Manado, CNN Indonesia -- Satu hal yang saya sadari ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kota Manado, Sulawesi Utara: kota ini tidak ramah untuk vampir.
Bagaimana tidak, sejenak saja nuansa religius langsung terasa di kota berpenduduk mayoritas Kristen ini. Anda tidak harus berjalan jauh untuk menemukan gereja dan lambang salib—simbol yang membuat lemah makhluk pengisap darah dalam legenda Barat itu.
Selain itu, sinar matahari di kota ini juga terasa sangat terik. Suhu udara sewaktu-waktu bisa mencapai 34-35 derajat Celcius, lebih gerah dari Jakarta atau Surabaya sekalipun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mohon maaf jika ada yang tersinggung, penggambaran Manado di atas hanyalah guyonan saya sebagai wisatawan yang tak gemar berpanas-panasan saat berkesempatan mengunjungi Tanah Minahasa pada akhir pekan kemarin.
Bagi yang penasaran seperti apa pengalaman saya saat menjadi “wisatawan vampir” semalaman di Manado, berikut ini ialah catatan perjalanan saya:
11.00-12.00 - Wisata Modern di Boulevard ManadoSaya berangkat ke Manado menggunakan pesawat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta pukul 5 pagi. Perjalanan di udara kurang lebih selama 4,5 jam langsung, tanpa transit.
Pesawat tiba di Bandara Internasional Samratulangi sekitar pukul 9.30 pagi waktu Jakarta atau 10.30 waktu Manado. Saya menginap di hotel yang berada di kawasan strategis, di Jalan Piere Tendean. Orang lokal menyebut kawasan ini dengan nama Boulevard.
Dari bandara, perjalanan menuju Boulevard kurang lebih satu jam. Jangan harap bakal terbebas dari kemacetan, karena kondisi lalu lintas di Manado hampir sama dengan Jakarta.
 Salah satu kedai kopi di Boulevard. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Sesampainya di Boulevard, saya memilih untuk langsung menuju ke Mall Manado Town Square untuk menunggu ketersediaan kamar hotel.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari mall ini kecuali pendingin udaranya yang melindungi saya dari sengatan matahari tengah hari di luar sana.
Dari hasil pengamatan saya, ternyata mall yang disebut Mantos ini merupakan mall salah satu mall yang popular bagi muda mudi Manado. Tapi ini bukan yang satu-satunya, karena ada banyak mall lain di sepanjang jalan Boulevard.
12.00-14.00 - Nikmati kesejukan dataran tinggiUsai menyeruput kopi dingin, saya kembali ke hotel untuk menyimpan barang. Setelah beres-beres, saya kembali melanjutkan penjelajahan di Manado, dengan harapan matahari sudah tak terlalu terik sesampainya di lokasi pertama.
Selama berada di sini, saya menggunakan mobil sewa. Sebenarnya ada jasa ojek dan taksi online, tapi jarak antar tempat yang saya datangi lumayan jauh.
Akhirnya mobil sewa bersama supir dengan tarif Rp500 ribu sehari jadi pilihan saya.
Kepada supir yang merangkap sebagai pemandu, saya meminta untuk diantar ke Tomohon.
Perjalanan dari Boulevard ke Tomohon bisa memakan waktu sekitar 2 jam, lagi-lagi, tergantung kondisi lalu lintas.
Di tengah perjalanan, saya mampir ke Monumen Yesus Memberkati di Kompleks Perumahan Citra Land. Monumen ini sebenarnya dibangun oleh pengelola, tapi kini malah jadi salah satu ikon kota Manado.
 Monumen Yesus Memberkati. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Banyak wisatawan yang berfoto di bawah patung setinggi 50 meter itu, layaknya bersama patung Kristus Sang Penebus di Rio de Janeiro.
Jalan yang mesti ditempuh sebelum mencapai objek-objek yang hendak dikunjungi memang cukup panjang. Walau begitu, saya berani menyebut perjalanan itu sebagai wisata tersendiri.
Suasana di perjalanan mirip dengan jalur Bandung-Lembang. Pemandangan yang disajikan berupa pegunungan di sebelah kiri dan pohon rimbun di sebelah kanan.
Sesekali juga bisa melihat gereja-gereja bergaya klasik. Beruntunglah saya, hujan turun sehingga udara terasa sejuk sepanjang perjalanan.
Satu hal yang perlu dicatat, jalur ini sangat berkelok-kelok dan licin ketika hujan.
Bersambung ke halaman selanjutnya...
14.00-16.00 - Surga di TomohonAda banyak pilihan tempat yang bisa dikunjungi di Tomohon. Di antaranya adalah Gunung Lokon, Gunung Mahawu, Danau Linow, Air Terjun Tumimperas, Perkampungan Bunga, Hutan Wisata Lahendong, Air Terjun Tapahan Telu Tinoor, Waruga di Desa Sawangan dan masih banyak lagi.
Tentunya tidak bisa semua tempat itu saya kunjungi. Setibanya di Tomohon, Delvis menyarankan untuk mengunjungi Bukit Doa di Gunung Mahawu.
"Tempat ini biasa dikunjungi oleh rombongan jemaat Katolik, bahkan dari luar negeri," ujarnya.
Meski tidak tahu surga itu sesungguhnya seperti apa, saya sempat berpikir kalau saya telah mengunjungi surga saat tiba di tempat ini, terkagum akan keindahannya.
Suasana didominasi warna hijau dari rerumputan dan pohon-pohon pinus. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah kapel yang berbentuk unik, seperti perahu terbalik. Namanya Kapel Bunda Maria.
Dari sana bisa menyaksikan pemandangan Kota Tomohon dari ketinggian. Di seberang kota, terlihat Gunung Lokon yang belakangan sedang bergejolak.
 Bukit Doa. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Pemandangan indah ditambah angin semilir sejuk sehabis hujan membuat suasana sore itu menjadi semakin syahdu, meski saya datang bukan untuk berwisata rohani seperti kebanyakan wisatawan lain yang mengunjungi lokasi ini.
Untuk masuk ke bukit ini saya harus membayar tiket masuk seharga Rp20 ribu per orang. Jika diantar supir, tidak usah khawatir karena hanya wisatawan yang perlu membayar.
Setelah puas merasakan syahdu, saya melanjutkan perjalanan ke Danau Linow. Perjalanan ke lokasi tersebut tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh dalam waktu yang cukup singkat.
Sama dengan sebelumnya, saya kembali mesti merogoh Rp20 ribu untuk tiket masuk, yang bisa ditukarkan dengan kopi atau teh di kafe tepi danau.
 Danau Linouw. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Untuk teman seruput, bisa juga memesan Pisang Goroho plus Sambal Roa, makanan khas setempat. Kedua menu ini cocok untuk sebagai teman menikmati keindahan pemandangan dan udara sejuk di danau.
Air yang seolah berubah-ubah warna karena unsur belerang dan pantulan sinar matahari, burung yang terbang ke sana kemari, angin semilir yang membelai rambut, membuat saya jatuh cinta dengan Danau Linow.
Saya hanya menghela napas karena harus menikmati pemandangan indah itu bersama Delvis, bukan dengan pacar.
16.00-18.00 - Tondano dan perburuan matahari terbenamWisata di Minahasa katanya tidak lengkap jika tidak mengunjungi Danau Tondano. Berbeda dengan Linow, danau vulkanis yang terbentuk karena letusan Gunung Tondano ini sangat luas.
Tepian danau ini bahkan tampak seperti pantai dan banyak nelayan yang mencari ikan menggunakan keramba.
 Danau Tondano. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Tidak banyak yang bisa dilakukan di sini, sebenarnya. Namun, setidaknya rasa penasaran saya pada keindahan danau terbesar di Sulawesi Utara ini sudah bisa terobati.
"Orang-orang biasanya datang ke sini untuk makan. Ada banyak rumah makan yang menyajikan ikan air tawar," kata Delvis.
Saya langsung bisa membayangkan bagaimana rasanya menyantap ikan di tepi danau yang diapit pegunungan ini. Namun, saya harus menepikan bayangan itu karena ada satu hal yang ingin saya kejar: matahari terbenam.
Setelah melihat-lihat pemandangan Tondano, saya langsung meminta Delvis putar balik menuju Manado, tepatnya ke Pantai Pantai Malalayang.
Pastikan untuk tiba di pantai sebelum pukul 17.30 sore. Siapkan kaca mata hitam, karena mobil akan banyak menghadap ke arah barat selagi berburu matahari terbenam.
18.00-21.00 - Matahari Terbenam, Malalayang dan malamSayangnya, perjalanan saya ke Pantai Malalayang terkendala oleh macet. Tapi Delvis menyemangati saya dengan mengatakan kalau ada warung yang menjual kopi dan Pisang Goroho.
Jadilah kami turun dan menikmati matahari yang sudah setengah tenggelam.
 Pantai Malalayang. (CNN Indonesia/Rinaldy Sofwan Fakhrana) |
Keindahan sore hari berganti menjadi kerlap-kerlip cahaya kota di seberang lautan. Dari kios-kios yang berjajar di tepi pantai, bisa melihat daerah Boulevard dari kejauhan.
Suara ombak terus terdengar di tengah kegelapan lautan. Kios-kios di Malalayang ini adalah salah satu tempat nongkrong anak muda Manado yang tidak suka dengan gaduh perkotaan.
Tidak seperti suasana tempat-tempat nongkrong di Boulevard yang banyak disertai dentum musik, deretan warung sederhana ini menawarkan sensasi yang lebih tenang dengan jajanan yang relatif lebih murah.
Jika menginginkan makan malam yang lebih mewah, bisa kembali ke Boulevard sekaligus menempuh perjalanan pulang ke hotel.
22.00-23.00 - Makan malam dan istirahatDi kawasan Boulevard, tepatnya area Ruko Megamas, ada banyak pilihan tempat makan, mulai dari bakso sampai steak.
Saya mendatangi D'Terrace, salah satu tempat makan yang populer di area ini.
Musik yang diputar kebanyakan dari 90-an dan 2000-an awal, cocok dengan selera saya. Namun, saya tidak melihat ada menu yang luar biasa dari tempat ini.
Jika ingin melanjutkan kehidupan malam, bisa mendatangi The Djarod Resto and Bar. Menurut Delvis, tempat ini adalah satu-satunya bar yang laik dikunjungi di Manado dan baru ramai setelah tengah malam.
Soal oleh-oleh, Delvis menyarankan saya untuk membelinya keesokan hari di Toko Oleh-oleh Oma Yuli yang berada tidak jauh dari Bandara Samratulangi.
Setelah perut kenyang, mata saya mengantuk. Jadilah saya memilih pulang ke hotel untuk beristirahat.