Jakarta, CNN Indonesia -- Bedah rekonstruksi untuk memperbaiki kerusakan fisik karena mutilasi alat kelamin perempuan atau female genital mutilation (FGM) telah sejak lama ada. Namun, teknik mengembalikan fungsi klitoris baru yang berkembang sekitar satu dekade lalu. Pelopornya adalah ahli urologi Perancis dan ahli bedah Pierre Foldès.
Idenya Foldès tidak hanya merekonstruksi klitoris, tetapi juga jaringan saraf untuk mengembalikan sensasi seksual. Ahli bedah Hannes Sigurjónsson mengatakan, rekonstruksi klitoris bukan semata perbaikan fisik alat kelamin. Ada aspek psikologis yang sama pentingnya.
Dokter dari Karolinska University Hospital di Solna, Swedia itu mengatakan, ada hal penting saat merawat perempuan dan anak perempuan yang jadi korban mutilasi alat kelamin perempuan. Yakni agar dokter bedah plastik, dokter ahli kandungan, seksolog, dan psikoterapis bekerjasama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Hanya dengan pendekatan multidisiplin, perempuan-perempuan tersebut mendapat perbaikan dalam kualitas hidup dan mengalami lebih sedikit rasa sakit.”
Ahli bedah Marci Bowes dari Amerika Serikat telah ratusan kali melakukan prosedur operasi rekonstruksi klitoris sejak 2009. Menurutnya, alasan nomor satu perempuan menjalani operasi adalah untuk memulihkan identitas mereka.
“Perempuan yang telah dipotong (organ genitalnya) mengatakan rasa kewanitaan mereka telah dicuri, dan mereka ingin itu kembali,” kata Marci seperti dilansir laman Washington Post.
“Mereka ingin tubuh mereka kembali, dan merasa menjadi perempuan yang lebih normal.”
Efek samping paling umum terjadi akibat prosedur itu, perdarahan dan infeksi. Dua efek tersebut memengaruhi sekitar 3 – 5 persen perempuan. Sebagian besar perempuan yang jalani prosedur mengalami rasa sakit yang berkurang, dan sensasi lebih pada klitoris setelah direkonstruksi.
Bedah rekonstruksi untuk memperbaiki kerusakan fisik akibat FGM bukan fenomena baru. Prosedur ini menjadi lebih umum, karena banyak perempuan menjadi sadar akan hal itu.
Dewan Kesehatan dan Kesejahteraan Swedia memperkirakan, ada 19 ribu perempuan di Swedia berada di zona risiko terkena mutilasi. “Di seluruh dunia, sumber terpercaya terpercaya seperti PBB dan laporan Unicef melaporkan, ada lebih dari 133 juta perempuan menjadi subjek mutilasi alat kelamin perempua,” kata Sigurjónsson.
“Tiga juga anak perempuan muda dimutilasi setiap tahun. Jadi permintaan untuk jenis operasi ini sangat besar.”
Antara budaya, toleransi, dan hak asasiMutilasi genital (FGM), dikenal pula sebagai sunat perempuan, adalah ritual penghapusan beberapa bagian luar alat kelamin perempuan. Biasanya merupakan ritual sunat tradisional menggunakan silet atau pisau, dengan atau tanpa anestesi.
Sunat perempuan terkonsentrasi di 27 negara di benua Afrika, Yaman, dan Kudistan Irak. Ditemukan pula di tempat lain di Asia, Timuer Tengah. Usia saat sunat dilakukan bervariasi. Dari hari setelah bayi perempuan lahir sampai pubertas. Sebagian besar dilakukan sebelum anak perempuan berusia lima tahun.
Sunat perempuan atau FGM telah dilarang atau dibatasi di sebagian besar negara dimana praktik ini terjadi. Sejak 1970, sudah ada upaya internasional. Namun, baru pada 2012 Majelis Umum PBB mengakui sunat perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Sunat perempuan memunculkan pertayaan sulit tentang relativisme budaya, toleransi, dan universalitas Hak Asasi Manusia.
(win/mer)