Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok ilmuwan Uganda berhasil membuat 'jaket pintar' yang mampu mendeteksi gejala radang paru atau pneumonia lebih cepat dibanding dokter. Jaket ini jadi harapan baru melawan penyakit yang membunuh banyak anak-anak di dunia.
Melansir
AFP, ide tersebut datang dari Olivia Koburongo setelah sang nenek sakit, dan dipindahkan dari satu rumah sakit ke yang lain sebelum akhirnya mendapat vonis terkena pneumonia.
"Ketika dapat vonis itu, terlalu telat untuk menolong dia," kata Koburongo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat itu terlalu sulit memeriksa organ vital dia, apa yang ia lakukan, dan saat itulah saya berpikir untuk mengombinasikan seluruh proses dan melacak kesehatan seseorang," ujarnya.
Ia kemudian membicarakan idenya itu dengan seorang insinyur telekomunikasi bernama Brian Turyabagye dan sekelompok dokter. Mereka sukses menciptakan jaket pintar
biomedis, dan sebuah aplikasi yang mampu mendiagnosis penyakit tersebut.
Pneumonia adalah salah satu gejala infeksi peradangan pada paru yang telah membunuh lebih dari 24 ribu anak-anak di bawah lima tahun di Uganda setiap tahunnya. Menurut Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) banyak dari korban dikira alami malaria.
Kesulitas akses ke laboratorium pengujian dan buruknya infrastruktur di pemukiman miskin menuntut petugas kesehatan kerap melakukan diagnosis sederhana di klinik yang memiliki fasilitas terbatas.
Untuk mendeteksi pneumonia dengan jaket pintar yang diberi nama Mama-Ope itu, hanya berupa disematkan pada anak dan sensor akan pengambil pola suara serta suhu dari paru-paru juga tingkat pernapasan.
"Informasi yang diproses kemudian dikirim ke aplikasi pada gawai melalui
bluetooth. Data tersebut kemudian dianalisis serta dibandingkan dengan informasi dasar untuk mengetahui keparahan penyakit," kata Turyabagye.
Tahap uji cobaJaket tersebut masih dalam bentuk prototipe. Dan menurut pengujian yang telah dilakukan, jaket itu mampu mendiagnosis pneumonia hingga tiga kali lebih cepat daripada dokter.
Selain itu, jaket ini berpeluang mengurangi kesalahan diagnosis dari manusia. Biasanya, dokter hanya akan mendengarkan bunyi abnormal paru-paru melalui stetoskop. Namun, suara tersebut juga dapat berarti penyakit malaria atau tuberkulosis (TBC).
"Masalah yang coba kami pecahkan adalah mendiagnosis pneumonia sejak tahap awal sebelum parah, dan kami juga mencoba memecahkan masalah ketersediaan sumber daya manusia di rumah sakit, karena saat ini Uganda memiliki rasio antara dokter dengan pasien satu berbanding 24 ribu," kata Koburongo.
Turyabagye mengatakan jaket ini sedang dicoba dipakai di beberapa rumah sakit di Uganda dan kemudian akan diberikan hingga tingkat pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas di daerah terpencil.
Dia menjelaskan, dengan data diagnosis yang kemudian akan disimpan dalam sistem
cloud, memungkinkan dokter yang jauh dari pasien mendapatkan informasi tersebut dan dapat menentukan tindakan medis yang tepat.
Tim ini juga berencana mematenkan jaket yang mendapatkan penghargaan Royal Academy of Engineering Africa Prize 2017 itu.
"Sekali ini sukses di Uganda, kami berharap dapat digunakan di negara Afrika lainnya, dan di bagian dunia lain di mana pneumonia membunuh ribuan anak-anak," kata Koburongo.
(end/rah)