Jakarta, CNN Indonesia -- Membludaknya angka
wisatawan tak hanya berdampak baik sektor ekonomi semata, namun hal ini dapat membawa petaka bagi
lingkungan setempat jika kegiatan
wisata tak dilakukan dengan baik dan bertanggungjawab.
Overtourism kini sudah menjadi momok bagi destinasi wisata, baik yang sudah ataupun menuju kategori populer, di seluruh dunia.
Seakan enggan menjalani 'takdir' yang sama dengan destinasi wisata terdahulu, sebuah kota di Italia membatasi diri terhadap jumlah kunjungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kota tersebut bernama Matera, dan alasan Matera membatasi diri terhadap kunjungan wisatawan bukan tanpa alasan. Bersama dengan Plodiv di Bulgaria, Matera didaulat menjadi ibu kota budaya benua Eropa untuk tahun 2019.
Artinya selama 12 bulan penuh, kedua kota itu akan disorot oleh wisatawan dari seluruh penjuru dunia.
Walikota Matera, Raffaello De Ruggieri, dengan tegas menuturkan jika pihaknya tidak menginginkan wisatawan
"Kami tidak ingin dikuasai oleh wisatawan," ujar De Ruggieri, seperti yang dikutip dari
the telegraph, Senin (17/12).
Menurutnya dengan lonjakan jumlah wisatawan, dikhawatirkan bisa merusak 'nyawa' sejarah kota Matera.
Selain itu, ia melanjutkan, Matera bukanlah pilihan untuk wisatawan yang ingin liburan singkat akhir pekan atau mencari keriaan semata.
Matera adalah sebuah kota di selatan Italia. Diperkirakan kota ini telah dihuni oleh manusia sejak sembilan ribu tahun sebelum Masehi. Kota ini pertama kali dihuni oleh Suku Lucani, kemudian dikuasai oleh bangsa Yunani kuno dan Romawi.
Walaupun merupakan permukiman tertua di dunia, Matera sempat menjadi kota termiskin di Italia yang penuh penyakit.
Pada tahun 1993 Matera ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia karena seluruh bangunan asli di Matera adalah gua yang terbuat dari batu kapur, atau biasa disebut Grotto.
Kota eksotis ini dipenuhi dengan sudut yang siap dieksplorasi oleh wisatawan bermental petualang, seperti kawasan gereja tua, bangunan purba, hingga cafe-cafe unik di dalam gua.
(agr)