Terapi Cell Cure Masih Perlu Uji Klinis

Rahman Indra | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Sep 2017 11:38 WIB
Hadirnya terapi sel atau Cell Cure di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta menuai pro dan kontra. Ada yang menilai terapi sel ini masih dalam tahap penelitian.
Hadirnya terapi sel atau cell cure di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta menuai pro dan kontra. Ada yang menilai ini masih dalam tahap penelitian. (Foto: CNN Indonesia/DiahSaraswati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Terapi sel atau yang kini ramai diperbincangkan dengan sebutan Cell Cure hadir di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Terapi pengobatan baru ini sudah dibuka ke publik sejak Mei lalu.

Namun, hadirnya terapi sel yang dianggap sebagai inovasi baru ini turut menuai sejumlah pertanyaan.

Di antaranya tentang modalitas pengobatan yang masih dianggap dalam tahap penelitian, atau bila digunakan dapat diberikan untuk pasien kanker dalam kondisi tertentu, misalnya telah gagal dengan berbagai terapi standart atau tidak ada terapi standar yang teruji. Ini seperti mengutip dari situs "Praxisgemeinschaft fur Zelltherapie" Duderstadt GmbH & Co KG, Jerman. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ungkapan itu disampaikan Prof. Dr. dr. Soehartati A. Gondhowiardjo, Staf Senior di Departemen Radioterapi FKUI-RSCM, saat ditemui di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Soehartati, memang ada proses yang panjang yang harus dilalui untuk satu terapi, sebelum dapat dikelompokkan menjadi terapi standar yang teruji atau terapi berbasis bukti dari suatu penyakit.


Proses itu, kata dia, dimulai dari penelitian pre klinik dan diikuti penelitian klinik. Pada pre-klinik dimulai penelitian in vitro, adalah pengujian yang dilakukan di dalam cawan petri yang kemudian dapat dilanjutkan dengan penelitian pada hewan.

Bila mana tampak hasil yang baik hingga tahap ini, maka baru maju menjadi penelitian pada manusia yang disebut dengan uji klinik, yang dibagi lagi beberapa fase, yaitu dari satu, dua dan tiga. Pada penelitian fase tiga, baru dapat dinilai apakah ada kelebihan atau manfaat yang lebih dari terapi baru tersebut dibandingkan terapi standart yang ada.

"Setelah itu barulah terapi tersebut dikatakan lulus dari uji klinik dan sudah menjadi satu terapi yang berbasis bukti untuk suatu keadaan penyakit," ujarnya.

Inilah, kata Soehartati, yang harus dinilai kembali secara cermat dalam terapi sel atau Cell Cure yang dimaksud.


Studi kanker

Dari penelusuran dr Soehartati beserta tim terhadap sejumlah literatur terapi tersebut yang dikelompokkan sebagai imunoterapi, pada kelompok yang menggunakan vaksin sudah terbukti berhasil pada beberapa jenis kanker. Sementara, imunoterapi yang tidak menggunakan vaksin, hingga saat ini masih sulit mendapatkan literatur hasil penelitian yang terpercaya.

"Dari beberapa literatur yang kita evaluasi, penelitian masih dalam fase 1 dan 2" ujarnya.

Misalkan, kata dia, kalau fase tiga mutlak harus lewat pengujian random. Ada perbandingan terapi yang sedang diuji dengan terapi yang sudah teruji sebelumnya.

Terapi Cell Cure Masih Perlu Uji KlinisSitus "Praxisgemeinschaft fur Zelltherapie" Duderstadt GmbH & Co KG, Jerman.  (Foto: Screenshot via https://www.immune-therapy.net/)

"Harusnya yang kita uji ini mempunyai superiority. Ada kelebihan. Selain itu, perlu dicari tahu apa ada efek negatifnya," papar dia.

Jadi, lanjutnya, satu pengobatan baru memerlukan suatu establishment atau penetapan yang hanya bisa didapatkan dengan suatu penelitian klinik yang baik.

"Apakah suatu saat terapi sel ini akan mempunyai potensi menjadi terapi yang teruji, mungkin saja iya, mungkin tidak."

Kalau dilakukan dalam format studi klinik, kata dia, mestilah mengikuti kaidah studi klinik yang benar. Seperti apa yang dilakukan klinik terapi sel di Jerman, misalnya yang mau terbuka mengatakan bahwa terapi ini untuk kasus-kasus tertentu.


Perlu keterbukaan

Senada dengan Soehartati, dr Sonar Soni Panigoro, dokter ahli onkologi FKUI-RSCM mengatakan terapi Cell Cure baru merupakan proposal, tidak untuk pengobatan massal.

"Itu masuk dalam ranah pengobatan kedokteran konvensional, hanya belum dianggap suatu pengobatan yang sudah terbukti (based on evidence). Sama sekali, belumlah menurut saya," ujarnya saat ditemui di RSCM, Jakarta, pekan lalu.

Lebih jauh ia mengatakan, pengobatan itu ada dua. Di samping konvensional, ada pengobatan lain yang mengklaim bisa menyembuhkan atau mengobati tapi kita belum bisa sepenuhnya menggunakan karena belum ada buktinya.

"Jadi kami belum berani memakai, karena tidak ada evidence-nya," ujar dia.

Jika ditanya posisinya, kata Sonar, hanya dalam konteks penelitian, belum untuk pengobatan. "Sederhananya seperti itu."

Sonar lebih jauh menegaskan, bahwa yang jadi sorotan adalah dasar pengobatannya. "Ada sepertinya menjanjikan, tapi belum bisa menyembuhkan dan tidak bisa sendirian."

"Kalau untuk komersial, belum. Karena masih baru dalam bentuk proposal masih penelitian, dan mestinya disampaikan demikian," ujar dia.

Terapi Cell Cure Masih Perlu Uji KlinisFoto: CNN Indonesia/Fajrian


Hasil Penelitian

"Menurut saya pribadi, tidak boleh dipromosikan apalagi ada unsur komersilnya. Ini publik atau pasien bayar, sementara biasanya kalau penelitian, gratis dulu."

Dalam hal penelitian, hasilnya bisa bagus, sama atau lebih jelek. Jadi, betul-betul pasien harus diinformasikan. "Hasilnya belum tentu, karena masih dalam tahap penelitian."

Di samping itu, soal biaya. Menurut Sonar, kebanyakan penelitian yang kita lakukan di kedokteran, dalam bentuk penelitian masih gratis tidak dibebankan ke pasien, karena yang punya manfaat, si peneliti. Kalau dia sukses, mungkin baru dia bisa jual.

Oleh karenanya, kata dia, kenapa pengobatan di kedokteran mahal, karena biaya penelitian lama dan juga mahal. Bagaimana dengan Cell Cure?

"Menurut saya harus hati-hati, paling tidak dalam bentuk penelitian, mesti ditawarkan dengan jelas."

Sonar mengatakan, profesor yang di Jerman sendiri menyampaikan bahwa terapi sel itu dipakai kalau pengobatan lain gagal. "Saya tidak bisa melarang, pasien berhak memilih pengobatannya, tapi mesti dijelaskan posisi dan efeknya."

Lebih jauh, ia menambahkan, terapi sel ini pada dasarnya tidak salah. Asalkan ada prosesnya, dari laboratorium dengan binatang dulu, orang sehat, lalu orang sakit, dan kemudian dipublikasikan hasilnya.

"Saya tidak ingin polemik berkepanjangan. Intinya pengobatan di dunia kedokteran itu mesti jelas karena berhubungan dengan manusia," ujarnya.


Rekomendasi KPKN

Dokter Soehartati, yang juga ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN) mengungkapkan komite sudah melakukan rapat dengan berbagai perhimpunan profesi terkait membahas terapi ini, dan telah melayangkan surat rekomendasi pada Kementerian Kesehatan.

Kesimpulannya, Soehartati mengatakan dirinya tidak tertutup akan pengembangan keilmuwan apalagi bila ada latar belakang ilmiah yang jelas, tetapi tetap harus mengikuti tahapan dalam 'studi klinis' yang baik. Dan diberikan pada kasus-kasus tertentu ketika semua pengobatan yang tersedia sudah angkat tangan.

"Pada kasus-kasus di mana pengobatan terapi standar sudah tidak mampu lagi mengobati, atau terapi standar yang ada tidak bisa digunakan karena tidak bisa diterima oleh pasien, dan itu mestinya disampaikan kepublik," ujarnya. (rah)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER