Pelaku Sunat Wanita di Mesir Diancam Penjara 15 Tahun

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Selasa, 06 Des 2016 06:22 WIB
Kementerian Kesehatan Mesir mengumumkan penambahan masa hukuman terhadap pelaku sunat pada wanita atau female genital mutilation (FGM) sampai 15 tahun.
Ilustrasi: Praktik sunat perempuan dilarang di Mesir. Pelanggarnya akan dijatuhi hukuman penjara sampai dengan 15 tahun. (Merry Wahyuningsih)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Kesehatan Mesir mengumumkan penambahan masa hukuman terhadap pelaku sunat pada wanita atau female genital mutilation (FGM). Hukum baru tersebut menyatakan bahwa pelaku dapat dipenjara jauh lebih lama dari hukum lama.

Di bawah undang-undang baru, pelaku sunat wanita dapat dipenjara antara lima hingga tujuh tahun. Hukuman ini lebih lama dari peraturan sebelumnya yaitu tiga bulan hingga dua tahun.

Namun, bila praktik sunat wanita itu membawa cacat permanen atau kematian, pelaku dapat dipenjara hingga 15 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan tersebut diumumkan Minggu (4/12). Dan dalam pelaksanaannya petugas kesehatan Mesir akan memantau dan mengawasi klinik dan rumah sakit swasta terhadap pelaksanaan hukum anti-FGM ini.

Rancangan peraturan ini sudah diajukan ke parlemen Mesir sejak 28 Agustus dan disetujui.

Praktik tersebut banyak terjadi di sebagian benua Afrika. Sedangkan di Mesir, penghapusan sebagian atau penuh organ reproduksi tanpa tujuan medis masih luas terjadi terutama di daerah pedesaan.

Kegiatan ini dianggap seolah-oleh sebagai bentuk mengendalikan seksualitas wanita. Praktik seperti ini dilakukan oleh penganut Islam dan Kristen.

Peraturan baru ini juga mengancam siapa pun yang memaksa perempuan melakukan sunat. Orang tersebut berpotensi dipenjara antara satu-tiga tahun. Kebanyakan pelaku ini datang dari orang tua atau keluarga sang wanita.

Praktik FGM dapat menyebabkan sakit dalam jangka waktu bertahun-tahun. Sakit yang terasa juga termasuk saat berhubungan seksual, komplikasi serius saat melahirkan dan trauma psikologis.

Pada Januari 2015, seorang dokter Mesir dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk pasal pembunuhan tak sengaja. Hukuman ini masih ditambah dengan hukuman tiga bulan kurungan akibat melakukan sunat wanita. Korbannya adalah seorang gadis 14 tahun.

Dalam laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) tahun lalu tentang gambaran demografi dan survei kesehatan Mesir menyatakan bahwa perilaku masyarakat tentang sunat wanita sudah berubah.

Laporan tersebut menemukan bahwa 92 persen ibu pernah disunat. Namun hanya 32 persen yang menginginkan anak perempuannya disunat.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 20 juta perempuan yang disunat, dan lebih dari dua juta lainnya disunat setiap tahun. WHO sendiri juga mengategorikan FGM sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Di Indonesia, FGM jarang dilakukan dalam bentuk operasi sesungguhnya. Kebanyakan, hanya sebatas simbolis seperti menempelkan gunting atau pisau atau silet pada klitoris, menggores atau menusuk klitoris, memotong sedikit atau keseluruhan kulup klitoris, atau menyentuh klitoris dengan kunyit atau daun.

Pada 2014 lalu, Kementerian Kesehatan RI telah mencabut peraturan tentang sunat perempuan dengan alasan tindakan tersebut bukan tindakan medis, melainkan lebih kepada faktor budaya dan agama.

Sedangkan Majelis Ulama Indonesia sendiri pada 2008 telah mengeluarkan fatwa bahwa sunat wajib dilakukan bagi laki-laki muslim dan bagi perempuan sunat hanya bersifat kemuliaan dan tidak bersifat wajib.

Melansir detikHealth, MUI saat itu merekomendasikan FGM hanya berupa goresan sedikit dan tidak berlebihan apalagi sampai memotong klitoris. (chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER