Banda Aceh, CNN Indonesia -- Suasana Pasar Induk Lambaro Jumat (26/5) pagi itu semrawut dan tidak keruan. Tak hanya ramai dipadati warga, pusat pasar induk sayuran di Aceh Besar itu juga dijejali lapak pedagang sapi di setiap sudut.
Kemeriahan di Pasar Induk Lambaro merupakan fenomena tahunan menjelang bulan Ramadan di Kota Serambi Mekkah itu. Dua hari menjelang puasa, warga bakal keluar rumah sejak pagi hari dan memadati lapak-lapak penjual daging --yang juga mendadak hadir menjamur di jalanan ataupun di pasar-pasar.
Tradisi unik warga Aceh dalam menyambut bulan Ramadan itu dikenal dengan istilah Meugang. Kebiasaan turun-temurun ini diyakini sudah berlangsung ketika bumi Nanggroe Aceh Darussalam masih berada di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, pada 1607 hingga 1636.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muhammad Ali (76), salah seorang warga yang turut berbelanja pagi itu, mengatakan bahwa istilah Meugang berasal dari kalimat ‘makmu that gang nyan’, yang berarti 'makmur sekali pasar itu'.
Kalimat itu muncul, kata Muhammad, lantaran keramaian di pasar menjelang Ramadan tak seperti hari-hari biasanya. Sehingga kata Meugang, yang diambil dari kata ‘makmeugang’, kemudian menjadi istilah yang melabeli fenomena tersebut.
Aktivitas penjual daging dan pembeli saat tradisi Meugang menyambut Ramadan di Pasar Induk Lambaro, Banda Aceh. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Kalau bukan untuk menyambut hari-hari besar Islam, mana ada pasar di Aceh bisa seramai begini," ujar Muhammad saat ditemui di Pasar Induk Lambaro.
Tradisi Meugang pada dasarnya merupakan rangkaian aktivitas dari membeli, mengolah, dan menyantap daging sapi selama dua hari menjelang puasa. Aktivitas makan daging sapi menjadi simbol bahwa menu santap 'mewah' bisa dinikmati semua orang dalam menyambut hari-hari besar Islam, tanpa melihat status ataupun golongan.
Budayawan Aceh, Barlian AW mengatakan, tradisi Meugang bermula ketika para uleebalang (hulubalang atau bangsawan) di Aceh berbagi rezeki dengan membagi-bagikan zakat berupa makanan dan pakaian kepada kaum duafa, yatim piatu dan fakir miskin di Aceh.
Kebiasaan bangsawan di Aceh berbagi dengan rakyat biasanya juga ditandai dengan sembelih sapi yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada masyarakat secara merata. Tradisi itu juga dilakukan ketika Aceh menyambut hari raya Idul Adha dan Idul Fitri.
"Tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan tempo dulu, ketika para bangsawan menyembelih sapi di hari Meugang untuk rakyatnya," ujar Barlian.
Seiring pergantian zaman, kata Barlian, setiap keluarga Aceh menjadi terbiasa membawa pulang daging di hari Meugang. Tradisi itu kemudian bergeser menjadi aktivitas jual-beli daging di pasar-pasar dan berubah menjadi kebiasaan turun-temurun.
 Meugang juga berarti menyantap daging sapi menjelang Ramadan. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Anak-anak di rantau pun akan pulang untuk menyantap daging bersama keluarga. Akan terasa sedih bagi orang tua menyambut puasa tanpa kehadiran anak-anaknya di hari Meugang," kata Barlian.
Aktivitas Meugang tentunya tak hanya terjadi di Pasar Induk Lambaro yang CNNIndonesia.com datangi. Kegiatan jual-beli dan santap daging itu juga dilakukan di hampir semua pasar dan rumah yang tersebar di sejumlah wilayah di sana.
Musliadi (37), salah satu penjual daging di Pasar Lambaro, mengatakan harga daging yang dijual para pedagang daging sapi di hari meugang tahun ini berkisar Rp150 ribu per kilogram. Untuk memasok kebutuhan para pembeli selama dua hari meugang, Musliadi membeli dua ekor sapi besar dengan harga masing-masing ekor sekitar Rp33 juta.
"Alhamdulillah kemarin satu ekor sudah habis terjual," kata Musliadi.
Warga biasanya meracik daging yang mereka beli menjadi menu santap berupa rendang, gulai, ataupun digoreng dan direbus seadanya. Seperti yang dilakukan Juariah (36), warga asal Peunayong itu berniat menjadikan satu kilogram daging sapi yang dia beli untuk diolah dengan bumbu kari.
"Siang ini harus cepat-cepat dimasak, supaya nanti malam usai Tarawih kami bisa makan sama-sama keluarga di rumah," kata Juariah.
(ard)