Jakarta, CNN Indonesia -- Surabaya yang 'adem' tiba-tiba dikagetkan dengan ledakan bom di tiga gereja, Minggu (13/5).
Ledakan bom membuat jemaat Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat (GPPS) diliputi ketakutan. Ibadah yang seharusnya berjalan khidmat harus terusik.
Kapolri Jendral Tito Karnavian menyebut pelaku rangkaian ledakan bom adalah satu keluarga. Mereka membawa tiga jenis bom berbeda untuk diledakkan di tiga gereja dan daya ledak bom di GPPS adalah yang terbesar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pelaku ini diduga satu keluarga yang melakukan serangan. Dari tadi pagi, tim alhamdulillah sudah [melakukan investigasi]," kata Tito dalam konferensi pers di RS Bhayangkara, Surabaya pada Minggu (13/5).
Tak berselang lama, seorang pria bernama Ahmad Faiz Zainuddin mengaku sebagai adik kelas sang pelaku, DS. Ia menuliskan di akun Facebook miliknya bahwa ia tidak kaget DS menjadi pelaku teror bom di tiga gereja. Menurutnya, apa yang dilakukan DS adalah akumulasi paham radikalisme yang sudah tertanam sejak sekolah menengah.
"Saya sedih sekali akhirnya ini benar-benar terjadi, tapi saya sebenarnya tidak terlalu kaget ketika akhirnya dia meledakkan diri bersama keluarganya sebagai puncak 'jihad' dia, karena benih-benih ekstremisme itu telah ditanam sejak 30 tahun lalu," tulis Ahmad.
Melihat kenyataan ini, tak bisa dimungkiri kalau dunia pendidikan bisa jadi jalan masuk paham-paham radikal.
Psikolog pendidikan Wenny Sembiring mengungkapkan bahwa peran pemerintah terkait upaya pencegahan radikalisme dalam pendidikan sangatlah dibutuhkan.
"Perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk memantau berbagai aktivitas di sekolah dan juga kegiatan keagamaan," kata Wenny saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (15/5).
Ia memberikan contoh Malaysia. Di sana pemerintah menetapkan kebijakan bahwa hanya masjid tertentu yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan salat Jumat. Ini bertujuan agar isi dakwah bisa dipantau.
"Program deradikalisasi juga sudah harus dipikirkan, karena khawatir sekolah-sekolah itu merekrut guru-guru yang punya paham radikal," kata Wenny pada CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui pesan singkat pada Selasa (15/5).
Lebih lanjut lagi Wenny menjelaskan, benih-benih radikalisme dengan mudah tertanam pada anak kala benih prasangka dan kebencian ditabur. Keluarga dan guru memberikan pengaruh besar untuk tidak menanam benih kebencian pada anak.
Ia menyarankan agar orang tua maupun guru mengajarkan nilai-nilai keberagaman dan saling menghargai hak orang lain. Kebiasaan diskusi, lanjut Wenny, penting dilakukan serta berangkat dari data.
"Orang tua juga perlu menanamkan agar anak tidak membenci satu kelompok tertentu, kecuali kejahatan seperti terorisme. Jadi pada pelaku, bukan pada kelompok," imbuhnya.
Diskusi ini membuat orang tua mengetahui nilai-nilai radikalisme atau ekstrem yang ditanamkan ke anak misalnya sekolah, tempat les atau tempat ibadah. Yang paling penting, katanya, adalah kedekatan orang tua dengan anak.
"Orang tua bisa tahu hal-hal yang diterima anak dari lingkungan, apakah masih sesuai atau sudah mulai ada benih radikalisme," kata Wenny.
Terkait hal tersebut, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi atau Kak Seto mengungkapkan bahwa perlu adanya kewaspadaan di tingkat sekolah.
"Kewaspadaan tingkat sekolah (harus ditingkatkan) jadi mohon dibangun suatu satgas perlindungan anak," ucap pria yang dipanggil Kak Seto ini.
Di sisi lain, psikolog dan pegiat pendidikan Najeela Shihab menilai masukan nilai-nilai, kepercayaan, serta praktik keagamaan tumbuh dalam keluarga. Jika terjadi praktik pengeboman dengan pelaku seluruh anggota keluarga artinya keluarga dianggap tak mengajarkan hal yang tidak tepat.
Namun hal ini sebenarnya bukan hanya soal salah keluarga atau sekolah saja. Munculnya persoalan ini juga jadi tanggung jawab masyarakat.
"Jadi memang kita semua harus berperan menyebarkan pesan yang positif, pemahaman agama yang utuh dan nilai moral yang baik. Ini masalah seluruh masyarakat, bukan hanya satu keluarga yang jadi pelaku dan korban," kata Najeela dikutip dari Antara (14/5).
Senada dengan Najeela, Kak Seto juga mengajak masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak yang berada di lingkungan sekitar.
"Melindungi anak ini ibarat perlu orang sekampung, bersama-sama. Jadi, mohon ada kepedulian dari yang paling awal itu ada rukun tetangga dan rukun warga," kata kata Seto saat ditemui di Seminar Kesehatan Gizi Remaja, Jakarta, Selasa (15/5).
Seto menjelaskan anak-anak masih memiliki sifat yang labil dan mudah dipengaruhi baik itu positif atau negatif seperti ikut terlibat dalam tindakan kekerasan atau terorisme.
"Anak-anak mudah dipengaruhi dengan janji-janji, seperti mendapatkan surga. Anak juga masih dalam masa mencari idealisme yang mungkin sering merasa kecewa. Nah, bujuk rayu ini lebih menjanjikan. Makanya gotong royong, kekeluargaan kebersamaan dalam RT, RW, desa harus lebih lebih ditingkatkan," tutur Seto.
(chs/asa)