Jakarta, CNN Indonesia -- Ketenaran sosok karakter dalam film hingga diidolakan para remaja seperti yang terjadi pada Dilan dalam film
Dilan 1990 ataupun novel
Dilan Dia adalah Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq dipandang dari segi psikologi sebagai sebuah hal yang wajar.
Para remaja, yang menjadi pasar dominan dari cerita film atau novel seperti ini dianggap psikolog anak dan remaja Vera Itabiliana Hadiwidjojo masih dalam proses perkembangan otak dan pencarian jati diri sehingga membutuhkan
role model alias arketipe.
"Mereka sedang mencari peran-peran dalam kehidupannya sendiri sehingga bisa saja muncul
ideal self yang berlaku bagi dirinya sendiri dan juga orang lain, misalnya
ideal self untuk diri sendiri jadi anak yang populer di sekolah padahal dalam kenyataan tidak demikian," kata Vera kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika
gap atau jarak antara yang ideal dengan realita terlalu jauh berisiko ada masalah,"
Pengidolaan terhadap sejumlah tokoh fiktif kadang membawa para remaja menetapkan sejumlah 'standar' tertentu di dunia nyata yang disesuaikan dengan karakter idola mereka. Hal ini dianggap Vera masih aman, bila tidak berlebihan.
Vera menilai, sepanjang para remaja masih dapat objektif membedakan mana kisah fiktif dengan kenyataan, dan hidup berdasarkan kehidupan nyata, maka penetapan 'standar' tersebut tidak masalah.
"Namun, remaja juga butuh bimbingan agar tidak terlalu larut," kata Vera.
"Jika mereka menemukan
role model yang mendalam sekali kesannya bagi mereka, cocok dengan bayangan ideal mereka, merasa senasib dan lainnya. Bisa jadi [berlangsung] lama," kata Vera.
"Namun remaja juga punya kecenderungan untuk mengikuti konformitas agar diterima di kelompoknya sehingga mereka juga cenderung mengikuti tren yang sedang hits di kelompok mereka," lanjutnya.
Meski terbilang wajar, Vera mengatakan para remaja tetap butuh pengingatan atas 'kadar pengidolaan' mereka. Dan ini menjadi tugas orang dewasa atau orang tua.
"Boleh suka atau jatuh cinta pada sosok fiktif tersebut, tapi tetap diingat bahwa dia bukan nyata. Dan yang nyata belum tentu juga lebih buruk dari yang fiktif, bisa saja lebih baik jika kita lebih mengenalnya," kata Vera.
Orang tua disebut Vera mesti menjadi teman diskusi tentang hal menarik perhatian remaja, baik dari tontonan atau apa pun, mendengarkan mereka, dan menjaga mereka tetap ada di koridor realitas.
"Jika bisa, orang tua amati perilaku remaja mereka bila sudah berlebihan, misalnya sampai bela-belain bolos sekolah untuk ikut jumpa fan," kata Vera.
"Nah di sini orang tua bisa mengambil tindakan tegas. Tetap tekankan remaja agar tidak membiarkan 'baper' [terbawa perasaan] akan idolanya sampai mengganggu aktivitas sehari-hari," lanjut Vera.
(end)