Jakarta, CNN Indonesia -- Dokter anak Indonesia menilai, pemberian vaksin atau vaksinasi untuk mencegah
human papillomavirus atau HPV pada anak-anak mestinya didukung. Pemberian vaksin ini dinilai dapat memberikan perlindungan kepada anak-anak perempuan, kelak menghindarkannya dari kanker serviks.
"Sudah 66 negara menjadikan program vaksinasi HPV sebagai program nasional, maka artinya ini wajib. Indonesia baru mencoba dari DKI Jakarta sebagai upaya perlindungan anak sekolah," kata Profesor Jose R.L. Batubara, anggota satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, pada Senin (28/11).
"Maka mestinya ini didukung. Cuma karena masalah efek samping ini dibesar-besarkan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberian vaksin HPV menjadi perbincangan di media sosial lantaran tersebar pesan berantai yang menyebutkan bahwa pemberian vaksin untuk menangkal serangan HPV disebut dapat menyebabkan menopause dini.
Pesan berantai tersebut mencantumkan pemberitaan Pemerintah DKI Jakarta sudah mengikutsertakan vaksin HPV dalam paket Bulan Imunisasi Anak Sekolah atau BIAS per 4 Oktober lalu. Pemerintah DKI Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan memberikan vaksin secara gratis untuk mencegah kanker serviks pada siswi kelas lima Sekolah Dasar (SD).
Pemerintah menilai pemberian vaksin ini penting dilakukan sebagai salah satu langkah pencegahan kanker serviks, karena masih banyak masyarakat belum melakukan vaksin secara mandiri lantaran harga yang dinilai masih tinggi, Rp750 ribu per vaksin.
Di sisi lain, pihak medis mengkhawatirkan kasus kanker serviks yang disebabkan oleh HPV ini terus meninggi di Indonesia, mengingat pernikahan anak usia 15-19 tahun masih kerap terjadi, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2010.
"Kalau dilihat angka perkawinan, 60 persen dari mereka tidak terlindungi karena tidak mendapatkan imunisasi sehingga tidak dapat pencegahan," kata Jose.
"Padahal, bila terkena kanker serviks, rata-rata waktu menunggu untuk bisa berobat itu enam bulan hingga setahun lantaran alat masih terbatas. Kalau seperti ini, angka kematian akibat kanker serviks tetap tinggi," kata Jose. "Mengapa tidak mencegah?"
Data Riskesdas Kementerian Kesehatan pada 2013 mencatat 330 ribu kasus kanker di Indonesia, dan jumlah kasus kanker serviks termasuk terbesar.
Data WHO sendiri menyatakan dua dari 10 ribu wanita di Indonesia menderita kanker serviks dan diperkirakan 26 wanita meninggal setiap hari akibat kanker serviks.
Hasil penelitian selama 14 tahun menunjukkan, orang yang mendapatkan vaksinasi HPV, masih terproteksi hingga 100 persen terhadap HPV tipe 16 dan 18. Dua tipe HPV tersebut menjadi penyebab 70 persen kanker serviks dan kanker anal. HPV sendiri memiliki 150 tipe.
Pemberian vaksin dikhawatirkan oleh masyarakat dapat menimbulkan efek samping. Diakui Jose, efek sampingnya sama dengan vaksinasi jenis lain, yaitu demam dan ruam di daerah suntik.
"Ini sudah dipakai di banyak negara dan aman, Badan Pencegahan Penyakit [CDC] dan Badan POM Amerika Serikat [FDA], juga WHO menyatakan tidak ada efek samping yang berbahaya," kata Jose.
"Efek samping yang jelas yaitu efek samping ringan yang muncul hampir di semua vaksin, yaitu demam, rasa sakit sesaat, dan bengkak di daerah suntikan," lanjutnya.
Vaksin HPV mendapat izin beredar pertama kali pada 2006, dan WHO mencatat sudah lebih dari 200 juta dosis vaksin ini digunakan di seluruh dunia. Pengumpulan data keamanan penggunaan vaksin ini oleh WHO dan Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) di Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, dari 2006 hingga 2014, tidak menemukan isu keamanan yang dapat mengubah status rekomendasi pemberian vaksin HPV.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat juga memantau keamanan pemberian vaksin, sejak Juni 2006 dan Maret 2013, dan menemukan tidak ada kasus masalah keamanan terkait vaksin HPV.
(vga/vga)