Jakarta, CNN Indonesia -- Munculnya berbagai situs atau aplikasi pencarian jodoh memang dianggap lumrah. Hanya saja, belakangan ini muncul situs pencarian jodoh yang menjurus ke dugaan pornografi, pornoaksi, mengatasnamakan agama dan budaya.
Psikolog Livia Iskandar mengungkapkan bahwa tumbuh suburnya situs maupun aplikasi pencarian jodoh ini disebabkan oleh tekanan sosial yang cukup tinggi.
"Ada tuntutan sosial yang cukup tinggi untuk berpasangan. Apalagi Indonesia itu masyarakatnya agamis, bahwa menikah itu ibadah," katanya saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Senin (25/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pressure atau tekanan, lanjut Livia, misalnya kerap dirasakan para lajang saat acara keluarga. Munculnya pertanyaan standar seperti "kapan menikah?" atau saat sudah menikah pertanyaannya menjadi "kapan punya anak?" sudah dianggap biasa.
Tekanan ini dianggap sudah keterlaluan saat munculnya aplikasi atau situs yang di permukaan seperti ingin mempertemukan para lajang dengan jodoh mereka, tapi justru merupakan sebuah perdagangan manusia atau
trafficking.
"Memang tekanannya agak kebangetan dan jadi bahaya bahwa kemudian ada orang-orang yang punya pikiran yang menurut saya sudah gila," kata Livia.
Livia berkata, pilihan hidup yang berbeda di tengah budaya kolektif masyarakat Indonesia memang perlu keberanian. Orang perlu berpikir ribuan kali sebelum memutuskan untuk menikah. Jangan sampai menikah karena tekanan sosial.
"Masyarakat perlu tahu bahwa menikah itu bukan segalanya, menikah perlu mencari pasangan yang tepat, evaluasi calon pasangan, bukan menikah karena tekanan lingkungan, orang tua, keluarga," tambahnya.
(chs)