Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah iman dan pengharapan, kini giliran cinta yang jadi koleksi terbaru dari desainer
Bramanta Wijaya. Cinta merupakan penutup dari trilogi rangkaian koleksi Bramanta yang bicara tentang tiga esensi hidup manusia: iman, pengharapan, dan cinta.
Bagi Bramanta, cinta merupakan tali yang saling mengaitkan dari iman dan pengharapan. Oleh karena itu, cinta mesti dirayakan sebagai puncak koleksi esensi hidup manusia.
Trilogi ini diluncurkan dalam tiga tahun terakhir, terbaru soal cinta yang diberi tajuk "Tresno". Kata '
tresno' berarti 'cinta' yang diambil dari bahasa Jawa. Terlihat jelas, koleksi kali ini memang kental dengan budaya Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lewat Tresno, perancang yang memulai karier pada 2011 ini mengaku ingin menunjukkan cintanya pada Tuhan, keluarga, sahabat, dan akar budaya.
"Pada koleksi kali ini saya ingin menunjukkan cinta saya terhadap akar budaya yang terinsipirasi dari peranakan. Bukankah kita semua berasal dari peranakan?" kata Bramanta saat temu media sebelum meluncurkan koleksi Tresno di Raffles Jakarta, Jumat (7/12).
 Model memeragakan koleksi busana Bramanta Wijaya bertajuk "Tresno". (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kecintaan pada akar budaya peranakan ini membuat koleksi Tresno hadir dengan motif dan potongan baju bergaya campursari: Indonesia, China, dan Eropa. Bramanta mengeluarkan 24 busana yang terdiri dari gaun malam dan gaun pernikahan.
Diiringi alunan tembang Jawa,
Impen Impenan dari Banyuwangi, Bramanta memamerkan aneka gaun malam dengan satu benang merah.
Gaun itu menggunakan warna dasar putih dengan kain linen bercorak bunga klasik dari Eropa seperti krisan dengan nuansa biru dan hijau. Pada sekuens kedua, bunga klasik itu tampil dengan warna merah muda. Bagi Bramanta, bunga ini merupakan hadiah sebagai tanda cinta.
 Model memeragakan koleksi busana Bramanta Wijaya bertajuk "Tresno". (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Motif bunga ini dikombinasikan dengan corak awan yang terinspirasi dari Mega Mendung, representasi budaya di pesisir utara Jawa.
Gaun-gaun itu kebanyakan menggunakan siluet anggun berupa jubah yang terinspirasi dari bangsawan Klan Manchu era Dinasti Qing. Bramanta membuat potongan badan yang melebar dituangkan menjadi gaun
midi berpotongan trapeze.
Tampak pula jubah Manchu dengan empat belahan diberi sedikit
twist sehingga menjadi gaun panjang yang dilengkapi dengan detail kancing dan dipadukan dengan celana panjang.
Kerang Shanghai juga terlihat mendominasi hampir di setiap gaun. Penggunaan
bustier juga hadir sebagai sentuhan klasik yang dipadukan dengan bawahan kain sarung khas kebaya encim. Ada pula rok dengan potongan
flare dengan gaun bergaya
cheongsam.
Pada sekuens gaun pernikahan yang serba putih, Bramanta banyak bermain dengan potongan kain dan corak yang timbul. Bordir dan teknik
lace mendominasi gaun yang menggunakan kain organza, sifon, dan satin.
(ptj/asr)