Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika Lebaran tiba, kain sarung kembali mendapat tempat seperti halnya ketupat. Selain sebagai salah satu alat salat di hari raya, juga sebagai hadiah untuk diberikan pada keluarga atau kerabat.
Yang menarik adalah sarung ternyata tidak hanya berfungsi sebagai alat salat seperti yang tampak di permukaan. Sarung yang diproduksi hampir di setiap daerah punya fungsi yang berbeda-beda. Ada yang digunakan untuk baju tradisional, pesta pernikahaan atau upacara adat.
"Sebenernya di berbagai daerah di Indonesia, kain sarung sudah ada sejak dulu, di setiap sentra produksi kain tenun, batik maupun celup ikat/tie dye," ujar Taruna K Kusmayadi, desainer yang juga penasehat asosiasi perancang busana Indonesian Fashion Chamber, di Jakarta, Jumat (23/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nuna, demikian ia biasa disapa, produksi kain berbeda-beda di setiap daerah karena tergantung asimilasi budaya atau akulturasi daerah masing-masing. Misalnya pengaruh China di Palembang mempengaruhi hasil kain tenun songket di daerah tersebut.
"Begitu pun juga pengaruh budaya Portugis di NTT bisa terlihat corak mawar atau anggur di hasil tenun kain ikat celup nya," ujar dia.
Selain itu, ada juga sarung-sarung yang kemudian dikenal sebagai produksi Alat Tenun Bukan Mesin dimulai dari sarung Bugis atau sarung Plekat. Akan tetapi, karena terlalu mahal diproduksi secara ATBM, maka akat semi mesin dipergunakan untuk memproduksinya, hingga sepenuhnya dibuat mesin.
"Sarung identik dengan alat salat mungkin dikarenakan kepraktisannya, para penghuni pondok pesantren menggunakannya tidak saja untuk salat tetapi untuk kehidupan sehari-hari di sekitar pondok," kata dia.
Hal tersebut berbeda jika dibanding dengan daerah lain, seperti Bali. Di sana, kata Nuna, sarung dikenakan untuk upacara-upacara adat dan keagamaan. Sementara, di NTT, sarung dikenakan untuk kehidupan sehari-hari, bahkan untuk melindungi tubuh dari suhu malam hari yang agak dingin.
"Bagaimanapun, sarung adalah budaya Indonesia, melupakan sarung sama dengan melupakan budaya sendiri," ujarnya.
Beranjak dari pemikiran itu juga, Nuna dan sejumlah desainer lainnya turut berpartisipasi dalam mensosialisasikan gerakan 'sarung is my new denim' dalam mempopulerkan pemakaian sarung sebagai gaya urban.
"Mengapa kita mengadaptasi budaya Barat dengan sangat mudahnya, sementara budaya kita yang sudah diwarisi nenek moyang dilupakan begitu saja."
Sejumlah desainer, kata dia, kini serius untuk 'mendaur ulang' kain Indonesia menjadi sebuah fashion item dan sustainable. "Untuk terus dikembangkan dan diciptakan sehingga selalu mengikuti aspek kekinian," ujarnya.
(rah)