Tambrauw, CNN Indonesia -- Langit Manokwari sedang dirundung awan hujan saat pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Rendani. Ditemani rintik hujan, saya berlari kecil menuju bus untuk meninggalkan apron bandara.
Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Tanah Papua. Saya dan belasan wartawan dari Jakarta hendak memenuhi undangan Kementerian Pariwisata serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tambrauw.
Kami dijadwalkan berkeliling Tambrauw selama tiga hari dua malam. Deretan jadwal ketat berkunjung ke destinasi wisata sudah dalam genggaman kami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesungguhnya saya pribadi tak begitu mengenal Tambrauw. Yang saya tahu, Tambrauw adalah destinasi wisata baru di Papua yang bahkan Google Maps belum merekam keberadaannya.
Saat kami keluar bandara, sederet mobil kabin ganda sudah berjejer menunggu. Dari armada yang disiapkan, saya sudah bisa menerka betapa jauh dan sulitnya perjalanan menuju Tambrauw.
Di Jakarta, jam masih menunjuk pukul 05.30 WIB. Namun perbedaan zona waktu membuat kami tak bisa berleha-leha. Kami langsung tancap gas menuju Distrik Miah, Kabupaten Tambrauw untuk menghadiri upacara penyambutan.
Perjalanan menuju Distrik Miah kami tempuh sekitar tujuh jam perjalanan dari Manokwari. Sepanjang perjalanan, kami melewati jalanan berkelok, menanjak, dan menurun di area perbukitan.
Meski perjalanan panjang dan melelahkan, pemandangan yang saya temukan seolah mengobati itu semua. Deretan perbukitan, sungai, savana, hingga kabut di pegunungan menghilangkan kepenatan saya yang setiap hari mendengar drama politik negara.
"Memang perjalanan jauh, tapi yang kami jual pengalaman di perjalanan seperti ini," ujar Staf Khusus Bupati Tambrauw, Christoff, di sela-sela perjalanan.
Jalur Manokwari-Miah juga tak seburuk yang dibayangkan. Sekitar 80 persen jalan sudah diaspal. Mesin Triton Athlete yang saya tumpangi pun juga memanjakan perjalanan kami.
Setelah perjalanan kurang lebih empat jam, kami mampir di distrik Kebar. Di sini tersedia mess untuk menginap.
Kami mampir untuk sekadar meregangkan kaki dan mencuci muka. Maklum, kami belum sempat mandi karena perjalanan dari Jakarta dimulai pukul 00.00 WIB.
Tarian di Air Terjun AnenderatSetelah rehat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Miah. Air Terjun Anenderat dan suku Miah sudah menanti kami di sana.
Pemandangan di Distrik Miah sedikit berbeda dengan Kebar. Kalau Kebar menawarkan padang savana, Miah memiliki pemandangan hutan belantara dengan pohon-pohon besar di kanan kiri jalan.
Sesampainya di Desa Siakwa, Distrik Miah, kami disambut dengan tarian Kafuk dari Suku Miah. Kami diajak menari bersama dalam perjalanan menuju Air Terjun Anenderat.
"Siau tayunu foo siau," teriak suku Miah berulang kali. Kalimat itu dalam bahasa Indonesia berarti selamat datang.
Lalu kami diajak menyeberang sungai selebar 15 meter. Arus deras membuat kami harus berpegangan satu sama lain hingga ke seberang.
Usai menyeberang sungai, deburan air terjun pun terdengar. Saya berjalan sekitar 20 meter dan langsung bertemu Air Terjun Anenderat.
 Air Terjun Anderat di Tambrauw, Papua Barat. (Dok. Kementerian Pariwisata) |
Air terjun ini disebut memiliki tinggi 200 meter. Konon Anenderat memiliki tujuh hingga dua belas tingkatan. Tak ada yang tahu pasti karena kepercayaan warga sekitat melarang manusia menapaki tingkatan tertinggi air terjun itu.
Selain menikmati sejuknya air terjun sembari berswafoto, saya juga bisa menikmati tarian anak-anak Miah. Mereka menari di atas batu besar yang terletak di antara jeram Anenderat.
Bermain di Bukit TeletubbiesPuas menikmati Air Terjun Anenderat, saya kembali bertolak ke Distrik Kebar. Saya diajak mengunjungi bukit Sontiri yang terletak tidak jauh dari mess tempat kami menginap.
Warga sekitar kini lebih mengenal bukit Sontiri dengan bukit Teletubbies. Pasalnya bukit Sontiri memiliki pemandangan layaknya bukit di serial anak-anak Teletubbies.
 Bukit Sontiri di Tambrauw, Papua Barat. (Dok. Kementerian Pariwisata) |
Di sini, saya menikmati udara sejuk dan langit cerah yang sudah punah di Jakarta. Sayangnya langit barat Kebar sedang diselimuti awan hujan. Sehingga saya batal menikmati matahari tenggelam di bukit ini.
Saya juga batal menikmati kolam air panas War Aremi. Matahari sudah terbenam saat rombongan kami hendak berendam di pemandian air panas alami itu. Duh.
Kami pun kembali ke mess untuk beristirahat. Sekadar memulihkan tubuh untuk beraktivitas esok hari. Dan yang terpenting: MANDI.
Serunya perjalanan menikmati wisata di Tambrauw masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Sausapor oh Sausapor!Hari kedua kami mulai dengan sarapan bersama di mess. Jam masih menunjukkan pukul 05.00 WIT saat kami sudah harus mengunyah makanan.
Setelah menyantap sepiring nasi dan beberapa potong ikan laut, kami bergegas meninggalkan Kebar menuju Sausapor. Di sana kami sudah ditunggu oleh Bupati Tambrauw Gabriel Asem.
Di tengah perjalanan, masih di Distrik Kebar, saya berhenti di tengah savana. Fenomena matahari terbit terbingkai indah oleh perbukitan dan padang rumput Kebar. Saya mengabadikan beberapa foto dan video.
Perjalanan ke Sausapor pun dilanjutkan. Lawatan kali ini agak berbeda dari hari sebelumnya. Jalan beraspal hanya sekitar 50 persen. Sisanya, jalan yang baru dikeraskan dan jalan berbatu.
Tak ayal perjalanan memakan waktu hingga 8,5 jam. Rombongan saya beberapa kali berhenti di tengah hutan. Beberapa orang meminta waktu untuk buang air di sungai atau sekadar meregangkan kaki.
 Jalanan menuju Sausapor di Tambrauw, Papua Barat. (CNN Indonesia/Dhio Faiz) |
Saking parahnya medan yang ditempuh, beberapa di antara rekan saya muntah. Beberapa armada pun sempat mogok.
Namun saya tetap menikmati perjalanan karena mobil yang saya tunggangi, Triton Athlete keluaran terbaru, masih bandel-bandelnya.
Saya juga sangat menikmati perjalanan karena medan yang dilalui sangat menantang. Buat apa jauh-jauh ke Papua jika tak mencicipi jalan yang memacu adrenalin?
Kami membelah hutan yang dikelilingi pohon-pohon besar. Sepanjang perjalanan, kanan dan kiri kami adalah tebing. Tak jarang pula kami harus melintasi sungai dan menanjak 45 derajat sepanjang perjalanan.
"Di situ ada mobil Hi-Lux satu jatuh," ucap supir saya bernama Ian sembari menunjuk tebing. Medan berat ini, kata Ian, tak jarang menimbulkan korban jiwa.
Setelah perjalanan melintasi Distrik Kebar, Miah, Fef, dan Megah, saya akhirnya sampai di Sausapor. Distrik ini terletak di pesisir pantai di kepala burung Pulau Papua.
 Jalanan di Fef, Tambrauw, Papua Barat. (Dok. Kementerian Pariwisata) |
Distrik Sausapor adalah yang paling maju di Tambrauw karena merupakan pusat pemerintahan. Masyarakatnya pun rata-rata sudah bekerja di bidang pariwisata. Tak seperti di pedalaman Tambrauw yang masih bertani ataupun berburu.
Setelah disambut dengan tarian dan pidato bupati, saya disuguhkan makanan khas Papua berikut cara memasaknya. Saya disajikan papeda plus ikan kua kuning.
Saya juga dipertontonkan tradisi bakar batu atau barapen. Tradisi ini adalah teknik memasak keladi, daging, atau sayuran. Bahan makaman dibalut kayu dan daun, lalu dipanaskan dengan batu yang membara.
Setelah makan-makan, saya seharusnya dijadwalkan untuk berkunjung ke situs Perang Dunia II dan menikmati pantai di Pulau Dua. Namun sayang seribu sayang, matahari telah terbenam. Rencana itu pun menguap dan saya dan kawan-kawan hanya bisa gigit jari.
Akhirnya kami menuju ke mess di Sausapor untuk bermalam. Sebelum tidur, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk memandangi bintang di pesisir Sausapor sembari bersenda gurau mengenai perjalanan bak Crocodile Dundee hari ini.
 Pantai Sausapor. (Dok. Kementerian Pariwisata) |
Salam Perpisahan dari CendrawasihDi hari ketiga, saya mengunjungi habitat burung Cendrawasih di Nuggou Bird Nature. Jaraknya hanya 40 menit dari Sausapor.
Pemandu wisata berujar kepada kami untuk berangkat sepagi mungkin agar bisa sampai lokasi sebelum kawanan Cendrawasih datang.
Pasalnya mereka belum terbiasa dengan manusia. Sehingga jika pengunjung datang lebih awal, kawanan burung surga itu tak akan menyadarinya.
Namun karena saya harus menunggu rombongan, kami agak kesiangan. Seharusnya perjalanan dimulai pukul 05.00 WIT. Kami baru bergegas sekitar pukul 06.00 WIT.
Perjalanan menuju Nuggou Bird Nature sangat mengesankan. Saya melewati hutan yang masih asri. Terbesit di pikiran, hutan ini sangat mirip dengan Isla Nubar di film Jurassic Park.
Suara burung Cendrawasih bersautan sepanjang jalan. Kami pun tak boleh terlalu gaduh agar mereka tak kabur.
Saat sampai di TKP, saya masih harus mendaki sejauh 400 meter. Jalannya masih berupa tanah, sehingga harus berhati-hati.
Setelah menempuh pendakian yang menguras napas, saya dan rekan-rekan sampai di titik pemantauan Cendrawasih. Sayang matahari sudah terlalu terik, sehingga sulit menemukan burung yang bermain di pepohonan.
Saya hanya berhasil melihat burung khas Papua itu sekali. Tiga ekor Cendrawasih mendekati titik pemantauan. Namun durasinya tak sampai 10 detik. Sial.
 Burung Cendrawsih. (Dok. Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata) |
"Kita sudah kesiangan," ucap tour guide kami.
Saya dan rombongan pun memutuskan untuk menyudahi pemantauan Cendrawasih. Kami harus bertolak ke Sorong untuk menghadiri undangan Bupati Tambrauw dalam peluncuran pin wisata.
Memang tak puas hanya melihat Cendrawasih sekedipan mata. Namun setidaknya perjumpaan pertama saya dengan burung titisan surga itu bisa jadi salam perpisahan yang cukup indah dari Tambrauw.
Amanai, Tambrauw!