Catatan Perjalanan | 03 Salju
di ‘Planet’
Manali

Jarum jam tangan yang saya kenakan sudah hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Namun penampakan bus yang akan membawa saya ke Manali belum terlihat. Kalau dibilang India hampir mirip dengan Indonesia, mungkin tradisi ngaret menjadi salah satunya.

Saya memesan tiket bus ke Manali sehari sebelum keberangkatan dari kios penjualan tiket di kawasan The Ridge, kota Shimla. Harganya Rp145 ribu per orang. Saat sedang membaca ulang jam keberangkatan di lembar tiket yang saya genggam, bus yang saya tunggu akhirnya datang.

Setelah masuk ke dalam bus saya memilih bangku di samping jendela dengan harapan bisa melihat pemandangan dan bisa menyandarkan kepala lebih leluasa.

Perjalanan menggunakan bus menuju Manali dari Shimla menghabiskan waktu delapan jam dengan jarak 250 kilometer.

Membaca dari laman internet, jalur yang dilalui bus sangat ekstrem. Hampir semua jalan berkelok dengan jurang yang curam. Terkadang bus berhenti menunggu giliran kendaraan lewat dari arah berlawanan. Maklum saja namanya juga jalur Pegunungan Himalaya.

Mayoritas supir bus yang melalui jalur Pegunungan Himalaya sudah berpengalaman dan memiliki SIM khusus untuk berkendara di jalur ini.

Pemandangan malam di sepanjang jalur Pegunungan Himalaya memang indah, tapi sialnya kaca disamping bangku saya ditutup dengan tripleks. Alhasil tak ada pemandangan yang bisa saya lihat. Pikiran mengenai mabuk kendaraan mendadak terbayang di benak saya.

Benar adanya, setelah satu setengah jam perjalanan, bus mulai zig-zag, naik turun, mengguncang seluruh isinya. Obat anti mabuk yang saya tenggak sebelum naik bus sepertinya sudah kehilangan khasiat, karena saya merasakan pusing dan mual tanda mabuk perjalanan.

Bukan cuma saya, dua penumpang yang duduk di depan saya juga terlihat gelisah. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan kantong plastik dan mengeluarkan isi perutnya.

Melihat adegan itu sebagian perasaan saya jadi terinspirasi melakukan hal yang sama. Namun saya memilih untuk kembali menenggak pil anti mabuk lalu memaksakan mata terpejam, seperti yang dilakukan sebagian penumpang lain.

Selama memejamkan mata batin saya berbisik.

“Baru kali ini saya merasakan derita mabuk perjalanan di tengah keterasingan.”

“Wake up, wake up, Manali finish!”

Sang sopir membangunkan saya yang hampir bermimpi. Saat tengah mengumpulkan nyawa, saya melihat penumpang lain sudah turun bus.

Saya langsung bergegas menuruni tangga bus dan mengambil tas yang tersimpan di bagasi. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi.

Tak terasa hawa dingin menyergap, hidung mulai berair dan napas tersengal. Ternyata suhu udara di Manali lebih dingin dari Shimla. Saya langsung merasa salah kostum, karena pakaian berlapis yang saya kenakan tidak membantu tubuh menghangat.

Ketika sedang berusaha mengusir dingin, seorang pria berjalan ke arah saya sambil menawari kamar untuk bermalam di penginapannya.

“Hotel… hotel… mari saya antar,” ujarnya. Saya berpikir cepat sambil memastikan di dalam hati bahwa ia tak akan menipu saya.

“Tak jauh dari sini hanya sekitar 100 meter. Lagipula belum ada hotel yang buka sepagi ini,” lanjutnya.

Pikir saya ah benar juga mana ada hotel di tempat pelosok seperti ini, yang sudah buka sepagi ini.

Setelah tawar menawar, saya sepakat untuk membayar seharga Rp450 ribu untuk menginap selama tiga malam, belum termasuk sarapan pagi. Ia langsung membantu membawakan tas dan berjalan cepat di depan saya, sementara saya berjalan di belakangnya terseok melawan angin dingin.

Manali terletak di ujung utara Lembah Kullu Provinsi Himachal Pradesh, India.

Butuh penyesuaian fisik saat menjadi pendatang di Manali. Kota ini berada pada ketinggian 2.050 meter di atas permukaan laut (mdpl) di kaki Pegunungan Himalaya, sehingga kadar oksigennya rendah.

Bagi yang belum terbiasa, bernapas terasa singkat dan gerakan jadi melambat sendirinya. Ini yang disebut Acute Mountain Sickness (AMS).

Lupakan AMS, karena pemandangan indah di Manali akan membuat pendatang lupa akan kegagalan diri mereka beradaptasi dengan ketinggian gunung.

Sungai Beas yang berwarna hijau kebiruan membelah kota dan menjadi objek wisata populer di Manali.

Kota ini juga berada di jalur yang menuju destinasi wisata alam lain kebanggaan India; Ladakh, Lembah Lahaul, Spiti dan Rohtang Pass.

Beberapa jam setelah sampai di dalam kamar yang terlihat sederhana tapi nyaman, sinar matahari mulai masuk melalui tirai. Sayup-sayup saya mendengar ada ketukan di pintu yang ternyata berasal dari petugas hotel.

Saat saya buka ia terlihat membawakan saya satu nampan menu sarapan yang datang di waktu terlambat; sebutir telur rebus, dua lembar roti dan selai stoberi, serta secangkir teh jahe.

Terdengar suara riang anak-anak kecil yang mulai keluar rumah, tapi di hari pertama ini saya memilih untuk beristirahat di dalam kamar demi berdamai dengan AMS.

Tak terasa sudah satu minggu saya melakukan perjalanan wisata di India. Manali adalah destinasi terakhir sebelum saya kembali ke New Delhi lalu ke Jakarta.

Manali menjadi tujuan saya untuk mewujudkan satu mimpi sederhana; melihat dan memegang salju langsung di Rohtang Pass.

Manali memang tak seistimewa Shimla. Bagi yang gemar keramaian perlu diketahui bahwa kota ini sangat kecil dan hanya dikelilingi pegunungan bersalju.

Tapi bagi yang ingin memanjakan mata dengan lukisan alam, termenung di jendela kamar hotel sambil menikmati pemandangan Pegunungan Himalaya, Manali bisa disandingkan dengan tempat wisata paling istimewa di dunia.

Belajar dari pengalaman di hari pertama, di hari kedua ini saya mengenakan pakaian berlapis yang lebih tebal saat hendak keluar hotel. Sore itu matahari bersinar terik, tapi udara berembus sejuk.

Berjalan beberapa langkah dari pintu hotel, saya sudah melihat kesibukan masyarakat Manali yang terasa jauh dari peradaban modern.

Sejumlah warga menikmati waktu berlalu sambil duduk di kursi panjang di trotoar. Musik yang minim bass dan kaya treble terdengar dari pintu-pintu toko yang berjajar di depannya.

Mall road merupakan pusat keramaian di Manali, meski tak begitu besar seperti yang ada di Shimla. Bisa dikatakan aktifitas masyarakatnya terpusat di kawasan ini.

Banyak toko yang menjual bermacam kebutuhan pokok, pakaian, oleh-oleh, makanan, hingga paket wisata alam.

Kehidupan di Manali seperti melambat, orang-orang tak terburu-buru waktu. Mereka tampak ikhlas untuk menghabiskan waktu mengobrol di kedai kopi atau bermain kriket di lapangan tak bertuan.

Saya yang terbiasa cepat dan terburu-buru mau tak mau menyesuaikan atmosfer di “planet baru” ini.

Sama halnya seperti di Nepal, saya banyak menemukan orang Tibet yang tinggal di Manali. Lebih tepatnya pengungsi dari Tibet.

Dalai Lama pun pernah menetap di Dharamsala, 240 kilometer dari Manali. Pada 1959, ia melarikan dari ke India karena konflik yang semakin parah di Tibet. Saat itu usianya masih 16 tahun.

Perdana Menteri India pada saat itu, Jawaharlal Nehru, menjanjikan perlindungan baginya. Ia lalu menunjuk kota Dharamsala yang berada di atas bukit Himachal Pradesh, sebagai rumah baru bagi Dalai Lama dan pengungsi Tibet.

Sejak saat itu sampai sekarang Dharamsala telah menjadi tujuan pelarian pengungsi dari Tibet.

Seiring waktu pengungsi Tibet merambah ke kota lainnya di India, termasuk ke Manali. Mereka membuka toko khas cendera mata dan tempat makan khas Tibet.

Saya memesan satu mangkuk Beef Thukpa dan secangkir Po Cha di Tibet Kitchen kawasan Club House.

Tempat makan ini berukuran kecil tapi ramai pengunjung. Kebanyakan yang datang ingin berdekatan dengan mesin penghangat sederhana yang setiap hari dioperasikan.

Nyaris seperti berada di Tibet, dekorasi tempat makan dihiasi lukisan dan kaligrafi China serta lukisan Buddha berwarna-warni.

Beef Thukpa berupa sup yang berisi mie, potongan daging sapi, wortel, paprika, zucchini, taoge yang disiram kuah kaldu dengan rasa sedikit asam dan pedas.

Sementara Po Cha berupa teh mentega yang terbuat dari campuran daun teh, garam dan mentega.

Harga kedua menu ini sekitar Rp80 ribu.

Menyantap kedua menu ini terasa sangat pas di musim dingin.

Walau tersaji menu masakan China dan Italia, tapi sebagian besar pengunjung memesan menu khas Tibet. Lidah yang hampir setiap hari dicecapi masakan India, akhirnya mendapat siraman baru di penghujung perjalanan.

“Kamu dari negara mana?” tanya kasir perempuan yang berwajah mongoloid dan berpipi merah.

“Saya dari Indonesia tepatnya Jakarta,” jawab saya.

“Wow sangat jarang orang Indonesia ke Manali, apalagi ke restoran Tibet semacam ini. Saya lebih sering bertemu orang Malaysia,” ujarnya.

“Terima kasih sudah menghadirkan masakan terenak yang saya nikmati selama perjalanan di India,” balas saya tersenyum sambil mengantongi uang kembalian yang diberikannya.

Hari ketiga saya semakin handal mengatasi AMS. Ditambah karena hari ini saya sudah berencana untuk bersua dengan salju di Rohtang Pass, puncak jalan tertinggi yang menghubungkan Provinsi Jammu Khasmir dan Himachal Pradesh.

Dari Manali saya menyewa mobil jenis sedan Toyota tua seharga Rp260 ribu per 10 jam dengan sopir bernama Uncle Bir.

Uncle Bir terlihat tua tapi lebih sering terlihat tersenyum daripada berbicara. Meski demikian ia cepat tanggap, terutama setelah tahu bahwa penumpangnya datang sambil membawa kamera.

Saat saya sedang mengarahkan kamera DSLR atau kamera ponsel, Uncle Bir langsung memperlambat laju mobil, seakan tahu saya ingin menangkap momen yang terlihat.

Bahkan ia tak segan meminggirkan mobilnya dan menawari saya untuk memotret pemandangan yang menurutnya indah.

Walau ditemani diam, namun perjalanan saya dan Uncle Bir pagi itu disemarakkan oleh alunan musik riang khas India dari pemutar kaset mobilnya.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya Desa Gulaba yang dilalui sebelum menuju Rohtang Pass sudah terlihat.

Gulaba berada di ketinggian 4.300 mdpl. Namanya diambil dari Raja Gulab Singh dari Kashmir.

Sama seperti Manali, desa ini berpemandangan Pegunungan Himalaya, namun jaraknya lebih dekat sehingga hawanya lebih dingin.

Dikaruniai curah salju yang lebat, Gulaba menjadi destinasi olahraga petualangan seperti ski, hiking sampai paragliding.

Rumah kayu dan perkebunan apel yang mengering di musim dingin memanjakan mata saya, Di sepanjang jalan ada banyak tempat penyewaan sepatu boot dan jaket tebal.

Melaju lagi ke depan tampak pemandangan hutan pinus yang menjulang.

Berbeda dari pegunungan yang ada di Indonesia, Pegunungan Himalaya indah namun garang walau hanya melihat dari ujung kakinya.

Memasuki Rohtang Pass kilauan kristal salju berserakan di pinggir jalan. Air terjun kecil mengalir dari tebing pegunungan.

Saya membuka jendela mobil lebar-lebar, melambaikan tangan, merasakan udara pegunungan yang begitu dekat.

“Kamu beruntung hari ini, salju sudah mulai turun dengan tebal,” kata Uncle Bir yang mengetahui kalau tujuan saya datang ke sini untuk merasakan salju.

Saya meminta Uncle Bir kembali menepikan kendaraannya dan membiarkan saya turun begitu melihat ada dua perempuan tua mengenakan pakaian tradisional Himalaya berjalan di pinggir jalan.

Dua perempuan itu mengiyakan permohonan saya untuk mengambil potret mereka, sambil berpindah satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan komposisi gambar yang pas.

Usai memotret dua perempuan ini menagih saya untuk berfoto bersama mereka menggunakan kamera ponsel saya. Kemudian mereka tertawa senang melihat hasil foto itu. Sebuah sambutan yang berkesan hangat tanpa pamrih materi.

Hanya berselang setengah jam setelah mobil kembali berjalan, mobil kami lalu berhenti di pos pemeriksaan menuju Rohtang Pass.

Tampak banyak kendaraan yang berhenti di sini. Setelah berbincang dengan petugas di pos, ternyata diketahui kalau kawasan Rohtang Pass tertutup oleh salju tebal sehingga tak bisa dilalui. Pupus sudah harapan bersua dengan salju.

Uncle Bir tak ingin saya kembali dengan sedih ke Manali. Segera ia memarkirkan mobilnya dan mempersilakan saya turun untuk memotret pemandangan.

Saya turun sambil menenteng kamera dan mengabadikan pemandangan hutan pinus di sekitar pos.

Usaha Uncle Bir untuk membuat hati saya senang walau gagal ke Rohtang Pass cukup berhasil. Setelah lelah memotret seharian, saya memilih bergabung dengan sejumlah orang yang sedang bermain salju.

Tangan saya mulai merambah gundukan salju. Sebagian masih lembut seperti serutan es, sebagian sudah membeku.

Saya meremat-remat salju, lalu menempelkannya ke muka dan dahi.

Saya tersenyum sendiri selesai melakukannya. Konyol memang, tapi rasanya mimpi jadi setengah terkabul.

Tiga jam lebih saya menghabiskan waktu di Gulaba. Mulai dari memotret, bermain salju, sampai makan jagung bakar.

Siang mulai berganti sore, saya memutuskan untuk mengakhiri petualangan saya dan kembali ke Manali. Indah dan garangnya Pegunungan Himalaya bakal saya rindukan lagi.

Setiap tempat selalu memiliki cerita, bagaimana sebuah perjalanan mengajarkan tentang hidup itu sendiri.

Share

Naskah, Fotografi & Video

Safir Makki

Menggemari perjalanan ke tempat yang tidak populer dan menyepi. Bekerja 14 tahun sebagai fotografer di media kemudian berlabuh di cnnindonesia.com.

  • Editor: Ardita Mustafa

  • Tata letak: Fajrian, Muhammad Ali

  • Infografis: Timothy Loen

  • Video editor: Tri Wahyuni

Artikel Sebelumnya

Catatan Perjalanan | 01 - Kota Biru Jodhpur
Catatan Perjalanan | 01 - Kota Biru Jodhpur
Catatan Perjalanan | 02 - Queen of The Hills Shimla
Catatan Perjalanan | 02 - Queen of The Hills Shimla
Kembali ke CNNIndonesia.com
Back to top