Jakarta, CNN Indonesia -- Di zaman kiwari,
perempuan berbondong-bondong pergi bekerja. Potret itu menggambarkan bahwa akses perempuan untuk mendapatkan pekerjaan mulai terbuka.
Padahal, sebelumnya perempuan kerap diidentikkan dengan urusan kasur dan dapur. Urusan perempuan seolah hanya mengurus dan menyiapkan makanan untuk suami serta keluarga. Anggapan itu kemudian membentuk stigma negatif bagi
perempuan bekerja yang dipandang tak bakal becus mengurus anak.
Namun, perlahan akses kian terbuka. Akses yang terbuka ini dimulai sejak era reformasi. Sejak saat itu, stigma negatif tentang perempuan, khususnya kaum ibu, yang bekerja mulai berkurang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di saat itu, perempuan, termasuk juga para ibu, mulai merintis karier dari bawah. Pelan-pelan fenomena itu pun kian kentara.
Laporan McKinsey Global Institute bertajuk "Power of Parity: Advancing Women Equality in Indonesia" mencatat sebanyak 45 persen pekerja kerah putih atawa tenaga profesional tingkat
entry level hingga
middle management di Indonesia diisi oleh kaum hawa.
"Kalau melihat angka ini, perbandingan hampir
fifty-fifty antara pekerja perempuan dan pria," ujar Presiden Direktur McKinsey Indonesia, Philia Wibowo, beberapa waktu lalu.
Namun, dari jumlah itu, hanya 1 persen di antara kaum hawa yang berhasil menduduki posisi
top management perusahaan. "Perempuan Indonesia masih susah untuk mencari karier hingga ke jenjang yang tinggi," kata Philia.
Penyebabnya apa lagi jika bukan iklim kerja di Indonesia yang belum ramah perempuan. "Perempuan itu butuh jam kerja yang fleksibel," kata Philia.
Pernyataan ini jelas benar. Sebab, selain bekerja, perempuan, khususnya mereka yang merangkap sebagai seorang ibu, juga punya kewajiban untuk mengurus anak dan keluarga. Tanpa kerja yang fleksibel, impian iklim kerja ramah perempuan jadi utopis.
Philia mencontohkan, rotasi lokasi kerja sangat memungkinkan dilakoni oleh seseorang yang ingin berada di
top management sebuah perusahaan. "Misal, mau jadi direktur perusahaan, artinya dia harus
muter-muter dulu ke kantor-kantor cabang perusahaan yang ada di daerah lain," kata dia.
Hal-hal seperti itu lah yang rata-rata membuat kaum hawa harus berhadapan dengan dilema antara karier dan keluarga. Jika si perempuan memilih pergi, artinya dia meninggalkan keluarga untuk sementara waktu dengan tinggal berjauhan. "Kalau sudah gitu, ya susah," tegasnya.
Faktanya, fasilitas dan iklim dunia kerja di Indonesia dinilai masih belum ramah bagi seorang ibu. Belum lagi masalah hak untuk perempuan yang dianggap tak sebanding.
Tak usah jauh-jauh soal fleksibilitas waktu. Urusan fasilitas ramah perempuan seperti ruang menyusui hingga hak cuti melahirkan pun masih sulit didapat.
"Akses mendapatkan pekerjaan semakin luas. Tapi saat sudah bekerja, ternyata masih belum mendukung para ibu," ujar pegiat hak-hak perempuan, Tunggal Pawestri, saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Tunggal menyoroti beberapa permasalahan yang dialami pekerja-pekerja perempuan di sejumlah pabrik. Dia banyak mendapati pekerja pabrik yang mesti putus kontrak saat hamil dan melahirkan.
"Bahkan untuk ganti pembalut ada yang sampai diperiksa dan izin sakit karena haid juga tak diberi," kata Tunggal.
Lebih jauh, Tunggal melihat, akses perempuan untuk memasuki dunia kerja datang terlambat. "Kalah
start," katanya.
Meski demikian, Tunggal optimistis perempuan bisa mengejar ketertinggalan jika hak, akses, dan fasilitas dunia kerja dibuat ramah perempuan sehingga perempuan bisa berkompetisi secara adil dengan laki-laki.
Tunggal menyarankan pemerintah Indonesia mestinya mencontoh negara-negara yang berhasil menerapkan iklim kerja yang ramah bagi perempuan seperti Jerman.
Sejak reunifikasi Jerman pada 1990 silam, proporsi pekerja perempuan di Jerman meningkat hingga 15 persen. Angka yang diterbitkan oleh Federal Employment Agency mencatat sekitar 71 persen perempuan Jerman bekerja.
Mengutip
Deutschland, Jerman menerapkan konsep kerja paruh waktu untuk periode-periode tertentu yang bisa digunakan kaum hawa. Faktanya, hampir separuh dari pekerja perempuan di Jerman bekerja dalam paruh waktu.
Terus menghambatKendati para ibu berbondong-bondong untuk ikut bekerja, namun permasalahan masih saja muncul. Hambatan itu selalu berputar di pusaran budaya patriarki yang dipercaya masyarakat Indonesia.
"Anggapannya perempuan sebaiknya di rumah atau mengurus hal-hal domestik," kata psikolog industrial, Suhada, saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
Akibatnya, posisi perempuan tak bisa terangkat di lingkungan kerjanya. Hal itu secara tidak langsung mengikis hak-hak perempuan di dunia kerja, khususnya kaum ibu, demi mendukung peran ganda seorang perempuan.
Namun, mewujudkan iklim kerja ramah perempuan dan ibu buka hal yang tak mungkin. Toh, baik pria ataupun perempuan memiliki potensi yang serupa untuk mencapai kariernya.
(ptj/els/asr)