Jakarta, CNN Indonesia -- Setiap pekerjaan pasti memiliki suka dan dukanya masing-masing. Namun sebagian besar, keluhan yang diucapkan pekerja dari berbagai jenis pekerjaan tergolong sama. Mulai keluhan soal gaji, kenyamanan tempat kerja, hingga jam kerja yang terkadang dianggap tidak 'manusiawi.'
Begitupun dengan para Asisten Rumah Tangga (ART), mereka juga tentu kerap mengeluh terkait gaji dan perlakuan 'bos' rumah yang kadang tidak menyenangkan.
Keluhan para ART ini juga tak jauh soal seputar gaji. Namun, seringkali ART mendapat perlakuan nyonya rumah yang tidak sedikit disebut-sebut terlalu merendahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Koordinator Jala PRT, Lita Anggraeni mengaku kerap kali menerima keluhan para PRT terkait hal ini.
"Mereka gajinya kecil, bahkan banyak yang masih di bawah UMR," kata Lita saat dihubungi
CNNIndonesia.com. Perlakuan tidak menyenangkan, seperti cacian 'bodoh' dan 'kampungan' tidak sedikit diterima oleh para PRT ini. Bahkan, menurut Lita jika para nyonya rumah ini sedang dalam mood yang buruk, mereka sering melampiaskan emosinya kepada para PRT.
"Misalkan ada masalah di tempat kerja, atau memang moodnya sedang anjlok, tak sedikit ART yang jadi sasaran," kata dia.
Soal gaji, Lita menyebut hal ini tak bisa dianggap wajar. Gaji yang didapat para PRT ini sangat jauh di bawah standar UMR yang ditetapkan Jakarta atau wilayah lainnya.
Bahkan, tidak sedikit saat ini masih ada PRT yang menerima upah sebesar Rp800 ribu per bulan. Tentu hal ini tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggungan kesehatan yang harusnya didapat oleh para PRT itu.
"Rp1,3 juta itu sudah tergolong besar, belum lagi mereka ini tidak mendapat tunjangan kesehatan yang layak," kata dia.
 Koordinator jala PRT mengungkapkan ada banyak keluhan yang disampaikan ART terkait pemilik rumah (Thinkstock/kadmy) |
Tuntutan KehidupanMeskipun gaji yang diterima tidak bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, hingga perlakuan yang kadang tidak manusiawi diterima oleh para pekerja rumah tangga ini, tercatat masih banyak orang, khususnya perempuan yang memilih menjadi pekerja rumah tangga dan bermigrasi ke kota besar, khususnya Jakarta.
Tuntutan kebutuhan hidup yang memang tinggi, membuat mereka nekat mendatangi Jakarta dengan tujuan menajdi pekerja di rumah-rumah besar atau apartemen puluhan tingkat.
"Mereka tahu, jadi pembantu memang tidak enak, gaji juga tidak seberapa, tapi mereka butuh jadi ya mereka jalani itu," kata Lita.
Lita menyebut, saat kembali ke Jakarta pasca mudik lebaran, tak sedikit para PRT ini akan membawa satu orang tetangga, atau bahkan saudara untuk bersama-sama mengadu nasib menjadi PRT di kota ini.
"Ya siklusnya tetap seperti itu, mereka mengeluh, mereka tidak senang jadi pembantu, tapi tuntutan membuat mereka harus menjalani itu," tutup Lita.
(chs)