Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak sedikit orang Indonesia yang merasa heran saat mendengar kalimat ‘pengembangan wisata halal di Indonesia’. Karena mereka merasa, dengan jumlah pemeluk agama Islam yang sebanyak 87 persen dari 263 juta penduduk, rasanya tak perlu lagi mempertanyakan kehalalan di negeri ini.
Tapi pendapat itu hanya dimiliki oleh orang Indonesia, belum tentu dengan wisatawan Muslim asal negara lain.
Salah satu contohnya adalah saat saya mencuri dengar percakapan antara penjual bakso dan wisatawan asal Timur Tengah di Jakarta pada beberapa hari yang lalu.
Satu dari tiga wisatawan itu bertanya ke pedagang dalam bahasa Inggris sederhana, “apakah ini halal?”. Dengan bahasa Inggris seadanya, sang pedagang mengaku kalau makanannya halal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walau terlihat ragu, ketiga wisatawan itu tetap menikmati bakso setelah komat-kamit mengucapkan doa sebelum makan. Mungkin hari itu doa mereka lebih khusyuk, agar semakin yakin dengan kehalalan bakso yang disantap.
Tak hanya di Jakarta, kasus yang sama pasti juga terjadi di negara lain, yang beberapa tahun belakangan ini mendapat “serbuan” dari wisatawan Muslim.
Menurut data dari CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, sebanyak 121 juta wisatawan Muslim melakukan perjalanan wisata sepanjang tahun lalu. Jumlah tersebut naik sebanyak 4 juta dari tahun sebelumnya.
 Tempat beribadah menjadi fasilitas wajib dalam wisata halal. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi) |
Tak hanya ke negara dengan penduduk mayoritas Muslim, seperti Malaysia, Arab Saudi atau Indonesia, mereka juga mendatangi negara dengan mayoritas penduduk non-Muslim, seperti Singapura, Thailand dan Inggris.
Dengan 263 juta penduduk yang 87 persen memeluk agama Islam, seharusnya memang tak perlu lagi mempertanyakan kehalalan di Indonesia.
Sayangnya, fakta berkata lain.
Dikatakan CEO dari CrescentRating, Fazal Bahardeen, tahun ini Indonesia berada di posisi ke-dua dalam daftar '10 Negara Muslim dengan Destinasi Wisata Halal Terbaik’.
Naik satu peringkat dari tahun lalu tentu saja membanggakan, namun Indonesia masih kalah dari Malaysia.
“Untuk pilihan tempat wisata, Malaysia memang kalah dari Indonesia. Tapi untuk urusan sertifikasi halal dan sosialisasi wisata halal, Indonesia perlu mengakui kalau Malaysia sudah satu langkah di depan,” kata Bahardeen saat diwawancara oleh CNNIndonesia.com pada Mei kemarin.
Belum selesai persaingan dengan Malaysia, Indonesia juga masih harus mengungguli Singapura, yang berada di posisi teratas dalam daftar '10 Negara Non-Muslim dengan Destinasi Wisata Halal Terbaik’.
Persaingan itu belum selesai, karena Thailand, yang dikenal sebagai pusat wisata malam dan selalu menjadi pesaing Indonesia dalam hal wisata bahari, berada di posisi ke-dua.
Jangan dulu “bergidik” saat mendengar kalimat wisata halal. Wisata halal adalah wisata yang biasa saja, begitu yang secara singkat dijelaskan oleh Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal (TP3H) Rijanto Sofyan.
“Wisata yang biasa saja dalam artian menyediakan fasilitas dan layanan menghibur wisatawan, seperti hotel, tempat makan, objek dan atraksi wisata. Hanya saja, wisata halal dituntut untuk menyediakan semua hal tersebut yang sesuai dalam aturan syariah Islam,” kata Rijanto saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com pada Jumat (2/6).
Misalnya, hotel. Hotel biasa akan membolehkan tamu lawan jenis yang belum menikah untuk menginap dalam satu kamar. Sedangkan hotel syariah akan bertanya terlebih dahulu mengenai status hubungan tamu tersebut. Jika bisa menunjukkan bukti suami istri atau keluarga, maka tamu baru boleh menginap dalam satu kamar.
Selebihnya, hotel syariah tidak boleh menyediakan alkohol, tidak boleh menyajikan makanan dengan bahan baku non-halal dan memiliki ruang beribadah. Di Indonesia, aturan syariah dalam pariwisata ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Mereka telah menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 yang mengatur serba-serbi tersebut.
Sudah mengikuti aturan DSN MUI bukan berarti sebuah tempat sudah memiliki ‘cap halal’. Hotel atau tempat makan tetap harus mendapatkan sertifikasi halal yang diterbitkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Bagi hotel, ada dua jenis ‘cap halal’, Basic Requirement dan Full Requirement. Untuk Basic, baru sekadar menyediakan menu halal dan tempat ibadah. Sedangkan Full, seluruhnya halal, dari menu sampai pilihan saluran televisi.
“Secara umum, penerapan syariah sama di setiap negara. Intinya, wisatawan harus diberi informasi sejelas-jelasnya mengenai kehalalan fasilitas dan layanan yang dinikmati,” ujar Sofyan. Hingga akhir tahun lalu, wisatawan Muslim yang datang ke Indonesia berjumlah 2 juta orang, dari 11 juta wisatawan yang datang.
Banyak dari mereka yang mendatangi Jakarta, Bali, Batam, Aceh, Sumatera Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Riau, Sulawesi dan Lombok, yang memang ditetapkan sebagai 10 Destinasi Wisata Halal oleh Kementerian Pariwisata.
Selain Sumatera Barat dan Lombok, nama Banyuwangi semakin sering disebut sebagai tujuan wisata halal.
Tahun lalu, Banyuwangi telah dikunjungi oleh 3 juta wisatawan domestik dan 72 ribu wisatawan mancanegara. Sekitar 10 persennya merupakan wisatawan Muslim, yang melakukan wisata religi dan keluarga.
Kabupaten di Jawa Timur yang berbatasan dengan Surabaya dan berseberangan dengan Bali ini semakin mantap mengembangkan wisata halal, salah satunya dengan memusatkannya di Pulau Santen.
Berjarak sekitar 2,5 kilometer atau sekitar 10 menit perjalanan dari pusat kota, Pulau Santen berada di Kelurahan Karangharjo.
Dahulu kala, kawasan ini sangat kumuh, bahkan terdapat lokasi prostitusi bernama Pakem, yang kini telah ditutup seiring dengan penataan pulau.
Di Pulau Santen, terdapat pantai yang akan menerapkan aturan pemisahan wisatawan berdasarkan jenis kelamin. Tepatnya di Pantai Pandanan.
“Potensi wisata halal di Banyuwangi sangat bagus, tak hanya tempelan, namun tradisi Islamnya masih sangat kuat. Diperkirakan, pengembangannya bisa menyalip Lombok,” kata Sofyan.
Dalam pernyataannya beberapa waktu yang lalu, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, mengatakan kalau wisatawan non-Muslim tak perlu gentar dengan ‘cap halal’.
Dikatakannya, wisata halal tak semata ditujukan bagi wisatawan Muslim, karena seluruh kalangan tetap boleh datang.
“Ini bukan soal suku, ras, atau agama, tapi hanya mengenai segmentasi pasar, strategi pemasaran. Koridornya saja yang akan menerapkan aturan halal. Kami akan melakukannya secara bertahap,” ujar Anas.
Sepakat dengan Anas, Rijanto menambahkan kalau wisata halal bukan berarti mempersempit pasar. Masyarakat lokal juga tidak boleh menolak kedatangan wisatawan non-Muslim.
“Banyuwangi bukan yang pertama memiliki pantai dengan aturan memisahkan jenis kelamin. Italia sudah lebih dulu. Aturan ini tidak menyulitkan, buktinya di sana banyak keluarga yang merasa lebih nyaman berwisata,” kata Rijanto.
“Sudah banyak bukti kalau wisata halal ini merangkul tak hanya wisatawan Muslim, namun juga wisatawan keluarga, yang merasa lebih tenang jika berwisata ke tempat yang lebih tenang, jauh dari keriuhan wisata pada umumnya,” lanjutnya.
Agar wisata halal di Indonesia lebih berkembang, Rijanto berpesan agar pelaku usaha industri pariwisata halal segera melakukan sertifikasi, demi menyakinkan lebih banyak wisatawan untuk datang.
Selain itu, ia juga berharap masing-masing dari mereka memberikan informasi yang rinci mengenai fasilitas dan layanannya, terutama melalui dunia maya.
“Penduduk Indonesia salah satu mayoritas Muslim terbesar di dunia. Sayangnya, kita masih gagap untuk menyambut wisatawan Muslim yang datang. Seluruh lapisan masyarakat harus diajak membantu, agar Indonesia juga dikenal sebagai tujuan wisata halal yang siap menerima kedatangan wisatawan Muslim,” pungkas Rijanto.