Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak tujuh bulan terakhir, Putri menjadi salah satu warga Yayasan Galuh, Pusat Rehabilitasi Orang dengan Gangguan Jiwa. Dia datang karena dianggap depresi akan kisah asmaranya yang tragis.
"Awalnya dia jatuh cinta sama seseorang tapi tidak direstui orang tuanya. Kekasihnya satu kampung dan menikah dengan wanita lain, dia melihat itu lalu sakit hati," ungkap Ajat, salah satu pengurus Yayasan Galuh saat ditemui
CNNIndonesia.com, Rabu (16/8) di yayasan yang berlokasi di Rawalumbu Bekasi.
Namun di balik kisahnya itu, Putri mampu membuktikan bahwa dia dapat menjadi sosok yang lebih baik. Hal itu terlihat saat dirinya memegang tugas sebagai salah satu pengibar bendera merah putih di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Tugas yang juga dilakukan atas keinginannya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bersama rekannya, Pinto dan Tauhid, dia berlatih keras agar sukses mengibarkan merah putih di hadapan pasien dan perawat yayasan lainnya. Hampir setiap hari dalam seminggu sebelum hari H, mereka mempersiapkan penampilan perdana sebagai pasukan pengibar bendera.
"
Deg-degan, sudah berlatih tiga kali, eh enam kali," kata Putri saat diajak berbincang di sela-sela latihan.
Walau ada raut wajah tegang, Putri dan kawan-kawan berhasil mengibarkan bendera merah putih pada upacara yang digelar Kamis (17/8) pagi. Usai pengibaran, raut wajah Putri kembali berseri, ada kebanggaan yang seolah ingin ia tunjukkan.
Upacara bendera di yayasan tersebut diungkapkan Nina, selaku pengurus telah berlangsung selama 10 tahun terakhir. Menurutnya itu menjadi terapi serta motivasi bagi pasien.
 Putri, di Yayasan Galuh, Bekasi. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
"Itu salah satu upaya kami untuk me
-refresh memori mereka. Sebagai motivasi, di sisi lain kami ingin menunjukkan bahwa inilah mereka. Walaupun mereka orang-orang yang termarjinalkan di masyarakat karena stigma tapi mereka tetap bagian dari bangsa ini," ungkapnya.
Selain Putri, Pinto dan Tauhid, yayasan yang telah berdiri sejak 1982 itu kini dihuni oleh lebih dari 400-an orang. Dari tiap penghuni ada ragam kisah yang melatari kehadiran mereka di sana. Ada yang diantarkan dinas sosial, keluarganya sendiri, atau dijemput oleh pengurus yayasan. Bila Putri datang karena tekanan jalinan asmara, Pinto datang karena kurangnya kasih sayang orang tua.
"Sejak kecil dia anak yang aktif, tapi ditinggal ibunya karena perpisahan orang tua. Dia kemudian merasa kurang kasih sayang, lalu jadi salah bergaul dan timbul emosi berlebih," kata Ajat.
Dia menambahkan, adapula pasien yang mengalami depresi hingga halusinasi karena marah sepeda motor miliknya dijual sang ayah. Namun kini, setelah tinggal dan dirawat di yayasan tersebut, menurut Ajat kondisi mereka telah berangsur baik.
Beberapa bahkan sudah bisa lebih tenang dan berinteraksi, seperti Putri, Pinto, dan Tauhid yang menunjukkan progresnya lewat keterlibatan langsung pada kegiatan penting, seperti upacara bendera.
 Putri sebagai pengibar bendera di Yayasan Galuh. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Selain momen hari kemerdekaan, sejumlah pasien yang telah lebih tenang disampaikan Ajat serta Nina sehari-hari kerap mengikuti sejumlah kegiatan untuk melatih kemajuan mereka.
Seperti olahraga dan senam di pagi hari, terapi aktivitas kelompok (TAK), pengenalan diri, serta bernyanyi. Tak luput, kegiatan kerohanian.
"Ada terapi komunikasi juga, kami ajak
ngobrol. Indikasi kemajuannya dari saat mereka berkomunikasi apakah bagus, kemudian dari kebersihan, serta ketenangannya," kata Ajat.
(rah)