Banyuwangi, CNN Indonesia -- Selain wisata alam, Banyuwangi juga memiliki beberapa objek wisata religi. Dari sana, wisatawan bisa mengetahui sejarah mengenai masuknya Islam ke kota paling timur di Pulau Jawa ini.
Masih dalam suasana Ramadan dan menjelang Ramadan, berikut ini ialah sejumlah objek wisata religi yang penting dikunjungi saat berada di Banyuwangi:
Masjid Baiturrahman Banyuwangi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid Baiturrahman Banyuwangi berada di atas tanah sumbangan dari Bupati pertama Banyuwangi, Raden Tumenggung Wiraguna I atau yang biasa disebut Mas Alit, tepatnya di Jalan Jendral Sudirman.
Dibangun pada 7 Desember 1773, masjid dua tingkat ini berkapasitas 5.100 orang. Arsitektur Arab dan Banyuwangi berpadu. Motif batik Gajah Oling dapat dilihat dalam berbagai sudut dekorasi.
Masjid tertua dan terbesar di Banyuwangi ini sarat akan sejarah, terutama mengenai penyebaran Islam pertama kali DI Bumi Blambangan.
Sejak pertama kali dibangun, masjid ini telah mengalami empat kali perbaikan.
Ada 11 kubah di masjid ini, dan kubah utamanya dapat digeser secara otomatis, sehingga dari dalam masjid bisa melihat langsung ke atas langit. Teknologi dalam masjid ini ini disebut sebagai yang satu-satunya di Indonesia.
Dari Masjid Baiturrahman Banyuwangi, wisatawan juga bisa sekaligus berkunjung ke Taman Sri Tanjung dan Pendopo Bupati, untuk mengetahui lebih banyak sejarah mengenai Banyuwangi.
Masjid Muhammad Cheng HooTak hanya Masjid Agung Baiturrahman. Sejarah Islam juga menjejak di Banyuwangi dalam Masjid Muhammad Cheng Hoo.
Berada di kawasan Sumberrejo, masjid ini juga memiliki pondok pesantren.
Sesuai namanya, seluruh bangunan yang ada di kompleknya bergaya Tiongkok. dari kejauhan, masjid ini tampak seperti kelenteng, dengan warna merah dan kuning yang mendominasi.
Tentu saja banyak yang merasa heran dengan keberadaan nuansa tersebut. Karena belum banyak yang tahu, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Hindu Blambangan penduduk Banyuwangi mengenal Islam dari ajaran yang dibawa oleh pedagang asal Timur Tengah dan juga China.
Penyebaran agama Islam oleh pedagang asal China tidak lepas dari aktivitas pelayaran Laksamana Cheng Ho, pelaut Muslim asal Yunan, China, yang melakukan penjelajahan antara 1405 sampai 1433.
Laksamana Cheng Ho merupakan orang kepercayaan Kaisar Ke-Tiga Dinasti Ming, Kaisar Yongle, untuk melakukan pelayaran guna memetakan wilayah yang sekiranya bisa dijadikan kekuasaan.
Sepanjang hayatnya, Laksamana Cheng Ho telah melakukan tujuh kali pelayaran. Di Indonesia, ia sempat berlabuh di Jawa, Palembang dan Sumatera.
Di sela kegiatannya, ia aktif menyebarkan ajaran Islam, meski sebagian besar awal kapalnya menganut agama Buddha dan Tao.
Walau baru diresmikan pada 2016, namun Masjid Muhammad Cheng Hoo merupakan satu dari sepuluh masjid di Indonesia yang dibangun oleh Persatuan lslam Tionghoa lndonesia sebagai penanda sejarah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho.
 Islam di Banyuwangi tak hanya disebarkan oleh lokal dan Arab, ternyata pedagang asal China juga ikut menyebarkannya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Makam Kuno Buyut Sayu AtikahTerletak di Kelurahan Giri, Makam Kuno Buyut Sayu Atikah ditemukan sekitar 1920-an. Makam ini dipercaya sebagai makam Islam tertua di Banyuwangi dan dibangun pada abad 15. Sejak ditemukan, makan ini sudah mengalami tiga kali renovasi yakni pada 1993, 2004 dan 2007.
Tak hanya Makam Buyut Sayu Atikah, di Kelurahan Giri juga terdapat sembilan makam lain, yang dinaungi Pohon Kamboja berusia ratusan tahun.
Asal usul Sayu Atikah dan jejak Islam di Banyuwangi bisa diketahui dari menelusuri makamnya.
Dulu, Maulana Ishak atau dikenal dengan nama Syekh Wali Lanang diutus Sunan Ampel untuk menyebarkan Islam di Banyuwangi, yang masih merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Hindu Blambangan dan dipimpin oleh Prabu Menak Sembuyu.
Maulana pun memperistri cucu sang raja, Sayu Atikah yang bernama asli Putri Sekar Dadu, setelah berhasil menyembuhkannya dari suatu penyakit.
Maulana sebenarnya diizinkan menyebarkan agama Islam di luar istana. Namun, ia dianggap melanggar ketentuan. Bersama Sayu Atikah yang baru saja melahirkan, ia pun diusir keluar istana.
Demi alasan keselamatan, anak mereka yang masih bayi dan berjenis kelamin laki-laki lalu dilarung ke laut, yang kemudian ditemukan oleh nahkoda kapal bernama Abu Huroiroh.
Abu kemudian menyerahkan anak yang ditemukannya kepada Nyai Ageng Pinatih, seorang saudagar perempuan dari Gresik. Anak itu diberi nama Raden Muhammad Ainul Yakin alias Raden Paku.
Ketika dewasa, ia dikenal sebagai salah satu Wali Songo, yakni Sunan Giri.
Hingga kini makam Sayu Atikah masih ramai dikunjungi wisatawan dan peziarah yang memanjatkan doa.
 Arsitektur khas China di Masjid Muhammad Cheng Hoo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Makam Datuk Malik IbrahimJelang Lebaran, Makam Datuk Malik Ibrahim yang terletak di Kelurahan Lateng, Banyuwangi selalu ramai dikunjungi wisatawan dan peziarah.
Datuk Malik Ibrahim adalah seorang ulama kelahiran Yaman. Ia menyebarkan Islam di Bali dan Banyuwangi sekitar tahun 1840 Masehi.
Suasana makan akan sangat ramai saat malam Jumat Legi. Sebagian besar peziarah percaya, pada malam tersebut doa yang dipanjatkan akan dikabulkan.
Sumber Beji AntabogaWalau bukan objek wisata religi Islam, tempat ini dirasa mampu menggambarkan harmoni keberagaman agama di Banyuwangi.
Terletak di antara hutan pinus milik Perhutani di kawasan Glenmore, Sumber Beji Antaboga merupakan situs budaya dan tempat ibadah umat Hindu. Sumber air Beji dipercaya punya aneka khasiat serta digunakan untuk upacara Mendak Tirta juga ruwatan.
Harmoni keberagamannya nampak dari keberadaan patung Dewi Kwan Im dan patung Maria, serta sebuah mushola. Jadi, seluruh kalangan dapat mengunjungi tempat ini.
(ard)