Jalan Panjang Kontroversi Eutanasia Vincent Lambert

CNN Indonesia
Jumat, 24 Mei 2019 08:38 WIB
Kondisi vegatif persisten dan pertimbangan eutanasia yang menimpa Vincent Lambert memicu kontroversi di Prancis.
Foto: Istockphoto/Andrii Zastrozhnov
Jakarta, CNN Indonesia -- Nama Vincent Lambert menjadi perdebatan di Prancis. Kondisi vegetatif persisten dan pertimbangan eutanasia yang menimpanya memicu kontroversi.

Vegetatif persisten merupakan kondisi kelainan kesadaran. Pasien berada dalam kondisi sadar secara parsial, namun tak aktif secara fisik atau tak mampu menunjukkan reaksi kognitif terhadap rangsangan sekitar.

Sebelum dinyatakan berada dalam kondisi vegetatif persisten, Vincent juga sempat dinyatakan mengalami quadriplegia. Nama terakhir merupakan kelumpuhan pada tangan, badan, kaki, dan organ pelvis. Kondisi ini terjadi akibat kecelakaan mobil yang menimpanya pada 2008 silam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama satu dekade, Lambert hidup berkat sokongan alat dari fasilitas kesehatan di Prancis. Namun, sejak Senin (20/5) kemarin, sokongan alat ditarik sedikit demi sedikit.

Momen ini memunculkan perdebatan panjang mengenai eutanasia di Prancis. Eutanasia sendiri merupakan praktik pencabutan kehidupan manusia melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit.

Bagaimana perjalanan panjang kontroversi Lambert? Berikut melansir AFP.

Vonis Kondisi Vegetatif Persisten
Lambert dinyatakan mengalami kondisi vegetatif persisten oleh pihak rumah sakit di Kota Reims pada 2011 lalu. Dokter menuturkan, dia berada dalam kondisi vegetatif persisten tanpa harapan perkembangan apa pun.

Sesuai keinginan sang istri dan kerabat, rumah sakit menginisiasi prosedur untuk mencabut pasokan makanan dan air lewat intravena pada 2013.

Sang istri dan kerabat mengatakan, sebelum kecelakaan, Lambert mengaku tak ingin dijaga dalam kondisi demikian agar tetap hidup. Namun, tak ada bukti tertulis soal ini.

Orang tua dan saudaranya yang merupakan Katolik taat bersikeras agar sokongan alat bantu hidup untuk Lambert tetap dilanjutkan. Mereka pun mengambil langkah hukum melalui pengadilan.

Perjuangan lewat Jalur Hukum
Pada Januari 2014, dokter mengumumkan soal rencana menghentikan pemberian makan melalui intravena pada Lambert. Putusan itu muncul berdasarkan aturan Prancis soal eutanasia.

Beleid memperbolehkan penarikan sokongan alat bantu hidup untuk penyakit serius atau pasien yang tak memiliki harapan untuk sembuh.

Namun, sesuai permintaan orang tua, perawatan dengan sokongan alat bantu hidup tetap dilanjutkan selama lima hari berikutnya.

Tak berhenti sampai di situ, sang istri turut mengambil langkah hukum. Dia mengajukan banding ke pengadilan administrasi tertinggi Prancis, State Council, yang memerintahkan untuk peninjauan medis baru.

Hasilnya, Lambert tidak dapat pulih. Kondisinya bahkan memburuk sehingga dia harus dibiarkan meninggal.

Kasus pun dibawa kepada European Court of Human Right di Strasbourg. Dari sini, pihak pengadilan memutuskan Lambert untuk tetap hidup seraya menunggu pemeriksaan lanjutan yang akan memakan waktu hitungan tahun.

Pada 2015, pengadilan mendukung keputusan State Council. Selepas satu bulan, rumah sakit memulai prosedur untuk mengakhiri bantuan seumur hidup. Namun, beberapa hari kemudian dokter menolak karena pertimbangan keamanan. Prosedur ini dikhawatirkan akan memicu kemarahan aktivis prokehidupan.

Keputusan akhir
Untuk keempat kalinya, dokter mengumumkan akan mencabut sokongan alat bantu hidup Lambert pada September 2017. Orang tua mengajukan banding pada pengadilan tetapi ditolak pada 2018.

Pemeriksaan kembali dilakukan dan menunjukkan kondisi vegetatif kronis yang dialami Lambert tak bisa disembuhkan.

Selanjutnya pada Januari 2019, diputuskan kembali penghentian pemberian sokongan alat bantu hidup untuk Lambert.

Namun, baru pada Mei 2019, komite PBB untuk hak-hak penyandang cacat meminta menangguhkan tindakan saat mereka sedang mempelajari kasus. Beberapa hari setelahnya, diputuskan mulai Senin (20/5) bahwa sokongan alat bantu hidup untuk Lambert akan dicabut.

Dukungan Paus Fransiskus
Pencabutan sokongan alat bantu hidup dimulai. Namun, kepedulian dari berbagai pihak terus mengalir, termasuk dari pimpinan tertinggi gereja Katolik, Paus Fransiskus.

"Kita berdoa untuk mereka yang menderita penyakit. Mari kita selalu menjaga kehidupan, karunia Tuhan, dari awal sampai dia pergi dengan sendirinya. Janganlah kita menyerah pada budaya eutanasia," tulis Paus melalui akun Twitter-nya.

Kemenangan Sementara
Dilepasnya sokongan alat bantu hidup untuk Lambert tak langsung membuatnya tutup usia. Seluruh organ tubuh Lambert disebut baru bisa berhenti dalam waktu beberapa hari atau pekan setelah dicabutnya sokongan alat bantu hidup.

Sebelum pencabutan dilakukan, pengadilan mengeluarkan perintah melanjutkan bantuan untuk Lambert. Sang ibu, Viviane, menuturkan bahwa hal tersebut adalah sebuah kemenangan besar.

"Tadinya, mereka [pihak-pihak lain] 'mengeliminasi' Vincent. Ini adalah kemenangan besar. Mereka akan mengembalikan nutrisi dan memberinya minum. Sekali ini saya bangga dengan pengadilan," ujarnya.

Namun, sang istri, Rachel, justru ingin agar suaminya 'dibebaskan'.

"Melihat dia pergi sebagai pria yang bebas. Tiap orang bisa beropini dan melawan, tapi di balik itu semua, bisakah kami punya privasi," kata Rachel.

Namun, kemenangan Viviane atas kemenangan ini hanya berlangsung sementara. Presiden Immanuel Macron menolak panggilan telponnya. Pemerintah Prancis akan mempertimbangkan keputusan PBB. Namun, keputusan yang dibuat nanti tak bersifat wajib dipatuhi secara hukum.

[Gambas:Video CNN] (els/asr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER