Sabang, CNN Indonesia -- Meski telah menjadi andalan destinasi wisata bahari yang terbuka bagi pelancong dari penjuru negeri, Sabang tetap menjunjung teguh hukum adat yang menginduk pada aturan warisan leluhur Kesultanan Aceh.
Ada baiknya bagi para pelancong yang hendak berwisata ke Sabang terlebih dulu mengenal aturan adat di Pulau Weh.
Sebagai bagian dari administrasi wilayah Aceh, Sabang masih menerapkan aturan yang dikenal sebagai Hukum Adat Laot.
Aturan tersebut diberlakukan mengingat sejarah Aceh sebagai wilayah persinggahan lalu lintas bahari di jalur perdagangan Selat Malaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Adat Laot tersebut merupakan perpanjangan aturan dari syariat Islam yang hingga kini masih diberlakukan di Aceh.
Hukum adat tersebut mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (meupayang), penetapan waktu penangkapan ikan, penyelesaian sengketa atau perselisihan antarnelayan, dan pelaksanaan ketentuan adat serta pengelolaan upacara-upacara adat nelayan.
Hukum Adat Laot tersebut hingga kini masih berlaku di Bumi Serambi Mekkah.
Awak kapal cepat melepaskan jangkar sesaat tiba di pelabuhan Balohan, Sabang, Aceh, Jumat, 19 Mei 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Orang yang berwenang sebagai pemangku hukum adat tersebut adalah tokoh berpengalaman sekaligus sosok yang dituakan di dunia bahari Aceh. Orang-orang menyebutnya Panglima Laot.
Di Pulau Weh terdapat 10 Panglima Laot yang bertugas menjaga Hukum Adat Laot, di masing-masing distrik bahari atau biasa disebut gampong.
Para Panglima Laot itu merupakan penjaga Hukum Adat Laot di Iboih, Pria Laot, Pasiran, Anoi Itam, Balohan, Jaboi, Keneukai, Kreung Raya, Ermeulei, dan Kota Sabang.
Setiap Panglima Laot punya kuasa menjaga ketertiban Hukum Adat Laot yang mesti dipatuhi oleh para nelayan di masing-masing gampong.
Mereka juga punya agenda rutin musyawarah tahunan di tingkat pusat, dalam hal ini Banda Aceh, untuk menjaga koordinasi antarwilayah dan membahas isu-isu spesifik yang berkaitan dengan wilayah kekuasaan bahari Nanggroe Darusalam.
Selain mengurus persoalan aktivitas maritim dan sengketa antarnelayan, Panglima Laot juga bertanggung jawab memastikan ketertiban Hari Pantang Melaut yang ditetapkan pada tanggal-tanggal tertentu.
Hari Pantang Melaut ini tak hanya menerapkan larangan nelayan melaut, tetapi juga berlaku bagi semua aktivitas di laut termasuk di antaranya kegiatan wisatawan seperti snorkeling maupun diving.
Panglima Laot Iboih, Muhammad Abdul Gani. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Iboih, surga kawasan diving di Pulau Weh, belum lama ini memberlakukan Hari Pantang Melaut selama tiga hari (17-19 Mei).
Semua aktivitas nelayan termasuk wisata laut di kawasan itu dihentikan karena Gampong Iboih menggelar syukuran nelayan tahunan yang biasa mereka sebut kenduri laot.
Acara Kenduri Laot biasanya dirayakan dalam bentuk syukuran dan doa bersama di Balai Nelayan yang ada di masing-masing gampong.
Doa bersama itu dipanjatkan dalam bentuk zikir dan pelafalan doa-doa tertentu sebagai wujud rasa syukur nelayan atas hasil tangkap ikan selama satu tahun.
Usai doa bersama, warga akan diajak santap ikan bersama hasil tangkap ikan para nelayan yang mereka sisihkan khusus untuk kenduri laot.
Terkadang juga para nelayan menghibahkan seekor sapi hasil patungan untuk disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada warga.
Panglima Laot Iboih, Muhammad Abdul Gani (48), mengatakan penetapan waktu kenduri laot di tiap-tiap wilayah Pulau Weh berbeda.
Masing-masing gampong atau kampung menentukan acara syukuran tahunan berdasarkan hasil musrawarah masyarakat nelayan setempat melalui persetujuan Panglima Laot.
Dengan kata lain, kata Abdul, dalam satu tahun di Pulau Weh ada 10 acara Kenduri Laot berdasar masing-masing wilayah kekuasaan Panglima Laot.
Setiap Kenduri Laot di masing-masing daerah akan memberlakukan minimum tiga Hari Pantang Melaut.
Karang menjadi pemandangan indah di Pantai Anoi Itam, Sabang. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Jadi kalau ditotal itu ada sebulan Hari Pantang Melaut di Pulo Weh. Wisatawan harus paham dengan itu," kata Abdul kepada CNNIndonesia.com saat ditemui di Sabang pada akhir pekan kemarin.
Abdul mengatakan, acara Kenduri Laot tak memiliki waktu pasti karena ditetapkan berdasarkan musyawarah.
Kenduri bisa digelar kapan saja, bergantung pada kesepakatan bersama para nelayan di daerah.
Musyawarah untuk menentukan Kenduri Laot tahunan biasanya digelar dua bulan sebelum tanggal penetapan.
Rentang waktu itu sengaja diterapkan agar Panglima Laot bisa berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan wisata di Pulau Weh.
Jika sudah ada ketetapan tanggal Kenduri Laot, kata Abdul, para pemangku Hukum Adat Laot akan mengkoordinasikan dengan para pemilik hotel, penginapan, penyedia jasa wisata, juga agen travel bahwa dua bulan ke depan akan ditetapkan Hari Pantang Melaut sebagai bentuk peringatan Kenduri Laot tahunan.
"Jadi para penyedia jasa wisata itu akan menginformasikan kepada wisatawan bahwa pada tanggal-tanggal tertentu sudah ditetapkan Hari Pantang Melaut. Wisatawan bisa ancang-ancang menyesuaikan jadwal wisata dari sana," ujar Abdul.
Abdul mengatakan, acara Kenduri Laot tahunan tidak berarti menjadi penghalang bagi wisatawan untuk berlibur ke Pulau Weh.
Sebaliknya, kata dia, justru menjadi acara tradisi unik yang turut bisa dinikmati para wisatawan.
Pemandangan pantai Pulau Rubiah, Pulau Weh, Aceh, Sabtu, 20 Mei 2017. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Kami sering mengajak wisatawan bergabung agar mereka tahu seperti apa tradisi masyarakat di sini. Bule-bule itu paling senang kalau diundang ke acara-acara seperti itu," kata Abdul.
Kenduri Laot biasa digelar satu hari penuh. Sementara dua hari sisanya menjadi semacam puasa melaut para nelayan.
Mereka akan menghentikan aktivitas dan rehat bersama keluarga di rumah.
Abdul mengatakan, Hari Pantang Melaut tak hanya diberlakukan ketika para nelayan merayakan kenduri laot tahunan.
Hari Pantang Melaut juga diberlakukan pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, serta peringatan kemerdekaan 17 Agustus.
"Semua itu dilakukan sebagai bentuk penghargaan kami pada hari-hari besar sekaligus wujud syukur pada sang pencipta. Ada baiknya wisatawan yang hendak datang ke Sabang bisa memahami makna Hari Pantang Melaut ini," pungkas Abdul.
(ard)