Menpar Arief Yahya Keluarkan CEO Message #15

adv | CNN Indonesia
Kamis, 17 Nov 2016 11:49 WIB
Menpar Arief Yahya kembali menggelar rapim di minggu kedua bulan November 2016.
Jakarta, CNN Indonesia -- Menpar Arief Yahya kembali menggelar rapim di minggu kedua bulan November 2016. Rapim tersebut diadakan di Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Dalam rapim tersebut, Menpar Arief Yahya mengeluarkan CEO Message yang ke-15. Message yang harus dijadikan panduan di internal kementerian, ternyata juga boleh dikonsumsi publik untuk benchmark atau referensi dalam menjalankan roda perusahaan, kementerian atau lembaga lain.

“Saya selalu berawal dari akhir. Berangkat dari target 20 juta wisman di 2019 dan untuk menuju target itu, harus menggunakan cara Apa? Bagaimana? Kapan? Mengapa harus menggunakan cara itu? Dimulai Kapan dan Darimana?” sebut Mantan Dirut PT Telkom yang lulusan ITB Bandung, Surrey University Inggris, dan Doktor Unpad Bandung itu.

Menpar Arief Yahya mem-break down dari sisi Atraksi, Amenitas, dan Akses untuk mengejar target 20 juta wisman. Dalam CEO Message juga dikupas bagaimana menemukan seats capacity 30 juta agar tercapai target 20 juta wisman. Hal itu merupakan salah satu cara untuk menggarap akses. Namun untuk amenitas dan kapasitas akomodasi masih membutuhkan waktu dalam proses pengembangannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan begitu, Menpar Arief Yahya mengeluarkan CEO Message#15 untuk melakukan trobosan cerdas. Nantinya akan dicari titik temu proyeksi dan opportuniry-nya. Berikut ini transkrip dari CEO Message#15 yang berjudul “Homestay untuk Desa Wisata”:

Untuk mengembangkan wisata pedesaan di desa-desa wisata diperlukan konsep low-cost tourism (LCT). Melalui konsep LCT ini kita ingin menjadikan pariwisata sebagai sebuah basic needs. Dengan begitu, harganya harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Caranya, kita harus menciptakan attraction, access, dan accomodation (3A) yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas (excess capacity) yang ada.

Sementara, untuk mewujudkan accomodation yang murah dan mudah kita harus melakukan terobosan dengan membangun homestay (rumah wisata) sebanyak mungkin di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air. Murah karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau karena dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Mudah karena wisatawan dari seluruh dunia bisa mengakses informasinya melalui Indonesia Travel Exchange (ITX). Dengan inisiatif ini, kita bahkan berambisi untuk memposisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia.

Identitas Arsitektur Nusantara

Akhir Oktober lalu, bertempat di Gedung Sapta Pesona kita mengumumkan para pemenang Sayembara Desain Arsitektur Nusantara untuk homestay. Kita menetapkan 10 pemenang yang mewakili desain arsitektur homestay untuk 10 destinasi prioritas yang sudah kita tetapkan. Ke-10 desain homestay ini nantinya akan menjadi acuan pembangunan homestay di Tanah Air. Dengan begitu diiharapkan desain arsitektur kita memiliki ciri khas yang mengacu pada budaya dan kearifan lokal Nusantara.

Ide penyelenggaraan sayembara tersebut berawal dari keprihatinan Bapak Presiden mengenai tak adanya identitas arsitektur Nusantara. Seni dan budaya membangun rumah adat di Indonesia itu begitu beragam. Ratusan jumlah suku memiliki ratusan model arsitektur. Ada Rumah Bolon di Sumatera Utara, Tongkonan di Toraja, Joglo, dan pendopo Limasan di Jawa, atau rumah adat Bali dengan ornamen yang khas. Namun kini ratusan warisan desain itu kian tergusur oleh model-model arsitektur dari luar yang menyerbu hampir di semua kota di Tanah Air.

Dua kali Pak Presiden mengingatkan saya mengenai pentingnya identitas ini. Pertama saat melakukan kunjungan kerja ke Mandeh, Pesisir Selatan, beliau mengingatkan agar arsitektur Nusantara dilestarikan. Secara khusus Bapak Presiden mengingatkan agar kita melestarikan arsitektur atap rumah Bagonjong di Minangkabau Sumatera Barat.

Kedua, pada saat kunjungan kerja ke Borobudur beliau mengingatkan sekali lagi pentingnya identitas ini. Beliau mengatakan, agar tidak membuat candi Borobudur menjadi benda yang asing, maka pada saat akan memasuki kawasan wisata bersejarah tersebut kita harus mengondisikannya dengan bangunan-bangunan rumah yang selaras dengan arsitektur Borobudur.

Target 100.000 Homestay

Sayembara Desain Arsitektur Nusantara untuk homestay dilakukan tak hanya sekedar untuk melestarikan kekayaan budaya kita, tapi lebih strategis lagi untuk memenuhi kebutuhan akomodasi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan visi mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara di tahun 2019. Untuk mewujudkan visi tersebut setidaknya kita butuh 100 ribu kamar di berbagai destinasi wisata utama kita.

Coba kita sedikit berhitung. Kalau pukul rata setiap hotel memiliki 100 kamar, maka untuk mewujudkan target di atas kita butuh setidaknya 1000 hotel. Ambil contoh hotel chain terbesar, salah satunya Accor Group, hanya mampu membangun sebanyak 100 hotel hingga 5 tahun ke depan. Ambil rata-rata per hotel memiliki 200 kamar, maka Accor hanya mampu menyediakan 20.000 kamar.

Itu satu isu. Isu yang lain, hotel chain seperti Accor Group tentu saja tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Ia akan membangun hotel di kota-kota besar dengan pasar yang sudah terbentuk. Sementara itu, kita justru ingin membangun hotel-hotel di seluruh Indonesia, langsung saya sebut saja di desa-desa wisata.

Untuk member solusi dua isu tersebut, kita perlu terobosan dalam menyediakan akomodasi. Ingat, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa. Terobosan yang bisa kita lakukan adalah dengan membangun homestay. Karena skalanya kecil, membangun homestay akan lebih mudah dan lebih fleksibel dibandingkan membangun hotel. Pembangunan homestay juga bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air karena nantinya homestay tersebut akan dimiliki oleh masyarakat di sekitar destinasi wisata.

Ambil contoh di sebuah desa di Ende Flores yang letaknya jauh terpencil namun memiliki atraksi wisata yang luar biasa. Di lokasi ini kita akan relatif sulit menarik investor untuk membangun hotel dengan 100 kamar. Namun tidak demikian halnya dengan homestay. Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Misalnya, kita memerlukan lahan sekitar 1 ha.  Katakan sekitar 30% dari lahan tersebut disisihkan untuk fasilitas umum, maka masih ada 7000 m2 yang bisa dikapling-kapling untuk dijadikan 100 homestay type LT/LB berukuran 70/36 m2, yang  pembangunannya-pun dapat dilakukan secara bertahap.

Skema Pembiayaan

Tadi saya katakan bahwa masyarakat setempat akan berkesempatan untuk memiliki homestay-homestay yang dibangun. Lalu bagaimana caranya? Agar mereka bisa memiliki, maka kuncinya adalah di pembiayaan. Skemanya ada dua jenis, yaitu subsidi dan non-subsidi.

Untuk skema subsidi karena homestay ini sekaligus merupakan bagian dari  upaya membangun rumah untuk rakyat, maka pemerintah harus memberikan subsidi. Untuk itu kita bekerjasama dengan BTN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Di sini BTN akan menyalurkan sumber dana untuk pembiayaan homestay tersebut dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menggunakan sistem Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Untuk skema subsidi ini homestay yang dibangun haruslah menggunakan desain hasil Sayembara Desain Arsitektur Nusantara.

Kurang lebih skema pembiayaannya adalah sebagai berikut. Misalnya, harga homestay type 70/36 adalah Rp125 juta, maka agar terjangkau, uang mukanya sekitar 1% dari nilai rumah, dengan bunga fix sekitar 5%, tenornya bisa mencapai 20 tahun. Dengan demikian cicilannya relatif ringan di bawah Rp1 juta per bulan, katakanlah Rp800 ribu. Kalau homestay tersebut disewakan dengan harga Rp150 ribu, maka dengan 4 kali weekend (8 hari sewa) pemilik homestay akan bisa mendapatkan Rp1,2 juta per bulan.

Kalau diambil nilai aman 80%, maka si pemilik masih mendapatkan Rp960 ribu per bulan, sehingga masih fleksibel. Itu belum memasukkan pemasukan untuk weekdays. Anggaplah pemasukan di weekdays adalah bonus. Dengan perhitungan sederhana tersebut terlihat bahwa perhitungannya masuk dan prospeknya cukup menjanjikan bagi pemilik homestay.  

Itu untuk yang subsidi. Bagaimana dengan yang non-subsidi? Dengan prospek yang cukup menjanjikan tersebut, untuk beberapa daerah, skema commercial loan sesungguhnya tidak menjadi masalah karena masih cukup menguntungkan. Untuk yang non-subsidi, mungkin luasan homestay bisa lebih fleksibel, desainnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan, atau bisa juga homestay-nya merupakan renovasi dari rumah yang sudah ada.

Rekan-rekan Kemenpar, kita akan menjadikan pembangunan 100 ribu homestay yang akan kita mulai tahun depan sebagai momentum untuk mendorong terwujudnya low-cost tourism. Seiring dengan pembenahan access dan digitalisasi melalui platform ITX, kita ingin menjadikan homestay sebagai katalisator bagi terwujudnya pariwisata sebagai basic needs. Itu sebabnya kita menempatkan airlines (access), digitalisasi, dan homestay sebagai program utama kita tahun depan.

Dengan konsep low-cost tourism yang diimplemantasikan melalui pembangunan homestay untuk desa wisata ini, akan menjadikan pariwisata sebagai basic needs.

Sekali lagi, hasil yang luar biasa hanya bisa diperoleh dengan cara yang tidak biasa. Salam pesona Indonesia.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER