi barang asing dalam keseharian kehidupan modern mulai dari anak-anak hingga lansia, dari bentuk tradisional hingga modern.
Namun, ternyata perayaan Hari Batik Nasional dianggap oleh
creative director Iwan Tirta Private Collection, Era Soekamto, harus lebih dari sekadar hari menggunakan batik atau mengenang pengakuan batik oleh dunia internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hari batik sebenarnya bisa jadi titik poin untuk evaluasi dan instrospeksi oleh semua orang. Kini, semua orang ingin tahu tentang batik dan itu bagus, namun tetap harus menjadi lebih baik dari sebelumnya," kata Era Soekamto, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Menurut Era, kini makin banyak orang bukan hanya ingin tahu lebih tentang batik namun juga mengembangkannya. Bagi wanita yang sudah mengenal batik sejak dekade '90-an ini, keinginan harus diimbangi dengan pemahaman yang cukup tentang batik.
Batik, banyak disalahartikan sekadar beraneka motif atau corak dalam sebuah kain. Padahal, batik sejatinya bisa bermakna dua hal menurut Era. Batik adalah teknik dengan canting dan malam atau lilin, dan batik berupa makna yang terkandung di dalamnya.
"Sekarang euforianya semua orang bikin batik, itu tidak masalah. Namun bukan berarti membuat batik daerah lalu dilakukan dengan cara cetak atau
print," kata Era. "Ke-dua, makna yang terkandung di dalamnya. Kalau batik asli, ia mengandung makna transedental."
"Motif yang ada di batik itu punya pesan khusus untuk bangsa Indonesia agar maju dan batik adalah peninggalan dari peradaban yang lestari, yaitu peradaban yang dekat dengan Tuhan," kata Era.
Era sudah mempelajari batik bukan hanya dari 13 ribu motif peninggalan mendiang maestro batik Iwan Tirta, namun ia juga mengenal batik yang mengisahkan makna, sejarah, dan hekikat dari peradaban ketika batik itu dibuat.
Bagi Era, batik sejatinya adalah kitab yang berjalan. Ia merekam makna hidup yang kemudian merujuk pada pemahaman akan pencerahan tentang ketuhanan.
"Jadi sebenarnya yang dipelihara itu adalah sebuah peradaban yang besar dan dekat dengan Tuhan. Nah, masalahnya, banyak sejarah yang terpotong, pengaruh dari luar negeri, sehingga orang lebih cenderung merujuk ke luar negeri. Dan inilah kondisi pasar saat ini," kata Era.
"Batik bukan sekadar bagus," kata Era. "Pengembangan batik harus tetap diimbangi edukasi agar batik lestari sesuai pakemnya dan menjaga pakem itulah yang penting sekali. Untuk sekadar
personal statement dalam fesyen tidak masalah, asal ingat pakem."
(end/vga)