Kopi Robusta Makin Populer tapi 'Memprihatinkan'

Elise Dwi Ratnasari | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Apr 2018 09:04 WIB
Dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan konsumsi kopi robusta, khususnya di negara-negara Asia, karena mayoritas menyukai cita rasa kopi robusta.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan konsumsi kopi robusta, khususnya di negara-negara Asia, karena mayoritas menyukai cita rasa kopi robusta. (Foto: CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kopi berjenis arabika bisa jadi jenis kopi yang paling umum ditemui di pasaran. Namun, robusta punya tempat khusus di hati penggemar kopi maupun mereka yang menjalankan bisnis coffee shop. Salah satu alasannya, karena kopi robusta siap menjawab kebutuhan penggemar kopi hitam, kental dan rasa lebih pahit.

Hal itu disampaikan Moelyono Soesilo dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI). Menurutnya, meski arabika lebih banyak dicari, konsumsi kopi robusta akan tetap meningkat secara reguler. Proporsi konsumsi antara arabika dan robusta pun tidak berbeda jauh. Jika pada 2010 konsumsi robusta hanya 35 persen, kini mencapai 40-42 persen atau sekitar 65 juta karung (per karung 60 kilogram).

"Tingkat ketergantungan robusta dan arabika mengecil. Ada teknologi yang dapat mengurangi penggunaan arabika sampai batas tertentu tapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan," ujar Moelyono dalam diskusi dan peluncuran roadmap kopi Indonesia di gedung Kemenko Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (26/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Dalam diskusi tersebut terungkap, Indonesia dulu merupakan penghasil kopi robusta terbesar di dunia, tepatnya pada 1990-an. Kini posisi ini harus diberikan pada Vietnam. Indonesia harus puas berada di peringkat ketiga dengan produksi 1-1,2 ton per hektar, berada di bawah Brazil.

Kebutuhan kopi robusta dunia, lanjut dia, per tahun rata-rata meningkat 58 ribu ton. Sedangkan kebutuhan kopi robusta dalam negeri sebanyak 11 ribu ton. Dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan konsumsi kopi robusta apalagi di negara-negara Asia. Kenaikan ini disebabkan oleh orang-orang Asia menyukai cita rasa kopi robusta.

"Ini kalau enggak ditambah dengan pertambahan produktivitas, lama-lama kita jadi importir," imbuhnya.

Akan tetapi meningkatkan produktivitas kopi robusta bukan tanpa tantangan. Moelyono mengatakan tantangan yang nyata dihadapi adalah petani-petani kopi sudah berusia lanjut. Hal ini diperparah dengan keengganan generasi muda untuk terjun ke bidang pertanian.


Tak hanya mengahdapi tantangan regenerasi, kopi robusta dan kopi pada umumnya harus menghadapi tantangan berupa luas area pengembangan yang terbatas, cuaca tidak menentu, serta infrastruktur kurang memadai.

"Ke depan kita juga mekin kekurangan air. Di Vietnam ada danau buatan. Saat kekeringan air danau dimanfaatkan. Mereka punya teknologi untuk membuat tanaman jadi stres, baru disiram. Cara ini mampu menghemat penggunaan air. Pemerintah siap enggak mempelajari itu?" ujarnya.

Perlu edukasi lapangan untuk petani

Petani yang lama berkecimpung di dunia kopi belum tentu menguasai sepenuhnya pengetahuan soal kopi. Moelyono menuturkan petani memerlukan tenaga penyuluh lapangan. Mirisnya, jumlah mereka minim dan bahkan ada yang harus mengurus lebih dari satu komoditas.

Moelyono bercerita dirinya pernah melakukan kunjungan ke suatu kabupaten di Sumatera Selatan. Selain kopi, tenaga penyuluh lapangan di sana harus mengurus lada, karet serta cokelat.

Minimnya tenaga penyuluh lapangan bisa berakibat fatal. Moelyono berkata pada 2010 kopi Indonesia yang diekspor ke Jepang tercemar pertisida. Kala itu terjadi kemarau basah sehingga proses pengeringan buah kopi sulit dilakukan.


"Mereka secara otodidak memakai herbisida, ini biasa untuk menyemprot rumput. Rumput kalau disemprot dengan herbisida kan cepat kering. Mereka iseng nyemprot pakai herbisida. 3-5 hari kopi memang kering. Ini permasalahan petani, tapi tidak tersampaikan,"paparnya.

Hal serupa juga ditemui oleh Stephen Lo, dewan pakar di Dewan Kopi Indonesia (Dekopi). Ia pernah menemukan petani di Desa Sialaman, Kabupaten Sipirok, Sumatera Utara menggunakan detergen untuk membantu membersihkan lendir buah kopi saat proses fermentasi. padahal fermentasi merupakan tahap yang penting setelah panen.

Secara umum, lanjut Stephen, fermentasi adalah proses menghilangkan lendir pada buah kopi. Lendir bisa hilang akibat bakteri yang tumbuh. Sedangkan bakteri ini hanya bisa tumbuh pada pH tertentu. Proses fermentasi yang terlalu lama dapat menimbulkan rasa busuk. Namun jika terlalu pendek maka rasa biji seperti masih hijau atau mentah.

"Petani di sana pakai detergen biar lendir cepat hilang. Ini ketahuan saat cupping. Ada rasa aneh yang tak seharusnya ada di kopi, rasa seperti sabun," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa petani enggan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun ada yang memberi tahu sehingga tindak lanjut berikutnya ialah memberikan pembinaan.

"Perlu ada penyuluhan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi," tutupnya.

Menanggapi keluhan-keluhan para penggiat kopi, Lin Che Wei, policy advisor Kemenko Bidang Perekonomian berkata pihaknya akan menggiatkan diskusi demi kemajuan kopi Indonesia. Namun pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi adalah mereka yang sudah diseleksi.

"Yang sudah diseleksi ini banyak cerita soal kopinya. Forum ini jelas enggak cukup untuk menggali persoalan seperti ini," katanya dalam kesempatan serupa. (rah)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER