Jakarta, CNN Indonesia -- Ramadan memang identik dengan modest wear. Perempuan yang tidak mengenakan kerudung secara permanen pun memakai kerudung saat merayakan Idul Fitri. Padahal, merayakan hari kemenangan tak harus melulu mengenakan kerudung atau hijab. Hal inilah yang membuat desainer Wignyo Rahadi menghadirkan koleksi busana bersiluet pakaian tradisional dan berbahan dasar kain tenun.
"Ramadan tentu semua pakai busana Muslim, tapi tidak semua menggunakan hijab. Mereka yang tidak berhijab, lebih baik pakai baju tradisional," katanya saat ditemui di sela pembukaan butik Tenun Gaya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (23/5).
Wignyo mengatakan, koleksi busana Lebarannya kali ini bertema "simple and chic". Benar-benar simpel karena ia tak banyak bermain dengan detail, ornamen atau bahkan payet.
Siluetnya pun mengambil dari bentuk-bentuk pakaian tradisional seperti baju bodo, baju kurung, kebaya dengan bawahan panjang atau pun kebaya lengan pendek dengan bawahan selendang yang dikenakan sebagai sarung pareo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inspirasi bentuk busana kurung, baju bodo. Lebaran nggak melulu hijab, karena tidak semua perempuan pakai hijab. Saya ingin mengajak pelanggan memakai baju tradisional," ujarnya.
Tak bermain dengan detail, tapi kain tenun sebagai material utama busananya sudah cukup mencuri perhatian. Kain tenun, kata Wignyo, sudah punya keindahan tersendiri sehingga sayang jika kain harus ditutupi terlalu banyak ornamen. Hal ini tentu membuat keindahan kain itu tak nampak lagi. Selain itu, proses pembuatan kain dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) membuatnya semakin istimewa.
Walau ingin menonjolkan kesan "clean", tapi Wignyo tetap memadukan busananya dengan kain bermotif. Ia menggunakan kain dengan inspirasi motif dari Palembang, motif ulos serta ada pula penggunaan kain dengan motif inspirasi ornamen Papua. Ia menyebutnya sebagai inspirasi motif, karena ia tak benar-benar menggunakan kain tenun dari daerah tersebut, melainkan mengambil motif untuk ia terapkan pada kain yang ia buat. Wignyo sendiri memiliki sebuah workshop tenun di kawasan Sukabumi, Jawa Barat.
"Kalau untuk motif itu inspirasi saja ya, misal tadi kita pakai motif dengan inspirasi ornamen Papua. Suatu kebanggaan karena papua sudah ada dan sebagai provinsi terakhir adanya tenun. Seluruh Indonesia punya tradisi menenun. Hanya Papua yang memang tidak mengenakan kain," jelas Wignyo.
"Bintik" Jadi Ciri Khas
Seiring berkembangnya dunia fesyen, mau tidak mau tenun juga harus berkembang agar mampu bertahan. Hal ini pula yang terus dilakukan Wignyo. Kain tenun selama ini dianggap terlalu tradisional dan tak 'kekinian'. Wignyo memberikan contoh kain songket. Kain songket saat diaplikasikan menjadi sebuah busana, banyak keluhan karena kain membuat kulit tak nyaman karena kaku. Ia pun berusaha membuat kain dengan inspirasi songket, tapi dengan material yang lebih nyaman dikenakan.
"Contoh lain, kain ulos. Kita pakai warna agak pastel. Prinsipnya si dari segi warna sama nyaman dipakai. Modifikasi warna juga membuatnya terlihat modern, tanpa meninggalkan ciri khas dari ulos itu sendiri," kata pria yang sudah 17 tahun menekuni dunia tenun ini.
Modifikasi kain dari segi material maupun motif tidak lantas membuat Wignyo tak punya ciri khas. Bintik-bintik yang kadang ia sematkan pada kain rupanya jadi ciri khas Tenun Gaya Wignyo. Motif bintik ini pun tak sengaja dibuat dengan inspirasi tertentu, melainkan karena unsur ketidaksengajaan.
"Pada saat menenun mereka banyak nyambung. Pengrajin pada saat mulai belajar menenun kan banyak benang putus, sehingga ada banyak sambungan. Tapi saya pikir lucu ya, sekalian aja jadi motif. kalau lihat ada bintik seperti ini, ini umumnya dari Tenun Gaya," tuturnya.
(sys)