Jakarta, CNN Indonesia -- Dengan populasi yang menurun, ekonomi yang tak stabil serta warga yang pemilih dalam hal belanja, Jepang sebenarnya tak mencerminkan akan negara yang berdaya beli tinggi saat ini.
Namun, siapa mengira, di Ginza, pusat mode Jepang seperti halnya Champs-Elysees Paris atau Fifth Avenue AS- kini berdiri mal setinggi 13 lantai yang membuktikan Jepang masih patut diperhitungkan dalam hal pasar untuk barang-barang mewah.
Negara ini mencatat ada pengeluaran sekitar US$22,7 miliar per tahun untuk barang-barang mewah seperti produk dari label Chanel, Dior, dan Prada. Jepang menempati urutan ke-dua dalam hal pasar barang mewah setelah Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Produk barang-barang mewah bisa jadi mahal, akan tetapi kualitasnya bagus," ungkap Toshiko Obu, 79 tahun, sembari menenteng tas Fendi-nya saat berada di luar gedung Ginza Six, seperti diansir AFP, Rabu (26/4).
Kawasan itu kini dipadati banyak orang sejak mal dibuka pekan lalu.
"Yang tak bisa diabaikan ada porsi besar untuk penggemar barang mewah di Jepang," ujar Sidney Toledano, CEO Christian Dior Couture, pada AFP saat pembukaan mal yang berisi 241 store itu.
"Pasar barang mewah sangat strategis, dan dalam hal ini, benar-benar barang berkelas tinggi," tambah dia.
Persaingan ketat Dior menempati urutan teratas sebagai label yang paling digandrungi dalam pasar barang mewah di Jepang tahun ini, diikuti oleh pesaingnya Chanel.
"Kami tak kehilangan karakter kami, ada beberapa label yang mengalami kesulitan, terutama yang berhenti investasi di Jepang dan beralih ke China, dan kini mereka gigit jari," ujar Richard Collasse, yang menaungi Chanel di Jepang.
Jepang diprediksi akan dikunjungi oleh 40 juta wisatawan pada 2020, tahun di mana Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade. Tahun lalu, tercatat ada enam juta wisatawan China yang datang ke Jepang, menanjak drastis dari hanya 2,4 juta di 2014.
"Merunut sejarahnya, Jepang sangat populer dalam pasar barang mewah, 90-95 persen konsumen adalah orang lokal," ujar Joelle de Montgolfier, konsultan riset berbasis di Paris Bain & Company. Akan tetapi, kata dia menambahkan, 30 persen penjualan berasal dari wisatawan asing.
Toledano, dari Dior menekankan mereka fokus pada warga lokal Jepang. "Bukannya mengabaikan turis, tentu saja, tapi kami bukan duty-free shop," tegasnya.
Namun, lonjakan barang mewah di Jepang tidak diikuti oleh ketertarikan generasi mudanya. Analis Naoko Kuga, dari NLI Research Institute menilai anak muda Jepang justru tidak begitu tertarik pada barang mewah. Mereka enggan menghabiskan uang untuk kepemilikan barang mewah, dan memilih untuk menyewanya yang kini tersedia layanan sewa online.
(rah)