Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Libur adalah masa yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Bahkan keponakan saya yang masih balita kian menunggu hari libur. Karena di hari libur berarti dia punya kesempatan untuk menyeret orang tuanya ke toko mainan.
Bagi saya, hari libur berarti berhemat. Karena saya bisa tetap hidup di dalam rumah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
Tapi hari libur juga bisa berarti miskin mendadak. Apalagi jika harus ke luar kota atau keluar negeri. Sebesar apapun diskon yang didapat, tetap saja kita sebagai turis harus mengeluarkan uang untuk membayar tiket pesawat, visa, kamar hotel sampai tiket masuk objek wisata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi mengeluarkan uang untuk hal-hal remeh lain, seperti belanja oleh-oleh titipan teman yang entah kapan diganti uangnya.
Jika tak pandai-pandai mengatur keuangan, liburan memang bisa mendatangkan penyakit kanker alias kantong kering.
Tapi melihat gelombang musibah yang menimpa wisatawan di Indonesia sejak awal tahun ini, rasanya bukan hanya kanker dompet saja yang membuat saya malas untuk liburan.
Letusan Gunung Agung, gempa bumi di Lombok, tenggelamnya kapal di Danau Toba, jatuhnya pesawat Lion Air sampai tsunami Selat Sunda membuat saya jadi berpikir dua kali untuk mengunjungi destinasi wisata di Indonesia.
"Ah lebih baik ke luar negeri," pikir saya dalam hati-meski saya tidak punya dana juga untuk ke luar negeri.
Takut berwisata di Indonesia bukan karena membayangkan musibah apa yang bakal terjadi kepada saya.
Tapi lebih kepada saya ngeri membayangkan harus jadi korban dalam musibah yang disebabkan oleh keteledoran pihak-pihak yang seharusnya bisa meminimalisir dampak dari musibah tersebut.
Pihak-pihak ini yang seharusnya bisa melarang pesawat rusak untuk terbang, membatasi jumlah penumpang dalam pelayaran, membuat jalur evakuasi di gunung dan pantai, sampai hanya yang sekadar menulis arah jalur evakuasi terdekat.
Saya percaya rasa takut bisa dikalahkan dengan rasa aman.
 Letusan anak krakatau. (Foto: STR / AFP) |
Dalam kasus tsunami Selat Sunda, rasa takut untuk kembali datang ke Pantai Anyer, Pantai Carita atau Tanjung Lesung bukan cuma bisa diredakan dengan ucapan doa di media sosial, tapi juga dengan pembangunan alat pendeteksi bencana dan jalur evakuasi bencana yang lebih baik.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan alat pendeteksi, jalur evakuasi bencana beserta upaya sosialisasi bisa menyelamatkan sekitar 3,8 juta orang Indonesia yang tinggal di kawasan pesisir.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah membuat sistem peringatan dini dan meletakkannya di beberapa perairan rawan tsunami.
Ada tiga komponen yaitu seismograf, tide guage, dan buoy. Ketiga instrumen peringatan dini tsunami tersebut berkerja secara bersamaan. Namun, buoy yang berfungsi mendeteksi tsunami akibat gempa tektonik saat gelombang masih jauh dari bibir pantai banyak yang rusak, sengaja di rusak, sampai hilang dicuri orang.
Jalur EvakuasiLalu mengenai jalur evakuasi bencana alam di destinasi wisata Indonesia, saya rasa kawasan yang ramai didatangi turis mancanegara, seperti Bali atau Mentawai, lebih sigap membangunnya.
Saat menginap di salah satu hotel di kawasan Uluwatu contohnya, saya sering melihat papan jalur evakuasi yang ditempel di setiap ruangan, meski kawasan itu nyatanya sudah berada di atas tebing tinggi.
Banyaknya korban yang berjatuhan juga membuat kita jadi berprasangka bahwa pengelola kawasan wisata di Banten tidak mengindahkan peringatan dini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait dengan potensi gelombang tinggi.
Panggung musik yang dibangun hanya berjarak beberapa meter dari lautan, plus dengan latar belakang yang menutupi arah datangnya air jika terjadi hantaman.
Soal jumlah wisatawan, ada pula 'keluhan' Kementerian Pariwisata mengenai turunnya jumlah turis mancanegara pada tahun ini akibat rentetan bencana alam, dari target 17 juta menjadi hanya 16 juta.
Memahami kebutuhan wisatawan bukan cuma membangun objek wisata yang
Instagram-able atau berharga terjangkau, tapi juga mengerti bahwa ada seorang bapak, ibu, anak, kakak, pacar atau peserta
gathering yang harus kembali pulang dengan selamat ke rumahnya.
Sutopo juga telah menyinggung kesigapan pengusaha sektor pariwisata di Indonesia untuk menyiapkan mitigasi bencana, terutama bagi mereka yang memiliki usaha di sekitar pantai dan gunung, dua area yang rawan bencana alam.
Toh bukan baru sekali ini Indonesia pernah dilanda bencana. Karena jangan sampai liburan sambil mengantar nyawa menjadi tren baru di Indonesia.
(asa)