Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Ketika itu terjadi, yang ada hanya gelap dan perasaan takut. Mata saya pejamkan rapat-rapat dan tubuh kaku berusaha menolak. Lalu ada sakit yang menyengat di pangkal paha.Ketika akhirnya saya bisa lari. Saya mengalami pendarahan selama beberapa hari kemudian.Selama ini, cerita hari itu terbungkam bersama kamar lembap dan gelap di sebuah kota kecil itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persis seperti bagaimana pria itu membungkam saya dengan kaus abu-abu sebelum memberi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup itu.Delapan tahun kemudian, kejadian yang sama terulang. Kali ini di kamar hotel yang terang benderang dan terletak di pusat kota. Modus tetap sama. Undangan masuk, rayuan dan sentuhan, yang berubah menjadi pemaksaan saat saya mulai menolak. Ujungnya adalah ketidakberdayaan."Itu adalah sekelumit kisah Erni (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban pemaksaan secara seksual.
Mungkin perasaan itu juga yang dialami para perempuan korban pelecehan seksual Harvey Weinstein. Takut dan tak berdaya, lalu memilih menyerah.
Apalagi dia produser Hollywood yang berhasil melahirkan film-film besar seperti
Pulp Fiction,
Robinson Crusoe dan
Scream 3.Weinstein, atau seperti yang disebut Lea Seydoux: pria besar dan gemuk serta tak menarik, seakan punya kuasa menentukan siapa yang bakal dia orbitkan menjadi selebriti besar atau tidak.
Menolak berhubungan seksual dengannya, sama saja membunuh karier yang sudah ada di depan mata.
Takut memang ekspresi alami manusia yang muncul saat ada ancaman secara fisik maupun mental.
Rasa takut menjadi alasan utama perempuan untuk bungkam soal pelecehan seksual.
Rasa takut sebenarnya malah menimbulkan dampak yang lebih besar jika dibandingkan untuk berani membuka suara.
Takut menolak, ujung-ujungnya diperdaya. Takut melapor, artinya membiarkan hal buruk yang sama terjadi pada wanita lain. Takut meminta pertolongan, bisa berakibat fatal pada diri sendiri.
Penyebab lain adalah hukuman atau persepsi sosial atau 'label' yang muncul terhadap korban pelecehan seksual.
“Bagaimana jika karier saya terancam? Bagaimana jika saya kemudian dianggap sampah masyarakat atau perempuan
kegatelan oleh masyarakat yang bisa dengan mudah menghakimi ini? Bagaimana jika ternyata saya sebenarnya salah: karena terlalu mudah termakan rayuan, karena berbusana mengundang, karena minum terlalu banyak, karena terlalu murahan?”
Perempuan pun takut bersuara karena khawatir dicap buruk.
 Angelina Jolie menambah jumlah wanita yang mengaku pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh produser Hollywood Harvey Weinstein. (Foto:AFP PHOTO / Fabrice COFFRINI) |
Namun, ketika merasa ada dukungan, terutama perempuan lain yang bernasib sama, barulah mereka berani membuka diri.
Lihat saja kasus Weinstein. Satu demi satu korbannya, artis-artis ternama, bermunculan. Jangan salahkan perempuan jika mereka butuh waktu lama untuk melaporkan kasus pelecehan seksual.
Hukuman sosial seperti ini terutama mendominasi di masyarakat yang menganggap tabu untuk berbicara bebas soal seks, dan kehilangan keperawanan sebelum menikah tidak bisa diterima.
Jangan harap perempuan berani melapor setiap dilecehkan di masyarakat seperti itu.
Sebelum bertanya-tanya kenapa para korban Weinstein baru bersuara sekarang, berkaca dahulu apakah masyarakat sudah cukup menerima jika ada perempuan yang dilecehkan. Apakah masyarakat justru menyalahkan perempuan karena 'kegatelan', atau apakah masyarakat mengatakan si pria yang ‘sakit’.
Patut diingat bahwa pelaporan tidak membuat kasus pelecehan seksual selesai karena korban masih menjadi 'korban' dari aksi pelaku yang telah dihukum.
Trauma yang diderita oleh korban pelecehan seksual tidak hilang ketika kasus itu selesai di mata hukum.
Untuk itu perlu pendampingan psikologis agar korban tidak menjadi trauma berkepanjangan. Satu jalan yang panjang dan menyakitkan karena dalam prosesnya akan membuka luka lama yang dipendam.
Pelecehan seksual memang kasus sensitif nan rumit, yang sejatinya tidak hanya melibatkan si pelaku dan korban saja.
Dibutuhkan masyarakat yang lebih terbuka dan menerima, bukan perilakunya melainkan kondisi korban, jika ingin bisa membicarakan itu dengan adil.
Juga dibutuhkan pemahaman bahwa perempuan berhak menolak. Jika tetap ada pemaksaan, artinya sudah tergolong pemerkosaan.
Pemahaman ini harus dimengerti oleh lelaki dan perempuan.
Kaum perempuan, jangan takut bilang tidak, jika menjadi korban melapor. Masyarakat secara luas, jangan jauhi korban pelecehan seksual dan jangan tolerir pelaku kejahatan seksual.
(yns)