Jakarta, CNN Indonesia -- Minggu (13/5) pagi, Wayan Ariawan, seorang tokoh masyarakat Bali Aga Buleleng, bergegas masuk hutan di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali.
Ia membawa sekeranjang buah yang isinya ditebarkan begitu saja di bawah pohon di tengah hutan.
Beberapa saat kemudian, kawanan kera memungut buah itu, lalu mengunyahnya dengan riang. Dari atas ranting pohon burung-burung berkicau. Suasana di hutan itu pagi itu sungguh nyaman dan asri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ingin membangun semacam monkey forest di desa ini sebagai pelengkap wisata alam di wilayah desa-desa Bali Aga," ucap Ariawan, seperti yang dikutip dari
Antara.Sejak empat tahun lalu, Ariawan yang memang dikenal sebagai aktivis lingkungan sekaligus pelaku pariwisata itu, bersama masyarakat desa giat membangun destinasi wisata alam yang ramah lingkungan di desa-desa Bali Aga.
Ariawan dan warga sekitar ingin melakukan perubahan, terutama berkaitan dengan citra desa yang sempat terpuruk akibat konflik politik.
Bali Aga adalah desa-desa tua di atas gugusan bukit di Kecamatan Banjar yang terdiri dari lima desa, yakni Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa dan Banyusri.
Orang-orang biasa menyebut desa-desa itu dengan singkatan mirip sebuah stasiun televisi swasta, SCTP-B.
Beberapa kali desa-desa itu dilanda konflik politik, terutama pada zaman Orde Baru, bahkan sampai menelan korban jiwa. Citra desa-desa yang sempat terpuruk hingga membuat turis takut berkunjung.
Tapi, kini suasana desa-desa itu sudah berubah. Warga bangkit mengubah citra desa menjadi kawasan yang nyaman untuk dikunjungi, baik oleh turis lokal dan turis mancanegara.
Sejak sekitar empat tahun lalu, Ariawan bersama warga aktif melakukan gerakan kebersihan, pelestarian alam, lingkungan dan tradisi.
Selain menerapkan penanaman bibit pohon buah dan larangan untuk berburu hewan liar, mereka juga rutin melepasliarkan berbagai jenis burung di dalam hutan.
"Jumlah burung yang sudah kami lepaskan ke alam bebas sekitar 12.500 ekor dari berbagai jenis," kata Ariawan.
Selain burung, kera liar di kawasan hutan Batu Ngongkong, Desa Tigawasa, juga ikut dilepasliarkan.
Awalnya warga sekitar cukup terganggu dengan keberadaan kera yang dianggap hama, karena kerap masuk rumah dan merusak kebun. Kawanan kera sempat jadi buruan.
Ariawan dan tokoh-tokoh masyarakat di desa itu kemudian berpikir untuk menjinakkan kawanan kera liar tersebut dengan cara memberi makan secara rutin.
Sejumlah warga bersedia menjadi relawan untuk memberi makan secara bergiliran.
Selain warga setempat, banyak juga warga luar desa dari komunitas lingkungan di Buleleng ikut menyumbangkan buah untuk makanan kera-kera liar itu, salah satunya adalah teman-teman Ariawan dari Buleleng Harmoni.
"Jumlah kera di hutan ini sekitar 100 ekor. Kini semuanya dalam proses penjinakan. Kalau sudah benar-benar jinak, kami akan bangun destinasi monkey forest di sini, kebetulan lokasinya juga masih dekat dengan Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk," kata Ariawan.
Panorama matahari terbit di sekitaran patung Sang Hyang Ganesha di Pulau Menjangan, Buleleng, Bali. (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya) |
Tak ada tiket masukKini, tak ada lagi rasa takut bagi turis untuk datang ke desa-desa Bali Aga SCTP-B.
Tak hanya turis lokal, setiap hari ada saja sekitar 25 turis mancanegara yang datang karena penasaran dengan desa-desa Bali Aga.
Destinasi wisata yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat setempat pun bertumbuhan.
Di Tigawasa ada destinasi bernama Kubu Alam, kemudian terdapat Rumah Hobbit di Desa Pedawa.
Belakangan di Pedawa dibangun sebuah kawasan meditasi di sebuah kebun yang asri di wilayah Bangkiang Sidem Desa Pedawa.
Turis yang datang juga disuguhkan wisata sejarah berupa rumah-rumah kuno yang masih banyak berdiri di sana.
Kegiatan warga seperti menganyam bambu untuk barang kerajinan ikut jadi daya tarik tersendiri. Kadang turis juga ikut diajak melepasliar burung di dalam hutan.
"Kegiatan warga menganyam bambu disukai turis mancanegara. Selain berfoto, mereka juga sekalian membeli kerajinan tradisional buatan warga," kata Ariawan.
Tidak ada tiket masuk yang diterapkan, hanya donasi seikhlasnya untuk menikmati destinasi wisata di desa-desa Bali Aga ini.
"Kami tak meminta bayaran lewat tiket masuk. Hanya donasi, biasanya untuk memberi honor kepada warga yang bertugas menjaga dan merawat destinasi itu," ujar Ariawan.
Hingga saat ini Ariawan dan warga masih terus mengembangkan potensi wisata desa agar semakin banyak turis yang datang.
Salah satu yang mereka tetap junjung tinggi ialah memelihara kelestarian alam yang telah memberikan berkah sebegitu banyaknya terhadap perubahan wajah desa sekarang.
[Gambas:Instagram] (ard)