Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi seorang karyawan kantoran, cuti adalah hak. Lebih dari itu, cuti adalah kegembiraan untuk sejenak lepas dari kepenatan kerja. Lantas, bagaimana peraturan ketenagakerjaan di Indonesia mengakomodir hak karyawan itu?
Hak cuti karyawan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Dalam Undang-Undang itu, telah diatur tujuh hak cuti karyawan yakni cuti tahunan, cuti besar, cuti bersama, cuti hamil, cuti sakit, cuti penting dan cuti berbayar.
Umumnya, yang menjadi kegembiraan para karyawan adalah ketika mendapat jatah cuti tahunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pasal 79 ayat 2 UU Nomor 13 tersebut, karyawan berhak memperoleh sedikitnya 12 hari untuk cuti tahunan. Syaratnya, karyawan tersebut harus sudah bekerja minimal 1 tahun atau 12 bulan lamanya di perusahaan itu.
"Cuti memang fungsinya untuk menyegarkan karyawan dari kepenatan kerja. Tapi itu adalah hak bersyarat,jadi hanya karyawan yang memenuhi syarat saja yg bisa ambil cuti, " kata Retna Pratiwi, Kasubdit Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan kepada
CNNIndonesia.com, di Jakarta pada Kamis (12/1).
Kenyataannya, ada perusahaan yang menetapkan cuti di atas 12 hari. Sesuai memang dengan isi UU yang menyatakan bahwa sejumlah hari tersebut adalah waktu minimal.
Alicia Chai (36), karyawan sebuah bank swasta di Jakarta, mengatakan bank tempatnya bekerja justru memberikan jatah cuti 14 hari pada karyawannya.
"Untuk para pejabat perusahaan jatah cutinya bahkan lebih lama, 21 hari, " kata Alicia kepada
CNNIndonesia.com, pada Rabu (11/1).
Tak masalah memang apabila karyawan justru diberi jatah cuti lebih besar dari UU. Yang menjadi petaka bagi karyawan justru bila cuti itu kurang dari seperti yg tercantum di UU.
 Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia Rincan ketentuan cuti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. |
Cuti yang malah jadi 'hak' perusahaanKenyataannya, kebijakan cuti karyawan sangat tergantung pada perusahaan. Dalam UU juga disebutkan bahwa pelaksanaan cuti tahunan ditetapkan berbasiskan hasil diskusi antara karyawan dan perusahaan.
Hal ini yang kerap menjadi celah untuk perusahaan merekayasa hak cuti karyawan.
Sarinah (28), tokoh gerakan buruh di Bekasi, mengungkapkan betapa jatah cuti bisa dimainkan oleh pihak perusahaan.
Dalam prakteknya, banyak perusahaan membuat peraturan sendiri dengan meniadakan cuti tersebut jika pekerja tidak nengambilnya dalam masa tertentu, misalnya 6 bulan atau satu tahun berjalan.
Hal itu bahkan diatur dalam perjanjian kerja bersama (PKB) antara perusahaan dan karyawan.
Sarinah juga mengungkapkan ada perusahaan yang mengganti kebijakan cuti tersebut dengan uang. Caranya, cuti diganti dengan lembur yang didasari alasan untuk mendongkrak penghasilan pekerja.
Pemerintah sendiri memandang fenomena diuangkannya cuti sebagai penyimpangan. "Itu penyimpangan sebetulnya," kata Retna.
Namun, penyimpangan itu tampaknya terus terjadi. Bahkan menimbulkan kecacatan baru. Seringkali uang pengganti lembur tak dibayar penuh.
"Di sektor garmen yang didominasi perempuan, seringkali lembur tak dibayar atau jika dibayar tidak sesuai ketentuan, misalnya hanya Rp5.000-10.000 per jam. Padahal, kan, itu sebenarnya tak bagus. Orang butuh istirahat bukan demi kesehatan fisik belaka, tapi juga kesehatan mental," ujar Sarinah, pada Kamis (12/1).
Jadi, meskipun peraturan sudah cukup mengakomodir hak karyawan untuk beristirahat, kenyataannya masih ada karyawan yang belum bisa bergembira lepas dari kelelahan kerja karena ambisi perusahaan.
(ard)