Jakarta, CNN Indonesia --
Aksi 22 Mei membuat pemerintah mengambil keputusan untuk membatasi akses media sosial dan pesan instan. Upaya dilakukan demi menangkal tersebarnya pesan-pesan yang berisi ujaran kebencian. Padahal,
media sosial adalah candu.
Pembatasan akses membuat banyak pengguna 'berteriak', seolah hidup berakhir gara-gara sulitnya akses media sosial.
"Sempat jengkel juga,
pake Kalau (punya) aplikasi VPN memang sudah dari lama. Baru terpakainya pas ada info kalau pakai VPN bisa jalan Whatsapp-nya, lalu baru on VPN nya," kata Arnold Giovani Pinem dari Balikpapan kepada
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Arnold, Intan Ananda, mahasiswi di Jakarta mengungkapkan bahwa dia juga merasa kesal karena terbatasnya akses ke media sosial sampai saat ini.
"Enggak bisa, ya
bete aja sih jadinya, bingung buka ponsel, cuma bisa Youtube doang."
Berdasarkan polling melalui twitter yang dilakukan oleh
CNNIndonesia.com pada Jumat (24/5), 24 persen responden dari 2,121 votes mengatakan bahwa mereka merasa sangat galau.
"Bukan galau, tapi jengkel," tulis Karin Alfadita, cuit karin Alfadita dalam polling
CNNIndonesia.com. "Galau nggak bisa lihat
content full picture di IG," tulis Dyta Romania.
Sedangkan 15 persennya mengaku galau. Namun persentasi tertinggi masih mengaku biasa saja alias tidak terlalu galau. Ada 61 persen responden yang mengaku biasa saja dengan kebijakan yang diambil terkait aksi 22 Mei 2019 tersebut.
"
Biasa sajalah, kan sifatnya temporer,
tulis akun @MasSusanto13.
"
Demi kebaikan bersama.. mengurangi ghibah juga," tyulis akun @Benteng_NKRI.
Situasi ini menimbulkan rasa tidak nyaman. Memang benar ada orang yang tak nyaman karena tak bisa memanfaatkan media sosial untuk hal positif misalnya untuk bisnis. Tapi yang parah adalah ketika rasa tak nyaman ini khususnya terjadi pada remaja yang begitu candu pada akses media sosial dan pesan instan.
"Jadi kalau ngomong ketergantungan, iya. Rasanya hampa kalau tidak ada kontak dengan orang lain," ujar psikolog Erfiane Cicilia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (23/5).
Perempuan yang akrab disapa Fifi ini punya pengalaman pribadi tentang itu. Si buah hati yang masih duduk di bangku sekolah diketahui galau gara-gara terbatasnya akses media sosial.
"Dia [anak] bilang enggak bisa update, enggak bisa tahu teman lagi
ngapain, perlu referensi [belajar], kan, lagi ulangan gini," kata Fifi menirukan keluhan si buah hati.
Pola pikir remaja, kata Fifi, cenderung belum matang. Kebutuhan remaja akan teman dan konten media sosial begitu tinggi. Akibatnya, timbul rasa cemas lantaran tak tahu kabar teranyar dari teman sebayanya.
"Mereka masih dalam tahap perkembangan, masih mencari jati diri," kata Fifi. Kondisi itu membuat remaja berorientasi pada teman, bukan orang tua.
Rasa cemas ini bisa dibilang lumrah. Namun, lanjut Fifi, kekhawatiran menjadi tak lumrah jika remaja sampai pada tahap melampiaskan kekesalannya pada orang lain atau merugikan diri sendiri.
Ditambahkan dia, sebenarnya bukan hanya anak muda yang terganggu dengan dibatasinya akses ke media sosial. Secara umum, orang-orang akan merasa terganggu.
"Orang yang introvert pasti akan sangat terganggu. Tapi mau tipe apapun, kemungkinan besar juga akan terganggu," ucapnya.
"Kalau orang dewasa mungkin tidak nyaman tapi mereka sudah bisa paham dan bisa membedakan karena lagi ada kondisi seperti ini, jadi mereka akan lebih mudah. Tapi kalau remaja yang belum matang, mereka masih butuh kontak."
Peran Orang Tua
Pembatasan akses media sosial bak dua sisi matang uang. Pembatasan tak selalu mendatangkan dampak negatif. Pembatasan dinilai dapat membantu mengatasi candu media sosial yang terjadi pada manusia zaman kiwari, khususnya remaja.
Fifi mengatakan, momen ini seharusnya bisa jadi pintu gerbang orang tua untuk masuk dan mengetahui tingkat ketergantungan anak terhadap media sosial. Dialog-dialog yang muncul bisa dimanfaatkan orang tua untuk memasukkan nilai-nilai tertentu.
Orang tua, kata Fifi, mesti pandai melihat celah. Orang tua bisa memberi pengertian baru agar hati dan pikiran anak tergugah. Kendati membutuhkan proses, tapi setidaknya nilai-nilai itu pelan-pelan tertanam pada anak.
"Kalau sama remaja, kan, kita enggak bisa mengharap
feedback langsung. Yang ada malah 'apaan sih'. Tapi, minimal kita [orang tua] sudah
nyolek," jelas Fifi.
Pembatasan media sosial memiliki efek domino pada anak. Selain membuat si anak galau dan menjadi positif untuk mengurangi kecanduan, pembatasan juga bisa mendekatkan anak pada bahaya yang diam-diam mengintai.
Psikolog Melly Puspitasari mengatakan, remaja adalah insan yang selalu mencari celah lain untuk mendapatkan hal-hal baru. Saat satu atau dua akses media sosial ditutup, remaja bisa saja mencari aplikasi lain yang bisa diakses.
"Selama ini anak-anak tidak aware. [Media sosial] ini ditutup, tentu bisa cari yang lain. Khawatirnya nanti ada sesuatu yang berbahaya seperti pedofil di sana, seks bebas, dan judi daring," jelas Melly.
Melly memberikan contoh, saat WhatsApp tidak bisa diakses, maka remaja lari ke aplikasi serupa lainnya. Selama remaja masih memegang gawai, maka akses terhadap aplikasi lain bukan hal yang tidak mungkin.
"Sehingga penting agar orang tua bisa lebih mengawasi anak," kata Melly.
Melly memang tak merinci atau menyebutkan bahwa kasus ini pernah terjadi di Indonesia. Namun mengutip berbagai sumber, media sosial pernah menjadi masalah bagi perdagangan anak dan remaja.
Kala itu, di India, Facebook dipakai untuk menjebak seorang remaja wanita 17 tahun dari Nagaland. Dikutip dari
India Today, dia dijebak teman pria yang dikenal dari media sosial dan dikirimi tiket untuk pergi ke kota lain.
"Para pelaku perdagangan seks menggunakan media sosial untuk mengidentifikasi dan menjebak gadis-gadis muda. Gadis-gadis itu kemudian diperas dan dijual ke dalam perdagangan manusia," kata Pronab Mohanty, wakil direktur jenderal Unique Identification Authority of India dikutip dari
New Indian Express. [Gambas:Video CNN] (els/asr)