Dieng, Wonosobo, CNN Indonesia -- Di Jakarta, terbitnya matahari mungkin menjadi hal yang biasa. Namun di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, hal tersebut menjadi komoditas wisata yang sangat penting.
Dieng memiliki perbukitan dan pegunungan yang menawarkan pemandangan matahari terbit berwarna kuning keemasan atau yang disebut
golden sunrise.Sudah pasti, doa agar awan mendung tak datang selalu ada dalam setiap doa masyarakat dan wisatawan di Dieng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya satu tempat, ada beberapa tempat yang menyajikan objek wisata alam itu, yakni Bukit Sikunir, Bukit Skoter, Telaga Dring dan Gunung Prau.
Gunung Prau menjadi tempat favorit wisatawan untuk menyaksikan
golden sunrise. Tak hanya matahari terbit dan tenggelam, gunung dengan ketinggian 2590 mdpl itu juga menawarkan pemandangan galaksi bimasakti ketika malam hari.
Salah satu pemandu wisata di sana, Kiki, mengatakan kalau keindahan tersebut mencapai puncaknya sekitar Juli sampai Agustus, bertepatan dengan musim panas di Indonesia.
“Walau tidak hujan, tapi suhu udara di sini bisa mencapai 7 derajat Celsius. Inilah keunikan Dieng,” kata Kini saat menemani rombongan wisatawan dan
CNNIndonesia.com pada Selasa (18/4).
Gunung Prau bisa dibilang gunung yang ramah bagi wisatawan yang belum pernah mendaki gunung. Kiki berkata, wisatawan bisa mendaki Prau melalui Jalur Dieng, dengan estimasi waktu sampai puncak sekitar 2 sampai 2,5 jam.
Sebelum memasuki kawasan Prau, wisatawan wajib melakukan registrasi di pos penjagaan. Di sana, wisatawan akan didata dan diminta membayar tiket masuk seharga Rp10.000 per orang.
“Yang belum pernah mendaki tetap bisa menjangkau Prau. Mereka hanya perlu menyiapkan tenaga yang cukup, pakaian mendaki yang nyaman di suhu dingin, dan obat-obatan pribadi,” ujar Kiki.
“Untuk menikmati
golden sunrise, sebaiknya berangkat mendaki lebih pagi, sekitar pukul 2 pagi, agar tak terburu-buru untuk sampai ke puncaknya,” lanjutnya.
Dari pengalaman
CNNIndonesia.com, medan menuju puncak Prau melalui Jalur Dieng cukup bervariasi. Tanah yang dipijak tak melulu menanjak, ada pula yang menurun, penuh akar tanaman sampai berlumpur.
Perlu ekstra hati-hati di pagi hari, karena tanah lebih licin setelah diselimuti air embun semalaman.
Dikatakan Kiki, ada jalur yang lebih sulit, yaitu Jalur Patak Banteng.
CNNIndonesia.com tiba di puncak Prau tepat pukul 04.30 pagi. Walau matahari belum terbit, namun pemandangan kota Dieng sudah mulai menghibur badan yang sedang mengatur napas.
 Pendar lampu kota Dieng dari puncak Prau. (CNN Indonesia/Artho Viando) |
Di bawah langit pagi yang masih temaram, lampu kota Dieng berpendar cantik, sesekali menghilang dilewati kabut. Nampak pula siluet Gunung Kendil, Gunung Bisma dan Gunung Pangonan dari kejauhan.
Di puncak Prau, wisatawan juga diizinkan berkemah. Area tersebut berada lebih atas lagi, sekitar 30 menit berjalan kaki sambil melewati Bukit Teletubbies. Ya, bukitnya memang menghijau segar, seperti yang ada dalam serial anak ‘Teletubbies’.
Dari area perkemahan,
golden sunrise berwujud lebih indah, lengkap dengan pemandangan Gunung Sumbing, Gunung Sindoro dan Gunung Kembang.
‘Pacar Aja Dibawa Turun, Masa Sampah Nggak’Wisatawan yang berkemah tak melulu orang tua. Karena medannya mudah,
CNNIndonesia.com juga bertemu dengan sekumpulan remaja tanggung yang datang bersama kawan-kawannya untuk menghabiskan masa liburan sekolah.
Faisal, salah satu di antara gerombolan anak SMA yang ditemui, mengatakan kalau ia sudah dua kali mendaki Prau. Katanya, pemandangan di sana tak pernah mengecewakannya.
 Wisatawan yang berkemah di Prau. (CNN Indonesia/Elise Dwi Ratnasari) |
Dua gadis terlihat juga bersama mereka. Tahtia dan Naily mengatakan kalau baru pertama kali mendaki guung, dan mereka bangga sekaligus senang bisa sampai ke puncak Prau.
"Pendakian yang berkesan, ada banyak rintangan tapi senang bisa mencapai puncak, jadi bangga sama diri sendiri," kata Tahtia yang diiringi anggukan Naily.
Matahari mulai tinggi pada pukul 9 pagi. Wisatawan pun berangsur turun. Semakin terang, semakin terlihat kalau banyak sampah yang berserakan. Kebanyakan berupa botol minum dan jas hujan plastik.
Sudah ada aturan bahwa sampah harus disimpan atau dibawa turun, namun ketiadaan tong sampah membuat wisatawan membuang sampah begitu saja.
Bagi Faisal, masalah pengelolaan sampah masih menjadi kekurangan kawasan wisata di Dieng. Ia mengatakan, selain mencintai alam bukan hanya gemar melihat pemandangan alam, namun juga menjaga kelestariannya.
“Pacar saja di bawa turun gunung, masa sampah tidak?” kata Faisal sambil disusul tawa teman-temannya.
Masalah pengelolaan sampah juga diakui Fitroh, pengelola pos pendakian Gunung Prau melalui Jalur Dieng, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com.
Perhari rata-rata ada 100 wisatawan yang mendaki melalui Jalur Dieng. Jika ditotal dengan jalur lain, yakni Patak Banteng, Kalembu, Dwarawati, Kanjuran, Tretep dan Pranten, terhitung ada ratusan lebih wisatawan di puncak Prau setiap harinya.
Bisa dibayangkan kondisi sampah yang menumpuk jika pengelolaannya belum menyeluruh.
“Karena fasilitas pengelolaan sampahnya belum ada, maka kami sangat meminta agar wisatawan ikut membantu dengan tidak membuang sampah sembarangan. Namun, sebagian besar masih belum sadar akan hal tersebut,” kata Fitroh.
(ard)