Jakarta, CNN Indonesia -- Tentunya nama ITX (Indonesia Travel Xchange) sudah tidak asing lagi di telinga Anda. Namun muncul pertanyaan bagi sebagian orang, bagaimana jika yang bergabung di ITX, Digital Market Place yang diendors Kemenpar bukan jasa melainkan barang?. Kenyataannya, pertanyaan itu mencuat di Forum Diskusi Go Digital be The Best, bersama industri pariwisata di Kantor Disbudpar Jawa Timur, Surabaya, pada 14 Desember 2016.
"Tentu boleh, asal produk barang itu terkait dengan industri pariwisata," jawab Claudia Ingkiriwang, Ketua Probis ITX.
Pertanyaan itu mewakili para UMKM yang bergerak dalam produksi madu dari Kediri, Jawa Timur. Lalu disusul oleh pertanyaan serupa, pada produsen roti brownis dari Malang. Juga perusahaan kopi atau kakao dari Blitar dan produsen batik di Malang. Mereka bukan industri yang secara langsung menangani wisatawan, mancanegara dan nusantara. Tapi produknya untuk konsumsi para visitor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Boleh! Itu semua masih terkait erat dengan sektor pariwisata," papar Claudia.
Orang berwisata, tidak hanya melihat keindahan alam (nature). mereka juga tidak hanya mencari pengalaman dari budaya (culture) dan manmade (event buatan orang). Tetapi juga melihat proses, mencari pengalaman yang tidak semua orang bisa menjalaninya. "Itu bisa menjadi atraksi pariwisata," kata dia.
Claudia juga menuturkan bahwa produksi batik tentu tidak sama dengan garmen yang dijual dalam jumlah besar. Di bidang pariwisata, batik memang sangat dibutuhkan. Setiap daerah punya desain yang khas dari mulai proses pembuatan hingga barang jadi.
"Kalau garmen, itu urusannya dengan mesin potong kain, itu lebih ke industri. Sama-sama tentang kain, tapi beda dengan batik, tenun, songket, dan sebangsanya yang dibuat dengan kerajinan tradisional untuk menarik wisatawan," katanya.
Kerajinan itulah yang bisa dibuat booking system dan payment system-nya. Namun ada juga yang bertanya seputar akurasi bookig system karena ada kasus di mana orang sudah booking, sudah membayar, tetapi saat customer datang, ternyata kamar sudah habis terjual dan terisi, bahkan tidak ada sisa lagi. Bagaimana kasus yang seperti ini?
"Booking system menyiapkan mesinnya. Tetapi update soal jumlah kamar terisi dan kosong itu ada di operator hotel atau resort-nya. Kalau jumlah yang kosong tidak diinput datanya oleh petugas administrasi perusahaan? Ya salah di perusahaan itu, bukan salah di mesin booking systemnya. Karena begitu penuh, kamar hotelnya, maka system secara otomatis sudah nge-lock," jelas Claudia.
Tidak perlu bingung mengenai cara ITX mempromosikan anggotanya sebab ITX bukan front end, tetapi back end. Tidak kelihatan. ITX hanya platform yang memudahkan pelaku bisnis untuk memproleh akses di pasar dunia. ITX itu B to B, business to business, bukan masuk ke B to C. Jadi yang memasarkan adalah masing-masing website industri, sebagai front end.
"Makin kreatif pelaku industri, makin kuat potensi diterima pasar," papar dia yang menyebut sistem ITX ini sudah diuji coba selama 10 tahun ke Australia.
Meski begitu, ada banyak benefit yang didapat dari sisi promosi jika bergabung dengan ITX. Claudia pun mencontohkan event Borobudur Marathon. Ketika travellers atau runner mencari info lomba lari itu, semua pelaku bisnis yang ikut program promo, akan tampil di website marathon. Misalnya, diskon hotel di sekitar Borobudur, Jogja, Solo, Semarang, diskon rent car-nya, took souvenir, restoran, oleh-oleh makanan, dan snack yang khas, sampai paket-paket wisata yang terkait.
Jadi itulah alasan pentingnya membuat Calender of Event. Karena di setiap event, selalu ada promo dari industri pariwisata secara bersama-sama, dan tampil di website atau own media yang menjadi pusat informasi event itu. Semakin menarik event yang dibuat, semakin banyak orang masuk ke web event itu, semakin banyak di-klik pengunjung,, semakin besar peluang bisnisnya.
"Calender of events itu semacam peluru atau bahan bakarnya. Diibaratkan sebagai hal yang bisa membuat promosi bisnis pariwisata Anda semakin hidup dan pas mengenai sasaran pasar. Karena itu, buatlah daftar event selama setahun penuh dan jangan berubah-ubah tanggal karena itu menentukan timeline customers dalam booking juga payment," kata Sam Nugroho, Stafsus Menpar Bidang IT.
Jadi kalender event yang sudah pasti tanggal, bulan, dan deskripsi acaranyalah yang di publikasikan di sosmed marketing. Waktu mempublikasikan juga disesuaikan dengan timeline, originasi, dan destinasinya. "Harus matching antara destinasi, originasi, dan timeline-nya. Antara produk (event dan destinasi), customers (negara atau daerah sasaran pasar atau originasi), dan penentuan waktu jangan sampai terlambat. Terutama saat travellers sudah book dan sudah buat perencanaan traveling," sambung Don Kardono, Stafsus Menpar Bidang Komunikasi.
Acara yang dilangsungkan di aula Telkom Banyuwangi ini dihadiri oleh tiga nara sumber. Meraka di antaranya Samsriyono Nugroho Stafsus Menpar Bidang IT yang memberi gambaran besar Go Digital Kemenpar, Don Kardono selaku Stafsus Menpar Bidang Komunikasi Publik, yang mengangkat Sosmed Marketing Pariwisata. Beliaulah yang mengupas impact menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Weibo, WeChat, Line, dan lainnya untuk mempromosikan destinasi maupun event. Terakhir, Claudia Ingkiriwang selaku Ketua Probis Indonesia Travel Xchange (ITX) yang diendors Kemenpar untuk mengembangkan platform go digital sampai ke selling.
(odh/odh)