Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menggelar Rakornas III Pariwisata di Hotel Raffles, Jakarta pada 26-27 September 2018, utamanya untuk membahas Investasi dan pembiayaan di sektor pariwisata.
Investasi dan pembiayaan pariwisata akan menjadi pembahasan utama dalam Rakornas III Pariwisata di Hotel Raffles, Jakarta pada 26-27 September 2018. Hal itu merupakan langkah awal Kementerian Pariwisata (Kemanpar) untuk mendongkrak industri pariwisata dengan menarik para pelaku usaha untuk berinvestasi.
Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya, ada banyak sumber pembiayaan yang bisa digali untuk investasi dan pembiayaan di sektor pariwisata. Menurutnya, sumber yang umum adalah pembiayaan yang bersumber dari Usaha Jasa Keuangan (OJK) atau Industri Keuangan Bank (IKB), seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Pariwisata (FLPP) atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) pariwisata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ada juga pembiayaan yang bersumber dari Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Seperti dari perusahaan asuransi untuk mendukung keselamatan wisatawan selama berlibur, dari lembaga pembiayaan (multifinance), atau dari dana pensiun.
"Bisa juga pembiayaan yang bersumber dari pasar modal. Dengan menggunakan instrumen reksadana. Misalnya Reksadana Terpadu Pariwisata atau obligasi," tutur Arief dalam keterangan tertulis, Kamis (27/9).
Di samping itu, sumber pembiayaan dan penjaminan juga bisa berasal dari lembaga keuangan negara, seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Sarana Multigriya Finansial, atau PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia.
"Bisa juga skema pembiayaan yang dikeluarkan oleh Bappenas. Atau melalui BUMN-BUMN dalam kerangka kegiatan corporate social responsibility (CSR) atau PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan)," sebut Arief.
Menurut Arief, pembiayaan untuk pengembangan homestay desa wisata bisa dengan sumber dan skema yang beraneka ragam serta melibatkan berbagai pihak. Arief mencontohkan, pembiayaan homestay bisa melibatkan kementerian, industri perbankan, BUMN, dan kalangan swasta. Skemanya pun bisa bermacam-macam mulai dari kredit bersubsidi, hibah, hingga bagi hasil.
"Sumber dan skema pembiayaan ini tentu saja masih banyak lagi macam dan ragamnya. Saya kurang begitu memahaminya, karena itu kita serahkan kepada ahlinya yaitu OJK. Kini kita sedang intensif berdiskusi dan berkonsultasi dengan OJK, kita gunakan saja skema dan struktur pembiayaan yang kini telah ada di OJK," ungkap Arief.
Arief menambahkan, negara harus hadir untuk memfasilitasi para pelaku industri pariwisata agar mudah mendapatkan akses pembiayaan.
"Dan saya katakan, Kemenpar akan menjadi berguna untuk orang banyak jika kita bisa memfasilitasi itu," cetusnya.
Dia mencontohkan, KUR Pariwisata yang tidak populer karena masyarakat selalu berpikir KUR hanya untuk sektor pertanian atau peternakan. Data OJK menunjukkan penyaluran KUR ke sektor industri pariwisata masih sangat kecil sekitar 3%. Ini jauh lebih kecil dibandingkan pertanian atau kehutanan (24%) dan perdagangan (58%).
"Karena itu saya minta agar KUR Pariwisata dikembangkan agar dikenal luas di kalangan pelaku industri pariwisata," ujar menteri yang membawa Kemenpar terpilih sebagai #TheBestMinistryOfTourism2018 se-Asia Pasifik di Bangkok tersebut.
Contoh lain, lanjutnya, adalah Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT). Ketika sektor pariwisata tumbuh begitu pesat industrinya, seharusnya RDPT bisa menjadi instrumen investasi yang menarik dengan return yang menjanjikan.
"Begitu juga, pembiayaan perumahan bersubsidi homestay desa wisata. Harusnya bisa dikembangkan secara luas. Logikanya, kalau ada orang yang membangun homestay harusnya diberikan fasilitas KPR bersubsidi," tuturnya.
Hal itu karena usaha
homestay merupakan usaha produktif dan dinikmati oleh rakyat Indonesia. Usaha produktif dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat desa, layak diberikan subsidi.
"Menurut saya, setiap pelaku bisnis khususnya usaha kecil-menengah harus ada bapaknya. Jangan sampai mereka tidak dibina. Nah, pembinaan itu termasuk dalam hal investasi dan pembiayaan," jelasnya.
Untuk mendatangkan investasi, Arief mengusung konsep Planet, People, Prosperity (3P) atau Environment, Community, Economy (ECE).
"Bangunlah dulu People-nya. Contohnya di Mandalika, satu hotel pun belum jadi, tapi masjidnya sudah jadi duluan. UKM center-nya sudah jadi duluan. Begitu juga dengan di Danau Toba, saya minta dibangun dulu Desa Sigapiton. Di Borobudur saya minta dibikin UKM Center, saya minta satu kavling untuk UKM. Di Tanjung Kelayang kita ada 5000 meter persegi untuk membangun
homestay," paparnya.
Ini strategi baru dari konsep 3P atau ACE, diutamakan dulu People dan Community-nya dulu sebelum membangun yang lain.
"Kalau kita tulus ke Community, maka kita akan mendapat dua imbalan. Pertama, pahala dari Tuhan. Kedua, nanti social cost-nya akan rendah, nggak akan ada demo," tuturnya.
(egp/stu)